Politik

Capres-Cawapres Rajin Datangi Pesantren, Ini Sebabnya

m'ruf amin, kiai ma'ruf, santri jatim, santri nurul jadid, ponpes nurul jadin, ponpes paiton, probolinggo, cawapres nomor 01, nusantaranews, nusantara news, nusantara
Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01, Ma’ruf Amin berkunjung ke pondok pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (28/9). (Foto: dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dimana ada pesantren di situ ada Kiai dan para santri. Pesantren besar ditentukan oleh seberapa banyak santri yang mondok dan sebarapa besar jumlah alumninya. Pesantren besar lumrahnya ada kiai yang berpengaruh di dalamnya. Kiai dengan penuh kharisma dan ilmu agama yang dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.

Memasuki tahun politik, pesantren menjadi objek safari politik para politisi. Tahun ini, sejak massa kampanye Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum, dua kandidat Capres-Cawapres mulai rajin melakukan silaturahim ke pesantren-pesantren. Kunjungan capres atau cawapres ke pesanren dengan tujuan meminta doa restu dan dukungan kepada para kiai yang tentu memiliki banyak santri dan alumni.

Selain mimiliki banyak santri dan alumni, kiai pesantren juga memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat. Sehinga dinilai dapat menambah suara pendukung bagi capres-cawapres tersebut yang sowan tersebut.

Menurut Pakar Budaya Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil, pesantren menjadi daya tarik dalam rangkaian Pilpres 2019 bukan karena jumlah santri yang banyak atau nama besarnya melainkan karena kuatnya pengaruh kiai pesantren di tengah masyarakat.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

“Kiai cukup menjadi lokomotif untuk membawa suara-suara massa. Jadi pesantren itu tidak dilihat dari suara santri yang ada di dalam, tetapi pengaruh sosialnya,” kata Sukron Kamil, di Jakarta, Senin (22/10/2018).

Di zaman Orde Baru, kata Sukron, kiai kerap menjadi alat pendongkrak suara partai. Ia mencontohkan kiai Bogor Barat almarhum KH Uqon Bulqoini bahkan pernah mengakui bahwa dulu pada Orde Baru kiai sering menjadi “buldoser” untuk memperkuat suara Partai Golkar atau PPP. “Meski setelah itu ditinggalkan begitu saja,” kata Sukron kepada Republika.co.

Sukron bercerita soal pengalaman di kampung halamannya, Bogor, di mana ayahnya merupakan kiai setempat. Rumahnya saat itu kerap didatangi orang Golkar agar terjadi peng-Golkar-an di kampungnya. Namun, ayahnya tidak bisa dipengaruhi sehingga suara Golkar di sana tidak besar.

“Di desa saya, dan beberapa kampung agak susah dimasuki Golkar, karena masih ada pengaruh ayah saya dan keponakan bersama keluarga yang lain,” kata dia.

Baca Juga:  Anton Charliyan dan Ade Herdi Waketum DPD Gerindra Jabar bagikan Al Quran dan Perangkat Sholat Titipan KB Prabowo Subianto ke Pesantren

Sukron pun mengingatkan adanya istilah “rakyat itu tergantung agama rajanya”. Makna raja dalam konteks kalimat ini, yaitu orang-orang yang punya pengaruh atau karisma meski tidak memiliki kekuasaan politik formal.

Karisma ini menjadi kekuatan untuk memengaruhi pilihan masyarakat. “Dalam bahasa (Max) Weber itu memiliki karisma, yang memang kekuasaan politik formalnya enggak punya tetapi karismanya begitu berpengaruh,” kata dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta itu. “Saya kira dalam studi sosiologi bisa dilihat dari para ahli karena agama jadi kekuatan moral, bahkan di Amerika masih memiliki pengaruh,” imbuhnya.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,179