Buta Huruf
Beberapa tahun setelah kejatuhan Presiden Soeharto yang melahirkan era reformasi, Toha pulang ke kampung halamannya di daerah Banten Selatan. Ia menikahi seorang gadis cantik kelahiran Baduy Dalam, dan kini telah dikaruniai tiga orang anak yang gemuk dan sehat-sehat.
Oleh: Irawaty Nusa
Yang menjadi persoalan bagi Toha, istrinya itu masih buta huruf, dan malas belajar membaca. Bahkan menulis namanya sendiri pun ia tak mampu. Di sisi lain, Toha bertugas di kantor kelurahan, yang tentu merasa malu memiliki istri yang tak bisa membaca, terlebih ketika ditandangi salah seorang teman seperjuangan yang dulu sama-sama turun ke jalanan untuk melahirkan era baru reformasi setelah era Orde Baru Soeharto.
“Jum,” tegur sang suami, “karena saya ini sibuk di kantor kelurahan, cobalah untuk belajar mengeja huruf pada Asep anak kita itu. Dia begitu pintar dan cekatan. Cobalah belajar pelan-pelan. Mosok, untuk membaca nama suami sendiri tidak bisa?”
“Ah biarlah, Kang, buat apa saya belajar membaca menulis. Itu sudah terlambat. Biarlah yang muda-muda saja banyak belajar supaya pintar.”
Suatu sore, Toha pulang dari kantor sambil membawa buku kecil yang terbungkus rapi, “Ini dia, Jum. Buku kecil ini berisi tentang tata cara mengeja huruf-huruf abjad secara singkat dan praktis. Baik, akan saya ajarkan cara-caranya…”
Juminah tersenyum dan bangga pada suaminya. Ia mengambil buku itu dari tangan suaminya. Sesaat setelah membuka-buka bagian dalamnya, ia menyembunyikan buku itu di atas lemari pakaian. Barangkali suatu saat nanti, anaknya yang bungsu membutuhkan itu, pikirnya.
Suatu hari, ketika ia hendak mencuci pakaian di kamar mandi, ia menemukan sesuatu pada kantong celana suaminya. Ia merogoh kantong celana tersebut yang barangkali saja uang dengan nilai yang cukup tinggi. Tetapi, apa yang diketemukannya? Yakni sepucuk surat dengan kertas jenis concord yang harum dan wangi.
“Wah, surat dari siapa ini?” pikir Juminah. Jantungnya berdebar-debar.
Mungkinkah suaminya punya teman yang dirahasiakan selama ini? Ataukah ia punya wanita simpanan seperti banyak terjadi dalam kasus-kasus yang diberitakan di televisi itu? Boleh jadi ia berhubungan mesra bersama wanita terpelajar, serta menganggap remeh istrinya yang bodoh dan buta huruf ini.
Juminah segera berteriak memanggil Asep, tetapi anak sulungnya itu sedang berkemah selama dua hari bersama teman-teman sekolahnya. Seharian ia membolak-balik surat itu, membukanya kemudian melipatnya lagi. Saat itu, ia menyadari betapa pentingnya belajar membaca, dan betapa menderitanya orang yang tak mampu mengeja huruf-huruf.
“Lagipula surat itu toh berada di kantong suami saya,” pikirnya lagi, “Dan sebagai istri, tentu saya berhak mengetahui apa isinya. Kalau sampai ketahuan bahwa dia berhubungan dengan orang ketiga, maka lebih baik bagi saya untuk kembali ke pemukiman Baduy, membawa anak-anak dan menjadi petani lagi.”
Juminah menangis sesenggukan, dan mulai berpikir bahwa suaminya itu telah berubah akhir-akhir ini. Minggu lalu ia memotong rambutnya, dan kemarin lusa ia mencukur tipis kumisnya. Belakangan ini ia kelihatan rajin mencuci tangan dan menjaga jarak pada istri dan ketiga anaknya. Ada apa ini?
Setelah mondar-mandir ke depan dan ke belakang rumah, Juminah kembali memperhatikan surat itu dan melenguh seperti suara kerbau yang dipukul oleh penggembalanya. Tapi apa mau dikata, tetap saja ia mengutuki dirinya sendiri karena tak bisa membaca. Sejenak ia berpikir untuk mendatangi tetangganya agar membacakan surat itu, tetapi ia menahan diri karena malu setengah mati.
Dengan rasa gundah ia menaruh surat itu di atas lemari pakaian, kemudian melanjutkan mencuci di kamar mandi, suatu pekerjaan yang sejak pagi telah ditundanya.
Tak berapa lama, Toha suaminya pulang dari kantor kelurahan. Tapi anehnya, raut mukanya tenang-tenang saja dan tidak menunjukkan telah terjadi sesuatu. Ia bicara pada suaminya sambil berusaha mengendalikan diri, seraya mengisyaratkan agar sang suami tidak keberatan mengajarinya membaca dan menulis, karena ia merasa sudah bosan menjadi orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa.
Toha merasa senang mendengar keluhannya, kemudian katanya, “Baik kalau begitu, nanti akan saya tunjukkan tata caranya. Tapi kalau saya sedang sibuk, nanti Asep bisa melanjutkan mengajarimu setelah ia pulang berkemah.”
“Oke, siap kalau begitu,” ujarnya, “Tapi ngomong-ngomong, boleh saya tanya sesuatu pada Akang?”
“Tanya apa?”
“Kenapa belakangan ini Akang rajin mencuci tangan sepulang dari kantor kelurahan?”
“Jum,” Toha menghela napasnya, “Rajin mencuci tangan itu adalah anjuran pemerintah, yang seringkali tertulis di pamplet dan spanduk di jalanan, juga pada acara-acara televisi. Mulai saat ini, kamu dan anak-anak juga harus sering-sering cuci tangan.”
Lalu, Juminah memandang lekat-lekat ke arah kumis tipis suaminya, meski kemudian ia membatalkan pertanyaan berikutnya, kenapa suaminya sampai mencukur kumis hingga tipis.
Tiga bulan kemudian, setelah suami dan anaknya Asep mengajarinya dengan tekun, Juminah mulai bisa mengeja huruf-huruf, kemudian ia mulai bisa membaca kalimat demi kalimat. Suatu hari, ia teringat pada sepucuk surat yang disimpannya di atas lemari pakaian, kemudian membacanya pelan-pelan:
Salam reformasi,
Bung Toha Husaini yang baik,
Sudah saya titipkan buku kecil tentang panduan membaca yang pernah saya janjikan beberapa waktu lalu. Menurut saya, istri Bung akan bisa menguasainya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Tapi Bung harus berusaha mendesaknya agar dia bisa membaca dan menulis.
Berilah ia saran dan nasihat, betapa menderitanya menjadi orang awam dan buta huruf di zaman sekarang ini.
Untuk memperingati era reformasi dan kejatuhan pemerintah Orde Baru, kita merasa bangga dengan kehadiran novel sejarah “Pikiran Orang Indonesia”. Namun demikian, kita akan terus berjuang memberantas buta huruf di seluruh republik ini, dari Sabang sampai Merauke.
Tapi yang terpenting dari segala perjuangan ini, kita harus memulai dari diri sendiri, dari hal-hal terkecil, dan mulailah saat ini juga. Saya yakin Bung sanggup menghapus buta huruf, paling tidak untuk orang-orang di sekitar Bung sendiri.
Sahabat seperjuangan,
Pujiah Lestari***