Cerpen: Ferry Fansuri
Pagi itu di Akwan Ibom seorang bocah mengais sampah untuk menyambung hidupnya. Bocah sekecil itu bertelanjang mengaduk-aduk sisa-sisa makanan di ujung jalan itu. Tubuhnya yang kurus kerontang dengan perut buncit penuh cacing, sekujur punggungnya penuh luka akan siksaan masyarakat Uyo-Nigeria Selatan. Mereka menyebut bocah itu pembawa sial, kerasukan atau lebih tepat penyihir menyebarkan teluh jahat.
Badannya hitam legam bermata sayu merah itu mengunyah dan mengerat daging busuk yang telah dikerubungi lalat-lalat kotor. Ia tak tahu apakah itu bersih atau menyehatkan buatnya, hanya insting layaknya binatang untuk menghapus lapar dan dahaga. Bocah ini tak punya pilihan, dilahirkan tapi tak inginkan dan dibuang oleh orang tuanya. Dianggap bukan bayi normal, lahir dengan abnormal cacat.
Tidak ada baju sehelai ditubuh bocah ini, terik matahari dan hujan tak dihiraukan sama sekali. Kaki-kaki kecil itu hanya berbalut kulit tanpa alas menjejakkan bumi bercampur lumpur. Ia tak tahu siapa bapak ibunya, lahir menangis sekarang berkeliaran dipasar itu tak dihiraukan sama sekali.
Sekitarnya ada yang peduli tapi takut untuk dekat bocah ini, cap penyihir akan membawa kesengsaraan dan kepedihan. Mereka hanya bisa membuang sisa-sisa makanan dan dilempar ke hadapan bocah itu. Tangannya meraih tak berpikir lama memasukkan kedalam mulut, air liur menetes di sela-sela bibirnya.
Tak mempunyai tempat tinggal dan malam harinya ia tertidur di ujung pasar itu, paginya ia bangun tak ada rengekan anak kepada ibunya atau gelayutan manja seorang ayah. Bocah ini hanya duduk termenung terkadang mengigil kedinginan menahan kantuknya sambil mengucek-ngucek matanya penuh dengan kotoran belek. Mengaruk-garuk kepala yang penuh luka bercampur kutu dalam rambutnya
Biarpun anak sekecil itu tapi Tuhan masih sayang dia, tubuhnya terlihat ringkih ada kekuatan dalam tubuhnya menolak untuk mati. Tetap hidup seperti menantang orang-orang yang memandang atau mencaci makinya. Kalimat kotor yang disampaikan ke bocah ini tak dimengerti olehnya.
“Kau pembawa api ditanganmu, kau anah haram jadah..cuiih!” hujatan dan cibiran berbalut ludah diarahkan kepadanya.
Tapi ia tetap diam dan tak mengerti apa yang mereka perbuat pada dirinya dan apa salahnya kepada mereka.
Terkadang suatu malam yang sunyi, bocah ini duduk sendiri memandang bintang di langit. Dalam benaknya mengapa aku dilahirkan jika tidak diakui, bahkan ia tak tahu namanya sendiri dan tak sempat mengulum tetek ibunya sendiri. Tak bisa merasa kesenangan anak kecil sepertinya lainnya, bermain bola atau saling berkejaran mengejar matahari terbenam.
Hal yang ia bisa lakukan hanyalah bagaimana melawan rasa lapar dan haus yang berada di dalam perutnya. Cacing-cacing dalam perutnya terus berontak dan minta jatah pada tuannya yang masih kecil ini. Ia hanya tahu bertahan hidup, memungut makanan yang ditinggalkan pemiliknya dan minum air sisa dari botol yang terceceran di ujung jalan itu.
Suatu ketika bocah ini berusaha mendekati kerumunan anak seusianya yang sedang bermain bola. Sifat kekanak-kanaknya itu membuat mendekati mereka untuk ikut bermain, saat bola yang diperebutkan mental ke arahnya dan kaki kecil tak kuasa menendangnya mengenali salah satu anak tersebut.
Sesaat itu terhenti keriuhan di sana, mereka memandang bocah ini dengan tajam seakan sangat membencinya.
“Penyihir cilik… penyihir cilik… pergi kau! Tubuhnya tak diundang di sini,” teriak salah satu anak disana. Mereka kompak menghujat bocah ini, melempari ia dengan batu dan mengenai kepala. Lemparan-lemparan itu membuat kening mengucur darah, tidak kepala bahkan sekujur tubuh tapi bocah ini tak pernah sekalipun menangis. Orang sekelilingan hanya diam dan tidak berbuat apapun karena hanya mengiyakan perbuatan anak-anak mereka.
Malam ini bocah penyihir ini berselimut dingin dengan sekujur tubuh penuh luka tapi ajaib luka cepat mengering. Masyarakat Uyo mengira bocah sial itu menjadi bangkai mati dan lenyap kesialan di negeri itu. Tapi paginya anak ini tetap hidup dan mengais-gais sampah dekat pasar itu lagi dan mengerat daging busuk kembali. Tuhan memang sayang sama anak satu ini, ada rencana lain buatnya.
Sudah ratusan anak menjadi korban tuduhan penyihir yang menyisahkan pedih jika melihatnya. Tuduhan tidak masuk akal untuk anak kelainan fisik, indigo atau terlihat aneh tidak seperti anak umumnya. Sekte gereja orthodox setempat mengklaim anak-anak ini kerasukan setan dan harus diusir, penguasa tidak berbuat apapun karena kemiskinan menguasai semua lini kehidupan Akwan Ibom.
Malam itu seperti malam lainnya, bocah ini duduk sendirian memandang langit matanya dan disampingnya ada seekor anak anjing yang tengil kotor disampingnya. Tanganya mengelus-mengelus kepala anjing ini
“Kau kesepian juga, akupun demikian” ujarnya biarpun anjing tak tahu apa yang dikatakan dan hanya menjulur-julurkan lidah.
“Andai dunia ini kiamat dan tak ada satuppun orang hidup. Maukah kau jadi temanku”
“Orang-orang membenciku, apa kau juga membenciku?”
“Guuuk…guukkk” timpal anjing tapi tak tahu apakah jawaban iya atau tidak sambil mengibas-gibaskan ekornya.
Percakapan bocah ini dan anjing jadi penghias mimpi malam ini yang dingin menusuk tulang
***
Berita tentang bocah penyihir ini menjadi viral di medsos dan didengar kantor berita lokal dan luar. Mereka berduyun-duyun turun ke Akram Ibom untuk mendokumentasikan bocah ini, semua awak kamera menyorotnya jepretan kilat kamera bersambungan menyilaukan mata. Pewarta ini diingatkan masyarakat setempat agar meliput dari kejauhan, polisi juga memasang garis pembatas agar tidak terlalu mendekat kuatir ada jurnalis asing menyentuh bocah ini menular dan membuat citra negeri jelek dimata dunia luar.
Tapi bocah ini tak terlalu peduli akan media yang datang, semua aktivitas diiikuti terus dari ia bangun, berak, kencing sampai ngupil semua tak luput dari sorotan mata kamera media. Esoknya koran pagi terbit sore lokal muncul foto-foto bocah ini, tivi-tivi asing mengulas jadi headline “Bocah Penyihir Akram Ibom” bahkan dilakukan penelitian para peneliti sampai talkshow.
Berita bocah ini menaikkan rating televisi dan oplah koran, ini membuat para pembaca dari luar negeri berdatangan. Turis-turis berduyun-duyun ke Uyo melihat bocah ajaib, datangnya wisatawan ini membawa berkah masyarakat sekitar. Geliat ekonomi mulai naik, devisa uang dollar masuk. Banyak masyarakat sekitar membuka warung dadakan, suvenir dibuar, kaos disablon atau gantungan kunci dibuat.
Selama ini kemiskinan jadi momok sekarang tidak lagi berkat bocah ini, bocah sial ini membawa peruntungan tapi masyarakat Uyo tetap mengganggap hanya sebagai binatang yang ditonton menghasilkan uang bagi mereka
Layak hewandi kebun binatang, turis-turis itu melihat dari kejauhan dengan penjagaan polisi ketat. Bocah ini tak peduli, ia tampak duduk diatas tanah yang kotor berlumpur. Banyak makanan dan minuman dilemparkan ke bocah ini, layaknya monyet mencari pisangnya bocah ini memungutnya. Tepuk riuh kerumanan bergelegar mirip suporter bola saat tim kesayangan menceploskan gol ke gawang lawan.
Berminggu-minggu sampai berbulan pertunjukukan bocah penyihir ini digelar bahkan dikarciskan. Ekonomi penduduk setempat beranjak dari taraf rendah ke menengah atas, para istri bisa membeli perhiasan gelang atau kalung emas yang bisa dipamerkan atau para bapak bisa membeli motor dan para anak memakai baju bagus. Semua itu karena pertunjukkan konyol bocah itu, memang ironis pemandangan tersebut.
Mata sayu bocah ini suatu saat menangkap hal menarik dalam kerumunan itu, sepasang mata itu tampak indah. Mata kiri dengan bola mata biru sedangkan sebelah kanan perpupil hijau. Tapi ada pancaran kesedihan, tapi seperti ada tetes mata mengalir dibawah kelopak mata….ah bocah ini hanya melihat sekilas. Bocah melanjutkan aktivitasnya mengejar dan bermain dengan sabahat anjingnya.
Setelah berbulan-bulan para turis dan awak media luar meliput fenomena ini terjadi kebosanan. Redaktur media menarik crew untuk meliput headline lainnya yang lebih bombastis, turis juga bosan tidak ada yang dilihat dari Uyo selain bocah ini. Sedikit demi sedikit pengunjung berkurang, warung-warung tutup bertumbangan, masyarakat sekitar kehilangan pekerjaan mata pencaharian. Para ibu menggadaikan perhiasan, motor para laki-laki ditarik dealer karena menunggak angsuran. Pada akhirnya kemiskinan kembali ke Akram Ibom, ke awal sekali lagi.
Kejadian ini membuat kemarahan, orang-orang disana menyalahkan bocah penyihir itu kembali.
“Ini gara-gara bocah laknat, kita miskin lagi”
“Pembawa sial !”
“Tukang sihir !”
“Kita bunuh saja !”
“Cincang !”
“Bakar hidup-hidup!”
Semua caci maki dan hinaan sahut menyahut, malam itu mereka membuat rencana busuk
***
Kesunyingan tampak pagi hari itu, deru debu berkibar terkena angin. Kota itu tampak sepi tapi di ujung gang tersebut bermunculan wajah-wajah penuh ketegangan dan kebencian, hawa membunuh tersirat disana. Tidak hanya laki, perempuan dan anak kecil di tangan memegang golok, pisau, rantai ataupun balok kayu. Tampak beringas terlihat seperti dari mata mereka memerah.
“Bunuh anak itu!”
“Habisi !”
“Potong-potong, kasih daging buat makanan anjing!1”
Teriakan-teriakan itu membahana di seantero kota, mereka mencari anak itu tapi kebetulan tak tampak batang hidungnya. Mereka terus mencari dan mencari dengan tujuan menghabisi sang pembawa sial kota mereka. Amarah memucak diubun-ubun dan iblis sudah merasuki mereka tapi tak ketemukan buat pelampisannya.
Terlihat bocah itu bermain dengan anjing tengiknya dipinggiran kali kota ini, kerumunan nan beringas langsung merangsek
“Itu dia, gayang! “
“Jangan sampai hilang”
“Bunuh!
Bocah tak tak tahu kenapa orang-orang ini berlari-lari kearahnya dengan membawa beda-benda tumpul itu. Maka terjadi pembantaian sore hari itu, berbagai pukulan, tendangan, sayatan pisau dan sodokan balok kayu menghantam bocah ini. Setelah puas, mereka menginjak-injak ini di atas tanah. Tubuh itu bersimbah darah tergeletak disamping anjingnya yang lebih dulu dicincang.
Merasa bocah ini telah menghembuskan napas terakhir, jasad dibuang di tumpukan sampah berharap membusuk dan dikerat anjing liar.
Tapi mereka begitu kaget, bahwa esok bocah ini masih berdiri tegak mengais sampah kembali. Betapa geram masyarakat Uyo bahwa buruan tidak mati seperti binatang.
Hajar lagi!
Hidup kembali
Hantam sanan sini!
Tegak berdiri
Itu terjadi berulang-ulang hingga pembantaian ke-13 mereka membiarkan bocah ini di tengah lampangan hingga malam. Kali ini mereka percaya bahwa setan dalam tubuh bocah sudah lenyap dan mereka kembali ke rumah mereka masing-masing. Dan tak sadar ada mata yang memperhatikan pambantaian mereka yang miris.
Tengah malam yang dingin jasad bocah tergeletak sendiri, ada seekor anjing mendekati mencoba menjilat-jilat muka. Tak dikira mata bocah ini perlahan membuka, anjing sepertinya kaget hingga lari terkaing-kaing. Bocah ini merangkak dari kematiannya lagi.
“Aku sudah lelah, kenapa tak kau matikan aku saja” wajahnya tengadah keatas langit penuh dengan bintang.
“Aku tak tahu apa salahku? kenapa mereka memukuliku?”
“Andai kau tahu jawabannya?”
Pekat malam itu ada langkah kecil mendekati ia, langkah itu berhenti didepannya.
“Kau ..kau seperti tidak asing bagiku. Mata itu..mata itu begitu indah.”
Seorang perempuan mendekati bocah ini, seluruh badannya berkulit putih berajah tato dan rambut putih pirang bak emas berkilau di gelapnya malam itu.
Perempuan ini menyodorkan botol aqua ke mulut bocah sambil berjongkok
“Kau begitu cantik, matamu berbinar”
Mata itu layaknya pelangi, memancarkan harapan dan kesedihan. Kulihat airmata itu meleleh dari matamu tapi itu bukan airmata itu sebuah tato airmata. Kenapa kau tato matamu? Apakah kau membenci kebahagian? Kenapa kau menolongku tidak seperti lainnya menghujatku? …ah aku tak tahu jawabannya.
Kau ulurkan tangamu, kau selimuti aku dengan selimut dan kau gendong aku. Begitu hangat.
Kau ajak aku pergi dari kota sialan ini, pergi jauh dari kota ini. Mereka pasti senang bahwa aku sudah tidak ada, menghilang tanpa bekas dan tidak memberikan kesialan lagi kota ini.
Dalam dekapanmu kurasakan degup jantungmu, lama tak kurasakan ini.
Karena setelah ini dan esok kau kupanggil MAMA.
Surabaya, Februari 2017
Baca: Anak Kecil Yang Menggenggam Revolver
Ferry Fansuri, kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya “Roman Picisan” (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antalogi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen “pria dengan rasa jeruk” masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].