Berita UtamaPolitik

Berpikir ‘Sehat’ Isu Terorisme

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pernyataan Audrey Kurth Cronin yang menyatakan “terrorism picks at the vulnerable seam between domestic law and foreign war” tampaknya perlu direkontruksi. Sebab apa yang dilontarkan Audrey Kurth ini seolah menguatkan asumsi bahwa pelaku teror selalu diidentikkan dengan anti-Barat.

Pertanyaannya benarkah terorisme didominasi anti-Barat. Mari diperhatikan berdasarkan targetnya, benarkah objek mereka Barat? Bila dilihat retorikanya, atau slogan-slogannya, adalah wacana anti-Barat? Dari mana asumsi ini berasal? Apakah hanya asal klaim saja?

Mantan Presiden Amerika Serikat George W Bush dalam pidatonya sekitar 10 hari setelah serangan 9/11, mengatakan, “Mengapa mereka membenci kita? Mereka membenci apa yang mereka lihat di sini, di negara dimana pemerintah dipilih secara demokratis. Mereka membenci kebebasan kita, kebebasan beragama kita, kebebasan berbicara kita, serta kebebasan kita untuk memilih.

Osama Bin Laden, pemimpin Al-Qaeda adalah bukti kuat adanya agenda anti-Barat. Seperti dikutip dari Al Jazeera tahun 2002, dimana Osama menyatakan bahwa prioritas perang ini adalah melawan orang-orang kafir. Terutama apa yang dilakukan oleh Amerika dan Israel terhadap Palestina. Demikian pula buku-buku. Misal yang ditulis oleh Walid Fharis, penulis beberapa buku tentang jihad, yang menggambarkan kelompok teroris atau individu sebagai pengobar perang terhadap Barat. Perang ideologi melawan peradaban Barat dan demokrasi?

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Martha Crenshaw, dalam buku yang diterbitkannya pada tahun 2000, menulis bahwa terorisme yang dimotivasi oleh keyakinan agama, lebih fanatik, dan lebih mematikan. Dirinya melihat diksi ‘jihad’ dianggap sebagai sebuah terorisme jenis baru.

Crenshaw melukiskan bahwa terorisme jenis baru ini sebagai terorisme anti-Barat yang berasal dari Timur Tengah, yang terkait dengan Islam radikal atau fundamentalis. Dalam buku yang sama, yang diterbitkan sebelum 9/11, Martha Crenshaw sudah memperingatkan akan kemunculan Islam radikal seiring dengan maraknya bom bunuh diri di Lebanon dan Israel-Palestina, dengan slogan anti-Amerika dan anti-Israel. Anti Barat tentunya.

Mengapa begitu penting untuk menguji asumsi ini? Jika kita terus tetap percaya bahwa terorisme adalah anti-Barat, tentu saja kita akan memperkuat persepsi ini. Tapi bagaimana kalau itu tidak benar. Bagaimana jika terorisme tidak ditujukan terhadap Barat? Jelas menyebarkan ide terorisme anti western sangat tidak membantu. Bahkan, sangat tidak produktif dalam upaya memerangi terorisme.

Baca Juga:  Wis Wayahe Jadi Bupati, Relawan Sahabat Alfian Dukung Gus Fawait di Pilkada Jember

Sekali lagi, hal ini bukan ide yang baik ketika fakta-fakta empiris tidak mendukung bentrokan atau perjuangan seperti itu. Misal gagasan tentang benturan peradaban yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Bisa saja memperkuat ide ini dengan bentrokan atau perjuangan antara Kristen dan Islam. Dengan frame seperti ini, tentu akan sangat mempengaruhi cara pandang terhadap satu dengan yang lain.

Bila dilakukan pendekatan geografis, bisa dilihat bahwa insiden terorisme tahun 2011, lebih banyak dialami oleh negara-negara muslim, bukan di negara-negara Barat. Di Barat justru tingkat serangan terorisme sangat rendah. Demikian pula di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, dan Australia.

Sekarang mari tengok kawasan Timur tengah, misal Irak atau beberapa negara di Asia Selatan seperti Afghanistan, Pakistan, India, dan Afrika. Ini semua adalah negara-negara muslim yang tingkat serangan terorismenya tinggi. Juga di Afrika Utara, Nigeria, terutama bagian utara. Termasuk Rusia di daerah bagian selatan seperti wilayah Kaukus, yang berpenduduk Muslim.

Baca Juga:  Rawan Timbulkan Bencana di Jawa Timur, Inilah Yang Dilakukan Jika Musim La Nina

Jadi bukan di Barat yang paling banyak dihadapkan kepada ancaman terorisme. Ada data yang sangat mencolok sebagaimana yang dilaporkan oleh sebuah lembaga terkenal di Amerika Serikat yakni National Counter Terrorism Center bahwa tahun 2011, negara-negara Muslim paling menderita antara 82 sampai 90%. Sementara 97% dari kematian terkait terorisme. Itu muncul diseluruh dunia, tahun 2005 dan juga 2010.

Penting untuk diketahui, selama 50 tahun, Terorisme merupakan fenomena internasional. Kata “teroris” dan “terorisme” bersifat pejoratif. Sebagai gantinya, beberapa media Barat seperti BBC lebih suka menggunakan kata “militants“, “separatists”, “guerillas” atau “insurgents” (pemberontak).

Recent experience, seperti di Chechnya, memperlihatkan terorisme berdampak negatif pada proses demokratisasi, memukul reformasi politik, dan jadi pintu-masuk bagi diktatorial Vladimir Putin. Seorang pedantic demokrasi (Hendardi) tegas menyatakan terorisme adalah masalah kriminal.

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 30