Budaya / SeniCerpen

Cara Sederhana untuk Terbang

Cerpen: Muhamad Kusuma Gotansyah

Bukan lembaran uang atau kepingan receh, yang muncul di dalam kotak plastik kecil milik Badik pagi ini adalah sebuah buku tipis. Selama ini ia hanya mengharapkan uang recehan, walau sesekali harapannya sedikit melenceng ke segepok uang kertas dari seorang konglomerat yang sedang pencitraan. Namun buku, tidak pernah ada di dalam pikirannya, apalagi hatinya. Ia benci membaca, karena tidak pernah bisa paham ketika membaca dan memang tergolong tolol dalam hal membaca. Karena itulah ia tinggal kelas, memutuskan keluar dari sekolah, lari dari rumah, hidup gelandangan, mencuri sebuah kotak plastik kecil, dan akhirnya menjadi pengemis.

Buku itu sendiri tidak menarik, menurutnya. Sampul depannya hanya putih polos dengan sebuah kalimat yang ia yakini sebagai judul buku tersebut. Ketika ia membolak-balik halaman perhalaman buku itu, tidak ia temukan satu pun gambar, semuanya kalimat-kalimat yang menjenuhkan, yang hanya dapat dipahami jika dibaca. Ia juga mengetahui bahwa tebal buku itu adalah tiga puluh empat halaman karena ia mengintip halaman terakhirnya, hanya untuk mengetahui sebanyak apa kalimat-kalimat yang harus dibaca.

Pada sampul belakang benar-benar tidak terdapat apa-apa, hanya putih polos tanpa setetes pun warna lain. Badik semakin tidak tertarik. Namun karena kebetulan di dalam kotak plastik kecilnya tidak ia temukan uang receh untuk membeli makanan atau kretek eceran, ia pun memutuskan untuk mencoba membaca buku itu.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ia membaca pelan-pelan judulnya yang tertulis dalam huruf kecil semua; cara sederhana untuk terbang. Badik terkekeh, kemudian terbahak, kemudian terpingkal-pingkal. Di samping kiri jalan raya, di depan toko minuman keras yang belum dibuka.

Badik berhenti tertawa perlahan-lahan dan kembali duduk bersila di atas kardus yang ia curi dengan tenang. Sambil masih sedikit tersenyum ia membuka halaman pertama.

Ketika tengah hari, Badik telah menghabiskan membaca buku yang tipis itu. Cukup lama waktu yang ia butuhkan untuk menghabiskan buku itu karena memang pada dasarnya ia benci membaca.

Namun terlihat jelas perubahan pada diri Badik seusai membaca buku itu. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, kincir-kincir otaknya berputar dan menimbulkan banyak pikiran. Apa maksud buku itu? Siapa yang meletakkannya di kotak plastik kecilnya? Apa yang perlu ia lakukan sekarang? Apa yang barusan terjadi?

Otak Badik, yang tidak lebih besar dari sebiji kacang hijau, serasa akan meledak dan berkecai kemana-mana, menyipratkan sel-sel otaknya yang berdebu karena jarang digunakan.

Ia menghabiskan beberapa jam setelah itu untuk melamun. Bukan untuk berpikir, tetapi untuk menahan otaknya agar tidak terlalu banyak berpikir.

Salah satu temannya yang juga pengemis menghampirinya sambil mempermainkannya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Ah, kau. Gara-gara dapat buku begitu tiba-tiba jadi orang pintar.”

“Bukan begitu. Aku rasanya tidak mau mengemis lagi.”

“Hahaha. Lalu kau mau apa? Mau jadi ustad?”

“Aku mau terbang.”

“Pengemis goblok.”

***

            Sudah kepada dua manusia, seekor hewan, dan sebuah sampah Badik mengutarakan niatnya yang baru, yang bukan mengemis. Mereka itu adalah seorang temannya yang juga pengemis, seorang pejalan kaki yang kebetulan memberikannya uang receh, seekor kucing yang menumpang buang air besar di sampingnya, dan sebuah kaleng soda yang dilempar seorang anak kecil yang awalnya diarahkan ke tong sampah di samping Badik namun tersasar ke arah Badik.

Dan keempatnya tidak ada yang memedulikan Badik.

Ia mulai merasa kesepian. Namun ia sudah terbiasa, karena memang sedari dulu ia manusia kesepian.

Badik ingin mengubah hidupnya. Ia tidak mau menjadi pengemis, walaupun banyak teman-temannya yang berhasil beli rumah dan menikah tiga kali karena mengemis. Ia tidak mau menghabiskan waktunya dengan duduk meronggoh menunggu uang sambil sesekali mengumpati pejalan kaki yang tidak memberinya uang. Sekarang keinginannya hanya satu; terbang.

Seperti yang dikatakan dalam buku tipis itu, terbang itu mudah. Jauh lebih mudah dari berlari, atau berjalan, atau merangkak. Terbang adalah hal paling mudah di dunia—dan semua makhluk di alam semesta dapat melakukannya. Hanya saja salah satu jenis makhluk di alam semesta terlalu bodoh untuk memahami tata cara terbang yang baik dan benar. Mereka itu adalah manusia.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Di tengah malam, akhirnya Badik melaksanakan ikrarnya. Ia ingin terbang. Ia pergi ke tengah jalan raya yang lengang. Ia mulai berancang-ancang akan terbang, mengikuti seluruh isi buku itu.

Ia menghadap ke utara, berlari sekencang-kencangnya. Setelah berlari sekitar sepuluh meter, ia mengepakkan kedua tangannya lebar-lebar. Kepalanya menunduk, bibirnya tersenyum. Tidak lama kemudian ia sudah melayang. Dan kini ia sudah di awan. Lalu di atmosfer. Lalu di angkasa.

Badik telah berhasil terbang. Tetapi kini ia kembali bingung. Lantas apa setelah ini?

Ia memutuskan untuk berkeliaran di angkasa. Kembali mengemis, lalu berharap akan mendapatkan sebuah buku berjudul cara sederhana untuk mendarat lewat mengemis.

Kuala Lumpur, Juli 2017

Muhamad Kusuma Gotansyah, Lahir di Tangerang, Banten, pada 14 Maret 2002. Menetap dan belajar di Kuala Lumpur. Gemar bermusik, menulis, dan membaca. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media-media online seperti Flores Sastra dan LPM Arena.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40