Budaya / SeniKhazanahKreativitas

Bicara Kebudayaan Indonesia Mustahil Tanpa Membahas Sastra Islam Pesantren

Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sambutan dalam perhelatan Muktamar Sastra 2018. (FOTO: Dok. Kemenag)
Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin sambutan dalam perhelatan Muktamar Sastra 2018. (FOTO: Dok. Kemenag)

NUSANTARANEWS.CO, Situbondo – Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, membicarakan kebudayaan di Indonesia tidak mungkin tanpa membahas kontribusi sastra Islam Pesantren.

Hal tersebut disampaikan Menag saat memberikan pidato pembuka Muktamar Sastra 2018 di Pondok Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Situbondo, Rabu (18/12/2018).

“Membicarakan kebudayaan tidak mungkin tanpa mendiskusikan dan merumuskan kontribusi dunia sastra. Membincang kebudayaan Indonesia juga mustahil jika tidak mempertimbangkan sastra Islam pesantren,” kata Menag, dilansir dari laman Kemenag, Kamis (20/12/2018).

Baca: Menteri Agama Ungkap Tiga Alasan Muktamar Sastra 2018 Penting Digelar

Sebab, jelas Menag, pesantren dengan berbagai tradisi keilmuan serta kiprah kyai, ulama, tengku, buya, tuan guru, santri, dan alumninya, telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia.

“Khazanah sastra pesantren awal, baik yang berbentuk prosa maupun puisi, sering dihubungkan dengan karya sastra sufistis Hamzah Fansuri (w. 1527) dan Syamsuddin al-Sumatra’i (w. 1630) di Aceh, atau Sunan Bonang (w. 1525) dan Sunan Kalijaga di Jawa,” tutur Menag.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Menag menilai, puisi-puisi Hamzah di abad 15 tentang wahdatul wujud khususnya, banyak mengilhami lahirnya karya-karya sastra sufistis di Nusantara masa kemudian, termasuk Yasadipura I (w. 1802), Yasadipura II (w. 1844), dan Ranggawarsita (w. 1873) di Jawa, atau Haji Hasan Mustafa (1852-1930) dalam tradisi sastra Sunda. Para pujangga Jawa ini menerjemahkan konsep wahdatul wujud tersebut menjadi manunggaling kawula Gusti.

Pada 26 November 1973, lanjut Menag, Gus Dur pernah menulis satu artikel berjudul ‘Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia’. Artikel yang terbit di harian Kompas tersebut berusaha ‘memprovokasi’ pembacanya bahwa sebagai objek sastra, dunia pesantren belum memperoleh perhatian selayaknya dari para sastrawan Indonesia, karena belum banyak karya sastra Indonesia yang mengelaborasi ruh dan kejiwaan pesantren.

Simak: Muktamar Sastra, Menag: Jadikan Sebagai Titik Tolak Kebangkitan Sastra Pesantren

“Kini, 45 tahun setelah Gus Dur menyuarakan provokasi sastra pesantren tersebut, kita berkumpul menghelat Muktamar Sastra 2018; sebuah perhelatan yang digagas oleh komunitas pesantren, menghadirkan para sastrawan pesantren, guru-guru pesantren, serta mendiskusikan proyeksi kontribusi sastra pesantren bagi kebudayaan dan peradaban Indonesia,” ujar Menag.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Jadikanlah Muktamar Sastra ini sebagai titik tolak kebangkitan sastra pesantren.Mari manfaatkan momentum ini untuk melakukan refleksi, apakah kini sastra pesantren sudah mendapatkan tempat yang layak dalam sejarah kesusasteraan Indonesia?,” lanjutnya.

Sekadar diketahui, Muktamar Sastra yang pertama dalam seharah sastra Indonesia akan berlangsung hingga hari ini, Kamis, 20 Desember 2018. Muktamar didesain dalam sidang pleno dan diskusi panel. Gus Mus dijadwalkan akan menyampaikan pidato kebudayaan dengan tajuk “Santri, Sastra, dan Peradaban”. Sub tema yang akan dibahas hingga hari ini, antara lain: Sejarah Kasusastraan Pesantren, serta Pergumulan Kasusastraan di Indonesia. Akan diputar dan didiskusikan juga film Da’wah dan Jalan Da’wah Pesantren.

Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam Muktamar Sastra, antara lain: KH R Achmad Azaim Ibrahimy, KH D Zawawi Imron, KH Mutawakkil Alallah dan Emha Ainun Nadjib.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,155