Oleh: Robiatul Adawiyah*
NUSANTARANEWS.CO – Bagi sebagian kalangan yang gandrung akan kesufian atau pencari jati diri kehidupan, paling tidak harus kenal dengan kitab tasawuf satu ini, Syarh Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari. Syekh Ibnu Athaillah hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mamluk. Beliau lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), Mesir, lalu pindah ke Kairo. Di kota inilah beliau menghabiskan hidupnya dengan mengajar Fikih Madzhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual.
Di dalam kitab Hikam mencakup banyak kalam hikmah bagi manusia untuk dapat menuju ma’rifat, atau paling tidak si manusia dapat mengatur hidupnya agar tidak lalai dalam perkara dunia. Dengan sinau Hikam, paling tidak kita bisa menghadapi masalah dunia dengan slow, kalem dan berkelas. Atau istilah lainnya, kita bisa menjadikan dunia dalam genggaman kita dan mengaturnya layaknya pemilik dunia itu.
Baca juga:
- Selamat Datang Bulan Penuh Kepura-puraan
- Membincangkan Posisi Muslim di Tahun Politik Bersama Eickelman
- Media Sosial Menambah Runyam Segalanya!
Masuk pada era milenia seperti sekarang, manusia mulai banyak dirasuki dengan kepentingan-kepentingan yang terkadang mengalahkan hakiki kehidupan. Tidak sedikit (kalau tidak mau dikatakan banyak) manusia yang sedikit-sedikit menunjukkan eksistensinya lewat sosialita, bahkan terhadap hal-hal yang bersifat ukhrawi. misalnya sedang ngaji upload, sedang haji upload, sedang kegiatan sosial upload, sedang makan upload.
Artinya, semua itu ada plus-minus nya, layaknya dua kutub besi magnet atau dua saluran aliran listrik. Saat manusia menunjukkan eksistensinya di dunia sosialita ketika melakukan amal ukhrawi, bisa jadi itu sebagai syiar keagamaan ataupun kemanusiaan (alasan yang lumrah bin biasa), tapi minusnya adalah; kita seperti menjadi manusia yang kurang memiliki nilai privasi, sehingga susah untuk ikhlas (meskipun derajat ikhlas itu sangat susah, bahkan tetap susah meskipun sudah berusaha bersusah-payah).
Seolah menjadi sebuah kejumudan bagi sebagian kalangan yang apa-apa upload, sehingga ketika mereka demikian dan di respon negatif oleh beberapa netizen, akhirnya dapat masalah. Dan terkadang masalah tersebut menjadikan dia sebagai manusia yang susah untuk berkembang dan move on, lebih-lebih anak-anak seusia sekolah yang sudah main cinta-cintaan (tapi bukan itu intinya).
Maksudnya adalah, bahwa dengan sekelumit dunia milenia sekarang ini, manusia mudah membuat masalah lewat apapun, termasuk lewat media sosial karena dengan niat yang salah terkadang kaprah pula. Menurut Hikam, sebagai manusia kita harus selalu meng-upgrade niat setiap harinya, karena Man Asyroqot Bidayatuhu, Asyroqot Nihayatuhu (barang siapa yang bersinar di awal -perjalanannya- dia akan tetap bersinar di akhirnya).
Ketika kita selalu memperbaiki niat di setiap kita mengawali hari, bukan tidak mungkin hasil yang kita capai (setidaknya di hari itu) akan lebih baik. Lalu, bagaimana dengan niat kita bersosmed, apakah sudah benar? Tulisan ini bukan untuk menyalahkan atau bahkan memvonis, hanya sebuah kesadaran (sesaat) tentang bahaya laten bersosmed.
Pertama, belajar ikhlas tidak ada batas. Oleh Hikam, manusia harus belajar beramal tanpa mengharapkan apa-apa, termasuk pujian (lewat medsos), apalagi reward. Manusia disarankan untuk selalu ikhlas dalam beramal, disebutkan dalam sayarahnya; “Bukanlah seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa-apa kepadanya.” Pemahaman yang terbangun jika ditinjau dari kajian Hikam adalah bahwa; manusia diharuskan untuk mencintai Allah (mahabbah Ilahiah), maka cukuplah hanya meminta apa-apa dari Allah, bukan dari manusia. Manusia setidaknya terus berkorban (untuk menjaga privasi amalnya, agar tidak riya’ maupun sum’ah) untuk dapat menerima hadiah riil dari Tuhannya, (karena di era sekarang, tidak menunjukkan eksistensi amalnya, merupakan hal yang susah untuk dilakukan). Memang, bukan tidak mungkin manusia bisa lepas dari hal itu, hanya saja di abad 21 ini, beramal seperti sebuah perjudian.
Kedua, “Bagaimana engkau akan meminta upah terhadap suatu amal yang Allah sendiri menyedekahkan kepadamu amal itu, atau bagaimana engkau meminta balasan atas suatu keikhlasan, padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?”. Memang, sangat sulit menmahami makna pas dari Hikam ini, setidaknya begini; manusia disuruh beramal dengan dilandasi kecintaan pada Allah, tapi manusia dilarang untuk berharap, padahal di satu sisi, tasawuf mengajarkan khauf dan raja’ (takut dan berharap hanya kepada Allah). Ketika manusia beramal dan mengharapkan hadiah dari Allah, itu sebuah keabsurd-an dan sebuah perilaku su’ul adab pada Allah, aplagi berharap pada manusia. Bagaimana tidak, loh kita sudah beramal saja karena Allah, lah kok malah minta gajian sama Allah atas amal kita, apalagi minta gajian sama manusia perantara sosmed, agar dibilang sukses besar. Padahal manusia itu sendiri adalah makhluk ciptaan Allah, artinya kita bisa disebut double su’ul adab (sudah beramal karena Allah dan minta gajian maupun ketenaran terhadap makhluk yang diciptakan Allah). Bahkan hingga kita bisa ikhlas pun itu karena Allah, lalu kita mau minta gajian lagi sama Allah karena kita sudah ikhlas?. Coba renungkan. Tapi setidaknya dengan tidak ngeksis di sosmed, karena ketika kita beramal secara sembunyi-sembunyi, merupakan salah satu indikasi ikhlas, menghindari riya’ dan sum’ah, dan kalaupun terpaksa harus ngeksis niatkan untuk kebaikan.
Ketiga, Ibnu Athaillah juga mengingatkan bahwa “Kecintaan berlebihan dalam bentuk kerakusan (thama’) menjadi penyebab munculnya kehinaan seseorang”. Jika thama’ dimaknai dengan arti; berharap terhadap sesuatu yang sepertinya tidak mungkin terjadi. Maka, tidak sedikit manusia yang hina.
Gampangnya, era sekarang manusia tidak berpikir mengenai apapun status dan kelebihan apa yang dimilikinya, ketika dia dengan mudah beramal dan di eksiskan, mereka berharap setidaknya begini; ah, upload ah, siapa tau bisa menginspirasi orang lain, siapa tau dapat dilihat pemerintah dan diberi reward, misalnya. Boleh saja dan sah-sah saja mempunyai anggapan demikian, tapi jika ditinjau dari arti Hikamnya, lebih baiknya manusia tidak usah berharap apa-apa, dan hanya boleh melakukan apa-apa sesuai perintah-Nya, dengan niat yang mulia.
Setidaknya, jika kita memang harus menunjukkan eksistensi kita dalam media, maka niatkan lah dengan niat mulia, seperti dengan tujuan tahadduts bin ni’mah atau syiar kemanusiaan maupun keagamaan. Belajar ikhlas tidak ada batas, hindari hal-hal yang berbau riya’ dan sum’ah untuk dapat menstimulus acara belajar ikhlas kita. Serta jangan berharap lebih terhadap hal-hal yang sepertinya absurd. Karena bagaimanapun juga di zaman modern-kontemporer sekarang ini, manusia tidak bisa lepas bahkan bisa dikatakan butuh terhadap hal-hal beginian (medsos dan eksistensi, namun yang perlu dijaga adalah niat dan harapan). Relevan dengan ungkapan Sayyidina Ali; aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia
*Robiatul Adawiyah atau panggilan sayangnya biasa disapa Wiwi. Mahasiswi akhir Manajemen Pendidikan di STAI Az-Ziyadah Jakarta. Juga sebagai aktivis pergerakan menjabat sebagai Ketua Cabang PMII Jakarta Timur Mandataris. Perempuan asli Betawi yang doyan tidur dan doyan jalan serta gemar menunggu perjaka pulang dari masjid.