Sosok

Biografi Nasjah Djamin, Sang Maestro Seni Rupa Indonesia

NusantaraNews.co – 24 September 1924—Perbaungan, Sumatera Utara­­, kabar bahagia datang dari pasangan Haji Djami’in (asal Padang) dan Siti Sini (asal Painan). Hari itu adalah hari kelahiran putra mereka, Noeralamsjah.

Masa kecil Noeralamsjah dihabiskan di area perkebunan tembakau yang jauh dari kota. Meski begitu, ia bersekolah di HIS Partikelir yang terletak di jantung kota Medan. Noeralamsjah rela setiap hari harus berjalan berkilo-kilo meter tanpa alas kaki untuk bersekolah. Sayangnya, anak-anak kota menyambutnya dengan ejekan. Mereka menganggap Noeralamsjah sebagai ‘anak kebun’ (anak udik) sehingga ia pun minder dan enggan berkawan. ‘Si pendiam’, ‘si bisu’, itulah julukannya. Salah satu hal yang bisa menghiburnya adalah menggambar.

Arang, kapur, dan kayu menjadi alat Noeralamsjah menampakkan goresan-goresan jemarinya. Sedangkan dinding dan tanah harus mau jadi sasaran goresannya. Kecintaannya menggambar nyatanya membuat Noeralamsjah meraih nilai 10 dalam pelajaran menggambar. Hasil gambarannya pun digantung di dinding kelas, berjejer dengan karya reproduksi pelukis Belanda yang tidak terkenal. Muncullah impian Noeralamsjah untuk menjadi seorang pelukis.

NASJAH DJAMIN (1924-1999). Foto: Dok. Invaluable
NASJAH DJAMIN (1924-1999). Foto: Dok. Invaluable

Beranjak remaja, Noeralamsjah memiliki satu lagi ‘teman sepi’ selain melukis. Ia menggemari membaca berbagai jenis bacaan dari buku-buku berat seperti karangan Jules Verne dan Emile Zola, aneka majalah, hingga roman picisan karya penulis Medan. Kini impiannya bertambah, menjadi pengarang.

Jalan Noeralamsjah untuk menjadi pelukis dan pengarang dilaluinya dengan tidak mudah. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Noeralamsjah remaja sempat bekerja menjual telur, menimbun lapangan udara Polonia, menjadi pegawai kebudayaan di zaman Jepang, terjun di dunia revolusi, hingga bekerja di Bunka Ka (kantor propaganda Jepang) sebagai tukang gambar, pelukis poster, dan pembuat “Kami-sibai” (gambar bercerita) atau komik setelah memenangkan lomba poster yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang. Di sinilah Noeralamsjah mengakrabi seni lukis dan bertemu dengan para pelukis Medan, mengenal pelukis-pelukis dunia dengan berbagai alirannya. Timbullah keinginannya merantau belajar melukis di Jawa, karena banyak pelukis Jawa yang namanya membanggakan Indonesia seperti Basoeki Abdullah, Affandi, S. Sudjojono, Kartono Yudhokusumo dan lain-lain.

Dan benar, di Jawa mulai awal tahun 1946, Noeralamsjah bertemu dengan S. Soedjojono yang memiliki andil besar dalam perjalanan Noeralamsjah menjadi pelukis. Ia juga bertemu Affandi, Soedarso, Hendra Gunawan, Trubus, dan para sastrawan salah satunya Chairil Anwar. Di Jawa inilah Noeralamsjah kemudian mempopulerkan dirinya dengan nama Nasjah Djamin. Kemungkinan besar, ‘Nasjah’ merupakan kependekan dari Noeralamsjah, sedangkan Djamin diambil dari nama sang ayah.

Saat Agresi Militer Belanda II, Nasjah Djamin hijrah ke Jakarta dan bergabung dalam Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) yang kemudian bermarkas di garasi Taman Siswa. Di tempat inilah para pelukis dan penyair di Jakarta berkumpul. Di kota ini, Nasjah Djamin sempat bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator dan bergaul dengan para sastrawan Balai Pustaka. Di sini pula ia berjumpa kembali dengan Chairil Anwar yang memberikan pengaruh besar pada karir Nasjah Djamin sebagai sastrawan. Sejak saat itu, seni lukis dan sastra bebarengan menjadi nafas dalam kehidupannya.

Nasjah Djamin, Kuasai Senirupa, Sastra dan Drama. Foto: Dok. Riaupos
Nasjah Djamin, Kuasai Senirupa, Sastra dan Drama. Foto: Dok. Riaupos

Nasjah Djamin kemudian dikenal sebagai pelukis sekaligus sastrawan yang produktif menulis cerita pendek, puisi, naskah drama dan film, serta novel. Ia juga sempat menjadi dekorator dan sutradara dalam panggung drama. Sebagai pelukis, Nasjah tercatat pernah berpameran tunggal dan bersama, baik di dalam maupun di luar negeri (Brazil, Singapura, Jepang, India). Sebagai sastrawan, ia menelurkan banyak karya, beberapa diantaranya cergam buku anak-anak Hang Tuah (1951), buku anak-anak Si Pai Bengal (1952), naskah drama Titik-titik Hitam (1956), Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (1968), biografi Chairil Anwar Hari-hari Akhir Si Penyair (1982), biografi Affandi berjudul Affandi Pelukis (1988), sajak “Pengungsi” yang diterbitkan di Majalah Seniman Th. II No. 2–3 (Mei-Juli 1948), dan banyak lagi karya sastra lainnya.

Tak hanya produktif berkarya, Nasjah juga seorang pengarsip yang rajin. Ia mengumpulkan dan menyimpan dengan sangat rapi artikel yang membahas lukisan dan tulisannya, juga semua dokumentasi dirinya. Uniknya, ia juga mengkritik karyanya sendiri. Nasjah kerap membubuhkan catatan-catatan koreksi dan komentar pendek yang kadang berupa uraian berlembar-lembar di samping artikel yang disimpannya. Ia juga membuat catatan-catatan autokritik terhadap lukisan-lukisannya.

Penulis: Suwarno Wisetrotomo, Kurator Pameran Seni Rupa dan Sastra karya Nasjah Djamin

Related Posts