Buah Simalakama Jurus Djan Faridz cs

Djan Faridz/Foto via tempo.co

Djan Faridz/Foto via tempo.co

Oleh: Mj. Jafar Shodiq

NUSANTARANEWS.CO – Lebih dari dua tahun lamanya, semenjak Pilpres 2014 konflik di tubuh PPP antara Kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy belum juga usai. Di awal tahun 2016 tensi konflik tersebut sempat menurun dengan diselenggarakannya Muktamar Islah di Pondok Gede Jakarta dengan terpilihnya Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP.

Muktamar Islah ini diselenggarakan secara bersama oleh kedua kubu yang bertikai yaitu antara kubu Romy maupun Suryadharma Ali (SDA). Awal mula konflik terjadi akibat perselisihan antara Romi dengan SDA yang di dalamnya terdapat Djan Faridz. Mereka secara bulat menyepakati untuk mengakhiri konflik dan ingin bersatu kembali di bawah satu kepengurusan. Tetapi, secara personal, Djan yang semenjak awal tidak menyetujui adanya kesepakatan “damai” mempertegas sikapnya dengan tidak menghadiri Muktamar Ishlah tersebut.

Pasca Muktamar Islah, boleh dikatakan dukungan pengurus PPP pimpinan Djan berkurang drastis. Apalagi SK Kemenkumham hanya mensahkan kepengurusan hasil Muktamar Islah.  Mantan menteri di era SBY ini, sejatinya bukan kader dan pengurus PPP baik dari jenjang level paling bawah maupun pusat. Djan dikenal secara tiba-tiba tatkala SDA (Ketum PPP sebelumnya) menjagokannya untuk menggantikan dirinya menduduki kursi Ketua Umum. Jadi sangat wajar jika Djan tidak mendapatkan dukungan kuat dari konstituen maupun pengurus PPP mulai dari cabang sampai pusat.

Walaupun demikian, Djan tidak langsung menyerah begitu saja. Beberapakali dirinya melakukan manuver menyerang kepengurusan hasil Muktamar Islah. Pertama, ia melayangkan gugatan dan memenangkannya di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta atas SK Kemenkumhan yang mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Islah pimpinan Romahurmuziy di Pondok Gede. Namun hal itu, tak berlaku karena kemudian Kemenkumham mengajukan banding.

Kedua, keinginan Djan berbeda sikap dengan DPP PPP Romy yang mendukung pasangan Agus-Silvy dalam Pilkada DKI. Sebaliknya ia mendukung dan mengkampanyekan pasangan Ahok-Djarot. Padahal dirinya tidak mengantongi SK pengesahan sebagai pengurus partai alias illegal. Dengan kata lain ia menunggangi nama PPP.

Manuver ini dilakukan Djan dengan tujuan mendapatkan perhatian serta dukungan dari Megawati dan Jokowi. Alih-alih mendapatkan dukungan dari Megawati dan Jokowi, yang didapatkan pihak Djan justru malah dijauhi oleh konstituennya termasuk Lulung Lunggana (Mantan Ketua DPW PPP DKI) yang selama ini mendukung penuh dirinya. Hal ini karena pihak Djan mendukung calon gubernur yang tidak sesuai dengan asas Islam yang selama ini dipegang PPP.

Ketiga, keseriusan untuk mendapatkan hati Megawati dan Jokowi dibuktikannya secara serius dengan pembelaan buta terhadap Ahok sebagai tersangka kasus penistaan al-Qur’an. Humphrey Djemat ditunjuk oleh Djan menjadi kuasa hukum Ahok di pengadilan. Ada hal yang menarik tentang posisi Humphrey Djemat ini, dimana ia ternyata berstatus sebagai Waketum PPP versi Djan. Padahal Humphrey Djemat (seperti halnya Djan Faridz) sebelumnya tidak pernah dikenal dalam internal PPP. Dia juga belum pernah menjadi anggota PPP maupun Pengurus PPP di semua tingkatan.

Keempat, perlakuan tidak sopan dan arogan yang dilakukan oleh Humphrey Djemat-Ahok kepada KH. Ma’ruf Amien akhirnya menjadi blunder yang berbuntut panjang. Kecaman keras dari masyarakat terjadi diberbagai daerah. Terutama kalangan Nahdhiyyin dan Pengurus PBNU yang merasa pimpinannya dilecehkan.

Secara tidak langung akhirnya sebagian masyarakat mengkaitkannya dengan partai PPP, karena Humphrey Djemat tercatat sebagai Waketum PPP pihak Djan. Padahal, kepengurusan PPP yang disahkan oleh pemerintah adalah PPP pimpinan Romahurmuziy yang mendukung pasangan Agus-Silvy. Akibat dari manuver Humphrey di pengadilan, nama besar Partai PPP merasa dirugikan.

Kelima, menyadari kemarahan Nahdhiyyin, bahkan dikatakan oleh Luhut B Panjaitan bahwa Presiden Jokowi juga sempat marah atas sikap Humphrey Djemat-Ahok terhadap KH. Ma’ruf Amien. Pihak Djan akhirnya berinisiatif untuk menemui langsung KH. Ma’ruf Amien di rumahnya, namun KH. Ma’ruf Amien tidak bisa menerima rombongan Djan dengan alasan menghadiri kegiatan lain di gedung PBNU yang tidak bisa ditinggalkan. Perlu diketahui, bahwa di kalangan NU (menghindar) menunjukkan sikap keengganan Kyai Ma’ruf untuk menemui Djan.

Keenam, pihak Djan tetap melakukan manuver dengan ingin menunjukkan kedekatan dengan kalangan NU. Ini ia tunjukkan dengan menggelar Istighasah Kubro mengatasnamakan PBNU yang mendatangkan Ahok di halaman rumahnya. Sekali lagi, stategi Djan di sini gagal.

Alih-alih ingin mendapatkan dukungan kembali dari warga NU, sebaliknya pihak PBNU memprotes keras penyelanggarakan Istighasah tersebut yang dinilai politis. Apalagi ditambah statement KH. Said Aqil Siradj yang mengatakan bahwa PBNU dan KH. Ma’ruf Amien telah memafkan mereka, tetapi kaum Nahdhiyyin DKI tidak akan memilih Ahok karena kesalahan dia sendiri.

Dari narasi tersebut, kian menguatkan bahwa strategi politik yang dilakukan Djan justru menjadi buah simalakama. Ini adalah blunder politik terbesar Djan. Baik di mata konstituen maupun penguasa. [*]

*Mj. Jafar Shodiq, Alumnus S2 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Exit mobile version