OpiniPolitik

Buzzer dan Demokrasi Pancasila

Buzzer Dan Demokrasi Pancasila
Buzzer dan Demokrasi Pancasila

Buzzer dan Demokrasi Pancasila

Secara harfiah buzzer terjemahan dari bahasa Inggris yang berarti lonceng atau alarm. Lonceng dan alarm berfungsi untuk.memanggil, memberi tahu dan memgumpulkan orang untuk berkumpul atau melakukan sesuatu.
Oleh: Dr. TB. Massa Djafar

Dalam tradisi masyarakat desa bisa disamakan dengan “kentongan” digunakan sebagai lonceng atau alarm bagi warga. Dalam teori kumunikasi, buzzer bagian dari aktivitas komunikasi. Ada aktor, media atau saluran, pesan serta objek sebagai sasaran penyampaian pesan. Jika dilihat dari ciri-ciri buzzer sama atau masuk dalam kegiatan komunikasi. Atau komunikasi politik, karena aktivitas buzzer cukup signikan dalam arena politik.

Dalam era teknologi informasi, kehadiran medsos memainkan peran signifikan. Melebihi media massa konvensional. Baik dari segi jumlah, jangkauan maupun kecepatannya menjangkau khalayak. Bahkan, buzzer telah memainkan peran komunikator dalam media konvensional.

Buzzer pada umumnya tidak jelas atau menyembunyikan identitasnya seperti siluman. Karena buzzer lebih berfungsi sebagai alat propaganda, alat kekuatan politik yang bekerja untuk kepentingan majikan yang membayarnya. Buzzer memiliki cara kerja sendiri yang tidak mementingkan etika dan moral layaknya pers dalam membentuk opini publik. Karena bersifat siluman, buzzer tidak dapat dikontrol oleh publik. Hanya pemerintah atau badan intelijen saja yang bisa mendeteksi dan melakukan kontrol.

Baca Juga:  Demokrat Raup Suara Diatas 466 Ribu, Ibas Kokoh 312 Ribu Lebih

Karena tujuannya ditentukan oleh owner, di backing pemilik modal atau mafia politik untuk kepentingan elit atau kelompok maka kecenderungannya jelas destruktif. Bahkan bertolak belakang dengan kepentingan publik atau misi pembangunan integritas bangsa. Dengan menghalalkan segala cara, menciptakan opini palsu, meyebarkan hoax, buzzer telah menjelma menjadi teroris yang meneror masyarakat luas. Proses-proses gaya teroris ini jelas bertentangan dengan dengan nilai demokrasi sehingga menimbulkan dampak budaya kuasa di mana yang menang yang berkuasa, yang kalah jadi debu.

Dengan demikian, kehadiran buzzer jelas mengancam demokrasi, dengan mendorong munculnya hegemoni kekuasaan yang berpotensi membentuk kekuasaan yang absolut, di mana kekuasaan dikelola dengan gaya otoriter. Jadi pengguna buzzer, bisa dibaca sebagai prilaku kuasa yang melawan prinsip-prinsip demokrasi, norma hukum, mengabaikan nilai edukasi, nilai moral dan etika. Apalagi soal tanggung jawab dan keadaban. Fenomena ini sama halnya dengan propaganda yang dilakukan oleh Fasisme, Sosialisme, dan Komunisme dalam sistem otoriter maupun Liberalisme dan Kapitalisme dalam sistem demokrasi. Sama-sama menghalalkan dengan segala cara.

Menggejalanya buzzer dalam era demokrasi sekarang ini tak lain adalah efek dari perkembangan demokrasi. Suasana kebebasan dan keterbukaan telah dimanfaatkan untuk kontestasi kepentingan diri dan kelompok dengan menggunakan teknologi informasi canggih untuk menjalankan kegiatan komunikasi politik, propaganda politik, penggiringan opini palsu, dan menebarkan hoaks. Tujuannya adalah untuk meraih kekuasan, mempertahankan kekuasan, menghancurkan lawan-lawan politik dengan penggiringan publik opini untuk menjusfikasi tindakan politik.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Lalu pertanyaannya sebagai bangsa, apa yang telah kita bangun selama 20 tahun reformasi ? Apakah pembangunan sistem demokrasi Pancasila masih menjadi komitmen bangsa ini ?

Berkaca pada sejarah, di mana praktek politik masa lalu tak kunjung menguatnya sistem demokrasi Pancasila, kini kita dihadapkan lagi pada usaha penyimpangan Pancasila melalui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.

Ada tedensi upaya untuk menafsirkan Pancasila dalam perspektif sekularisme dan komunisme. Mengapa peristiwa masa lalu terulang kembali. Bukankah Pancasila yang lahir pada tanggal 18 Agustus merupakan Konsensus Nasional yang memiliki spirit persatuan bangsa yang sangat mahal harganya. Tampaknya, masih ada kelompok di negeri ini yang mencoba membongkar kembali kesepakatan luhur itu.

Jika kita tarik benang merah sejak terjadi perubahan Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen, dengan melihat pada fakta-fakta, akhirnya terkonfirmasi sebuah gejala bahwa hari ini sistem politik kita ternyata didominasi oleh struktur kekuasaan oligarki. Sebuah model kekusaan yang sangat elitis oleh kelompok elit minoritas. Ini sangat bertentangan dengan pelembagaan politik Sila ke 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Praktek politik model oligharki saat ini, proses-proses politik hanya ditentukan oleh elit kekuasaan dan pemilik kapital. Apakah realitas politik hari ini sebuah kebetulan ? Dalam teori kekuasaan, tidak ada istilah kebetulan semua dilakukan by desain. Perubahan politik dilakukan oleh seorang atau kelompok orang yang mempunyai tujuan membentuk tatanan masyarakat.

Oleh karena itu, jika struktur politik ini tidak berubah, maka sulit diharapkan ada perubahan, atau tumbuhnya demokrasi secara sehat dan beradab berdasarkan spirit, cita-cita, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.  Jadi pertanyaannya, apakah proses-proses politik dan demokrasi memperkuat implementasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ?

Apakah sistem komunikasi politik, peranan media massa baik pemerintah maupun non pemerintah mendukung kearah pembangunan demokrasi Pancasila ?

Faktanya sekarang, dari sisi komunikasi politik, media pemerintah atau negara praktis tidak memainkan peran signifikan. Tidak menjadi rujukan dalam misi pembentukan “national charakter building dan nasional interest” dalam pembinaan negara bangsa. Termasuk  didalamnya proses pendewasaan masyarakat, mendidik kesadaran berbangsa dan bernegara dikalangan generasi muda. Komunikasi politik hari ini tampaknya lebih banyak diisi oleh para buzzer dan menebar berita hoax melalui media sosial.[]

Dr.TB.Massa Djafar, akademisi dan Aktivis Masyumi Reborn
Dr.TB.Massa Djafar, Akademisi dan Aktivis Masyumi Reborn

Related Posts

1 of 3,049