Terbaru

Catatan Kritis Awal Tahun, LMND: Wajah Suram Pendidikan Era Jokowi

NUSANTARANEWS.CO – Pendidikan sebagai salah satu tolak ukur, cerminan keberpihakan Negara terhadap kedaulatan bangsa, dan upaya penciptaan karakter sebagai bangsa yang merdeka. Sebagimana telah tertuang dalam pembukaan UUD, dengan tegas menyatakan sebagai fondasi upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Sayangnya setelah 72 tahun Indonesia merdeka, pasca jatuhnya Rezim Kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Sukarno, dan dimulainya Rezim Orde Baru dibawah komando Suharto, orientasi Pendidikan kita mengarah pada Orientasi Pasar dan terus berlanjut sampai Rezim Jokowi-JK sekarang ini. Misi Pendidikan yang diwarisi pejuang kemerdekaan demi menuju bangsa yang beradab, maju dan benar-benar merdeka itu kini seakan menjadi mimpi di siang bolong.

Hari ini, Rezim Kekuasaan Jokowi-JK sudah 3 tahun berdiri atas Kehidupan Rakyat di Negeri ini. Rezim yang menjual Jargon Nawacita sebagai acuan kebijakan Negara dalam upaya mewujud Kedaulatan Negara, Kemandirian Ekonomi, Berkribadian dibidang Kebudayaan. Kebijakan terkait Pendidikan yaitu tertuang dalam bentuk komitmen; mewujudkan Pendidikan sebagai upaya karakter Bangsa. Tapi jika ditelisik lebih jauh, orientasi Pendidikan hari ini, terlihat menyimpang, malah kebalikan dari cita-cita mulia tersebut, yaitu mengarah keranah liberal-individual dan pro pasar yang kapitalistik.

Berikut ini beberapa catatan-catatan kritis Rezim Jokowi-JK Tahun 2017 disektor Pendidikan :

Pertama, Privatisasi Perguruan Tinggi.

Visi umum Jokowi-JK adalah “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong (Kerja Bersama)”. Hal tersebut menandaskan bahwa, dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah akan menggunakan prinsip-prinsip yang bersendikan pada Kedaulatan Rakyat, bukan pada Daulat Kapital.

Faktanya adalah, sektor Pendidikan sebagai basis Pembangunan Ideologi Negara dan Bangsa untuk upaya mewujudkan Kedaulatan Bangsa justru mengalami Liberalisasi-Privatisasi. Kampus sebagai sarana Pendidikan untuk menciptakan sumberdaya manusia dengan prinsip memanusiakan manusia dengan basis Gotong Royong, justru diarahkan menjadi Individualis, lewat Regulasi, dan Kurikulum yang orientasinya menempatkan mahasiswa sebagai pekerja murah, sekaligus komoditi.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Untuk Perolehan Suara Calon Anggota DPR RI

Terlebih sejak pemerintah Jokowi-JK meneruskan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dan paket ekonomi Jokowi-JK yang merupakan Program Ekonomi Global yang mengisyaratkan, Liberalisasi, Privatisasi sehingga imbas dari itu Pendidikan yang seharusnya mencerminkan basis kerakyatan, justru membuat Pendidikan semakin mahal dan menciptakan suasana kampus dari demokratis, menjadi korporatis. Kelanjutan dari itu bisa kita lihat dari Statmen Wakil Presiden JK baru-baru ini, soal upaya pemerintah menggandeng Perguruan Tinggi Luar Negeri untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan dan investasi swasta untuk mengembangkan riset ilmiah. Ini tentunya menunjukan negara ingin lepas tangan dalam upaya pengelolahan sumber daya di dunia kampus dan menyerahkan sepenuhnya pada pasar kapital.

Kedua, Merosotnya Kualitas Pendidikan Indonesia.

Rezim Jokowi-JK tidak serius menjadikan sektor Pendidikan sebagai tolak ukur bangsa yang beradab.

Konsep Pendidikan di erah Jokowi-JK mengadopsi Sistem Kapitalisme, tentunya membawa dampak besar pada arah Pendidikan Indonesia. Akhir-akhir ini kita sering dibenturkan dengan isu-isu fanatisme sempit; Rasial dan Fundamentalis. Tentunya ini taklepas dari corak Pendidikan Kapital yang menitik beratkan pada sudut pandang keahlian teknis, dan abai pada segi kemanusiaan.

Pendidikan kapital dengan tolak ukur keahlian teknis tentunya membawa dampak pada kualitas Pendidikan Indonesia. Para anak didik hanya diukur dari keahlian membaca dan menghitung. Fokus Pendidikan yang hanya berpaku pada hasil akhir nilai, bukan pada proses pembelajaran. Serta hampir tidak diberikannya ruang anak didik memahami, mengeksplorasi diri pada keadaan masyarakat secara kritis dan konstruktif.

Baca Juga:  Ngaku Tak Punya Anggaran, Dinas Pendidikan Jatim Stop Tanggung Pembayaran BPJS Kesehatan GTT dan PNPNSD

Imbas dari itu bisa dilihat dari data standar kualitas Pendidikan di Indonesia, dari hasil laporan PISA 2017 kualitas Pendidikan Indonesia masuk dalam kategori paling rendah. Ini tentunya menjadi prestasi buruk Rezim Jokowi-JK karena ketidak mampuan membangun mutu Pendidikan yang lebih baik, padalah penyediaan Kualitas Pendidikan yang baik adalah kunci menciptakan generasi unggul dan berkualitas.

Ketiga, Terjadinya Pelabelan Lintas Kampus​

Terjadinya pelabelan lintas Kampus dan berujung pada sanksi penutupan kampus dimana terjadi di beberapa Universitas yang tidak memenuhi standart mutu dalam Pendidikan hanya karena permasalahan atas jumlah dosen tetap yang kurang dari perguruan tinggi tersebut, yang tidak melihat dari sisi peningkatan keilmuan permahasiswa, apalagi dikaitkan dengan statmen dari Presiden dan wakil persiden yang sinergi untuk mendorong kerja sama antara Universitas – Universitas di Indonesia untuk bekerjasama dengan Universitas-Universitas dari luar ini akan menjadi suatu ancaman dimana Universitas-Universitas luar awalnya mungkin hanya di dorong bekerjasama dalam bidang keilmuan kedepan akan membangun kerjasama dari sisi pemodalan kampus yang kita tahu saat ini Perguruan Tinggi Negeri sudah di tetapkan sebagai suatu Badan Hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi.

Keempat, Represifitas Terhadap Gerakan Mahasiswa Di Dalam Kampus

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap Warga Negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh Negara. Indonesia sebagai sebuah Negara Hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal 28 UUD 1945 secara tegas menyebutkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”.

Baca Juga:  PWI Minta Ilham Bintang dan Timbo Siahaan Ditegur Keras, Ini Jawaban Dewan Kehormatan

Tetapi apa yang terjadi belakangan ini, semenjak Tahun 2017 tercatat mengalami peningkatan tindakan represif terhadap gerakan-gerakan Mahasiswa di Indonesia, contohnya yang masih menjadi pembahasan di media-media Kampus yaitu mengenai kasus Kulon Progo dimana terjadi penangkapan terhadap 12 orang Mahasiswa, lalu terjadi juga tindakan represif di DKI Jakarta yang menyikapi 3 tahun masa pemerintahan Jokowi – JK berakhir dengan 3 Mahasiswa di tangkap pula dan masih banyak lagi tindakan represip lainnya yang terjadi, walaupun para mahasiswa yang ditangkap ini sudah di bebaskan atau dikeluarkan permasalahan adalah salah satu bentuk ancaman pelarangan kepada setiap Warga Negara untuk menghilangkan hak mengeluarkan pendapat di muka umum.

Intinya, kegalauan dunia pendidikan kita hari ini memang harus disikapi secara kritis demi upaya pembangunan Dunia Pendidikan yang kreatif dan konstruktif. Oleh karena itu yang dibutuhkan Indonesia hari ini adalah Pendidikan yang berdasarikan pada kedaulatan masyarakat dengan sifat emansipatoris, dan itu bisa dilakukan jika Negara ini berani melawan intervensi agen-agen Ekonomi Global. Langkah awal dari keberanian itu bisa diukur ketika kita menjadikan Sistem Pendidikan, menjadi pendidikan yang Memerdekaan dan Demokratis.

Penulis: Muh Asrul, Sekretaris Jenderal LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi)

Related Posts