EkonomiHukumOpiniPolitik

Bunga Demokrasi

Oleh: Muqaddim

NUSANTARANEWS.CO – Pembahasan mengenai demokrasi selalu memberikan warnah tersendiri dalam dunia diskusi maupun literasi. Bahkan setelah runtuhnya rezim orde baru, perbincangan seputar demokrasi masih sering terdengar terutama dari mereka yang berkecimpung dalam bidang sosial politik. Kalau pada masa orde baru demokrasi didiskusikan untuk direbut, maka pada era reformasi saat ini, demokrasi seyogyanya didiskusikan untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Namun realitasnya, keadaan menuntut diskusi demokrasi masih untuk direbut. Hal inilah yang membuat saya kembali tertarik untuk menulis sebagian kecil sisi demokrasi tentunya dengan gagasan saya berdasarkan realita yang sedang terjadi.

Melihat prinsip demokrasi substansial yang mengedepankan prinsip kesetaraan di muka bumi, kesederajatan dan sebagainya yang juga merupakan demokrasi yang telah diadopsi oleh para founding father merupakan cita-cita demokrasi kita. Prinsip ini semakin jelas dipakai oleh negara ketika konstitusi menegaskan Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat).

Baca:

Prinsip demokrasi substansial ini merupakan daya tarik dari demokrasi itu sendiri. Sebagaimana tulisan Samuel Hungtinton Democracy’s Third Wave, menggambarkan tiga gelombang demokrasi. Setiap gelombangnya ditandai dengan beralihnya sejumlah negara non-demokrasi menjadi negara demokrasi. Indonesia termasuk negara yang dimaksud Huntington yang mengalami demokratisasi.

Baca Juga:  Silaturrahim Kebangsaan di Hambalang, Khofifah Sebut Jatim Jantung Kemenangan Prabowo-Gibran

Dari fenomena ini, saya tempatkan demokrasi sebagai setangkai bunga yang mekar yang menawarkan keindahan dan keharumnya. Lebah-lebahpun berdatangan untuk menghisap madunya. Keindahan, keharuman serta manisnya madu demokrasi itu membuat sebagian orang lupa bahwa bunga mempunyai duri di tangkainya. Seperti yang dikatakan seorang ilmuan politik terkemuka, Robert Dahl, “demokrasi sebagai pilihan sistem terbaik, namun demokrasi kerap pula mendatangkan kekecewaan”.

Menurut Dahl, kekecewaan yang tumbuh dalam sistem demokrasi sangat mungkin terjadi. Tergantung pada sumber daya manusia yang menjalankan demokrasi tersebut. Mengingat demokrasi tidak bisa lepas dari kondisi sosial masyarakat serta moderenisasi harus berjalan bersamaan. Indonesia pernah mengalami kekecewaan itu pada masa sistem demokrasi liberal-parlementer.

Menengok perjalanan sejarah demokrasi Indonesia, bahwa berbagai model demokrasi telah dipraktikkan. Mulai dari sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, sampai demokrasi ala pascareformasi nyaris belum menyentuh sisi substansial demokrasi. Demokrasi yang ada masih sering disalahgunakan. Hal ini dapat kembali kita lihat pada era pascareformasi saat ini, kebebasan dimaknai keliru dari makna kebebasan demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi yang telah direbut, dirawat sedemikian rupa. Kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi begitu demokratis, misalnya kebijakan kebebasan pers, penghargaan atas HAM, pembebasan sejumlah tahanan politik tanpa proses hukum yang jelas pada era orde baru.

Baca Juga:  Khofifah Effect Makin Ngegas, Elektabilitas Prabowo-Gibran di Jatim Melonjak Pesat

Tidak berhenti sampai di situ, pemilihan umum secara langsung yang merupakan pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 2004. Praktik demokrasi ini sekaligus merupakan fenomena politik baru. Bunga demokrasi pun mekar. Namun, di balik keberhasilan menumbangkan rezim otoriter Soeharto serta tercapainya sejumlah tuntutan demokrasi, ternyata penyalahgunaan demokrasi juga kerap kali terjadi. Banyak kasus yang bisa diangkat dalam menanggapi kasus ini. Pernyataan dalam KontraS.org yang menyiratkan negara krisis penegakan HAM serta kebebasan pers yang satu sisi bebas sebebas-bebasnya namun juga menjadi pion para penguasa dan banyak lagi contoh kasus lainnya.

Kali ini saya mengangkat masalah kebebasan pers. Sebagaimana amanat Undang-undang dalam pasal 28 UUD Tahun 1945. Pasal tersebut menyiratkan kebebasan berekspresi (freedom of expression), yang kemudian berkembang menjadi kebebasan informasi (freedom of information) yang mencakup juga kebebasan pers (freedom of the perss). Pers yang dimaksud yaitu seluruh media (surat kabar, film, tadio, televisi, dan siber).

Kebebasan pers bermakna kebebasan media sebagai salah satu dimensi penting dalam demokrasi politik. Ternyata pemahaman terhadap kebebasan pers tidak mutlak dan tidak tunggal, melainkan tergantung pada negara-negara penganutnya. Inggris dan Amerika Serikat misalnya, memahami kebebasan pers sebagai bebas dari kontrol negara. Sebaliknya, negara-negara komunis seperti Uni Soviet dahulu serta China, memahami kebebasan pers sebagai bebas dari kontrol kapitalis. Di Indonesia, media harus seimbang dan bertanggung jawab. Artinya media bebas dan bertanggung jawab.

Baca Juga:  Khofifah Effect, Warga NU dan Muhammadiyah di Jatim Dukung Prabowo-Gibran

Pada era pascareformasi saat ini, media bergerak semakin jauh dari amanat Undang-undang dan lari dari tanggung jawabnya. Keseimbangan yang dimaksud nyaris tidak ada lagi. Mereka bergerak hanya dengan kebebasan yang mereka miliki. Media menjadi senjata bagi mereka yang bertarung memperebutkan tonggak kekuasaan. Tanggung jawab media hilang bersamaan dengan tanggung jawab kebanyakan politisi. Hingga berdampak pada negara krisis demokrasi.

Saya pikir kasus dependen media ini cukup untuk mewakili gagasan saya bahwa demokrasi itu seperti bunga yang indah namun berduri. Dan Indonesia merupakan lahan subur bagi tumbuhnya bunga demokrasi, kita dituntut untuk mengambil bunganya atau durinya atau bahkan keduanya sekaligus.[]

*Muqaddim, lahir di Majene, 29 Mei 1995. Kini aktif sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Related Posts

1 of 16