Ekonomi

BPS Klaim Kemiskinan Menurun, Apa Benar Penghasilan Sehari Rp 14.000 Tidak Disebut Miskin?

(ILUSTRASI): Kesenjangan sosial-ekonomi. Foto: Blog Unnews
(ILUSTRASI): Kesenjangan sosial-ekonomi. Foto: Blog Unnews

NUSANTARANEWS.CO, JakartaBadan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat kemiskinan di Indonesia pada 17 Juli 2018. Menurut BPS, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai angka di bawah dua digit, tepatnya pada angka 9,82 persen per Maret 2018. Angka ini berkurang bila dibandingkan periode yang sama tahun 2017 lalu yang masih berada di angka 10,64 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2018 mencapai 25,95 juta orang atau turun 633,2 ribu orang dibanding September 2017 yang mencapai 26,58 juta orang (10,64%). Namun, konsep BPS dalam mengukur kemiskinan (basic needs approach) dipandang tidak tepat dan menyesatkan karena bersifat mikro, tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebab, kemiskinan terjadi pada level mikro, rumah tangga dan perorangan. Artinya, angka kemiskinan di Indonesia sebetulnya lebih tinggi dibandingkan data yang dikeluarkan BPS tersebut.

Baca juga: BPS Dinilai Salah Fatal dalam Mengukur Kemiskinan

Data terbaru BPS yang dirilis pada Senin (16/7) menyebuytkan bahwa jumlah penduduk miskin di perkotaan turun sebesar 128,2 ribu orang, sementara penduduk miskin di pedesaan turun sebesar 505 ribu orang.

Baca Juga:  Wabup Nunukan Hadiri Rembug Stunting dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim

Kata BPS, garis kemiskinan yang menjadi batas untuk mengelompokkan penduduk jadi miskin atau tidak miskin, telah naik sebesar 3,63 persen yaitu dari Rp 387.160 per kapita pada September 2017 menjadi Rp 401.220 per kapita pada Maret 2018.

Data terbaru BPS ini mendapat sorotan dari wakil ketua DPR RI Fahri Hamzah. Melalui sebuah catatannya Fahri mengungkapkan bahwa masyarakat harus lebih jeli dalam membaca data statistik, terutama dari BPS.

Baca juga: UGM: Stunting Terjadi Akibat Kemiskinan

“Apakah benar kemiskinan semakin menurun? Secara statistik ya. Tapi kita jangan juga mudah terhibur oleh statistik, membacanya juga harus lebih jeli. Selain itu kembalilah ke realitas sekeliling kita dan bertanyalah, apakah benar orang miskin semakin berkurang?,” katanya.

Fahri menjelaskan, BPS mencatat garis kemiskinan per Maret 2018 sebesar Rp 401.220 per bulan. Kalau dibagi 30 hari jadi sebesar Rp 13.777. Ini ada batas orang dikatakan miskin/tidak.

“Jadi, kalau ada rakyat sehari per kepala Rp 14.000 saja, itu tidak miskin. Tidak tertangkap oleh statistik sebagai orang miskin.
Padahal 14 ribu sehari di kehidupan nyata dapat makan apa? Berapa kali kita makan? Buat ongkos ke sekolah? Bagi yang kerja buat ongkos transport? Apa cukup? Oleh statistik yang diyakini pemerintah anda tidak miskin. Tidak perlu bantuan. Tidak perlu kebijakan untuk anda dan lain-lain,” paparnya.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Baca juga: Benarkah Pemerintah Berusaha Menyingkirkan Tenaga Kerja Lokal dari Tanah Tumpah Darahnya Sendiri?

Oleh karenanya, kata dia, masyarakat jangan mudah terhibur dengan statistik. “Jangan mudah tepuk tangan yang membuat kita lalai dan kehilangan kesadaran bahwa ekonomi kita sedang bermasalah, kesejahteraan rakyat kita dipertaruhkan,” cetusnya.

Lebih lanjut lagi Fahri menuturkan, jika bicara soal kesejahteraan rakyat masih banyak indikator yang berbicara lain dan dalam kondisi memprihatikan. Misalnya saja tingkat upah riil buruh yang terus merosot, nilai tukar petani semakin menurun. Padahal mayoritas SDM kita ada di sektor pertanian dan buruh.

“Selama 4 tahun Pemerintahan Jokowi, upah nominal buruh tani naik dari Rp 43.808 per hari ke Rp 50.213 per hari. Tetapi, Upah riilnya justru turun dari Rp 39.383 menjadi Rp 37.711. Ini berarti kenaikan upah nominal tidak mampu mengatasi inflasi (kenaikan harga-harga kebutuhan),” ungkapnya.

Baca juga: Kelaparan Tidak Bisa Diukur Dengan Angka Kemiskinan

Baca Juga:  Kondisi Jalan Penghubung Tiga Kecamatan Rusak di Sumenep, Perhatian Pemerintah Diperlukan

Kemudian, di era pemerintahan Jokowi nilai tukar petani yang mencerminkan daya beli petani juga mengalami penurunan. Tentu ini sebuah paradoks, karena dalam waktu yang sama tingkat kemiskinan diklaim mengalami penurunan. Padahal sumber utama kemiskinan adalah kemiskinan pedesaan yang sumber pencaharian utamanya adalah pertanian.

“Inilah yang perlu disampaikan secara jujur sebab rakyat tidak berubah nasibnya hanya karena ada statistik yang memotret kemiskinan secara sumir. Pemerintah barus berani mengambil terobosan untuk mengukur kemiskinan dan kesejahteraan rakyat secara nyata,” katanya.

Baca juga: Persoalan Kemiskinan Hambat Pertumbuhan Ekonomi Syariah di Indonesia

Menurutnya, penyembunyian keadaan rakyat dengan menggunakan statistik dapat dikatagorikan sebagai kebohongan yang disamarkan. Praktik ini harus dihentikan. “Cukuplah, jangan ada lagi dusta seperti ini. Kalau kita miskin ya miskin saja. Mari kita miskin bersama-sama. Jangan sampai statistik dipakai menghibur elite dan opini, tapi rakyat tambah sengsara,” pungkasnya. (red/ed/nn)

Editor: Gendon Wibisono & Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,080