Artikel

Berharap Generasi Millennial Mendobrak Kebuntuan Birokrasi

DI PENGHUJUNG 2017, penulis terlibat dalam diskusi kecil dengan seorang petinggi sebuah perguruan tinggi swasta di daerah Petojo, Jakarta Pusat. Pria Nusa Tenggara Timur (NTT) bertanya mengapa penulis mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di sebuah institusi pemerintah. Dengan gamblang penulis menjelaskan bahwa penulis sangat menolak keras praktik-praktik korupsi yang jamak dilakukan di birokrasi pemerintah.

Tidak hanya itu, selama generasi baby boomers dengan segala mindset dan cultureset-nya yang kolot masih eksis, kemajuan birokrasi akan sulit dicapai. Yang lebih ekstrim, jika budaya busuk tersebut dilembagakan sebagai budaya organisasi, maka akan menjadi racun sistemik yang akan mematikan generasi muda penuh semangat yang ada di dalam organisasi tersebut.

Eksistensi generasi baby boomers (mereka yang lahir >1960), termasuk generasi X zona menengah (1960-1975) memang menjadi perdebatan jika berbicara mengenai kemajuan dan dinamisme organisasi, terlebih lagi kuantitas mereka sangat gemuk di lembaga-lembaga pemerintah. Coba saja tarik satu contoh kementerian di negara ini, apapun kementeriannya, akan ditemui bahwa posisi direktur jenderal, deputi, bahkan satf ahli akan berada pada jenjang umur generasi tersebut.

Eksistensi mereka dideterminasi oleh pola penjenjangan jabatan di lembaga pemerintah bahwa untuk posisi-posisi tersebut memang mensyaratkan figur-figur dengan masa jabatan tertentu. Alhasil, semakin ke atas (baca: tinggi) sebuah jabatan, bisa dipastikan pengawaknya adalah generasi baby boomers.

Secara filosofis ini tidak akan dipermasalahkan apabila mereka adalah individu yang mampu memeluk perubahan, memiliki kustomisasi dalam memimpin kalangan lintas generasi, terpenting, tidak memiliki karakter korupsi, kolusi, serta nepotisme, tiga budaya jahiliyah yang mengakar kuat di birokrasi selama rezim Soeharto. Permasalahanya, sebagian besar baby boomers yang menduduki jabatan puncak birokrasi memiliki karakter sebaliknya! Ini fatal karena jabatan strategis mereka memberikan corak yang kuat pada kultur dan kebijakan organisasi.

Ini bukan sekadar asumsi sembarang tuduh. Tapi pengalaman yang bersifat empirik, dan sudah menjadi rahasia umum yang tak kunjung ada solusinya. Ada banyak sekali faktor pemicu mengapa birokrasi negeri ini bak gajah gemuk penyakitan, malas bergerak, tapi eksistensi generasi baby boomers dan X, suka tidak suka, menjadi biang kerok yang menduduki persentase terbesar.

Akan penulis jelaskan lebih lanjut dampak-dampak negatif eksistensi generasi ini. Tadinya penulis berfikir bahwa efek negatifnya hanya seputar permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme saja. Sehingga, jika hendak ditarik data kuantitatif, existing lost negara adalah akumulasi tiga faktor tersebut. Ternyata penulis keliru! Penulis belum menghitung efek derivatifnya.

Apa itu efek derivatifnya? Sebagai contoh, praktik kolusi dalam rekrutmen ASN akan menghasilkan abdi negara yang tidak hanya korup (berpotensi korupsi apabila ia menggelontorkan sejumlah uang agar bisa diterima karena akan memperhitungkan balik modal beberapa tahun yang akan datang), tapi juga inkompeten yang pada tataran yang lebih jauh akan menyebabkan kebocoran-kebocoran bagi negara.

Sebagai ilustrasi, apabila abdi negara ini dianalogikan sebagai seorang sopir yang tidak kompeten, bensin 10 liter yang diasumsikan bisa untuk keperluan tempuh 20 km, bisa habis hanya dalam 10 km jarak tempuh, karena si sopir tidak piawai mengendarai mobil, serta tidak paham medan sehingga memilih jalur-jalur sulit dan macet. Bayangkan jika ASN ini menduduki jabatan vital di lembaga negara.

Lantas bagaimana solusinya? Birokrasi adalah mesin utama negara dalam melayani rakyat, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Dan, birokrat adalah pelayannya. Suka tidak suka, perbaikan harus dilakukan pada birokrasi secara kelembagaan, dan mentalitas birokrat secara personal.

Penulis teringat sebuah cerita. Sebuah perusahaan makanan berbahan dasar ikan mengalami kerugian karena ikan-ikan Salmon hidup yang mereka angkut dari pelabuhan menuju penampungan kebanyakan mati dalam perjalanan distribusi. Pemilik perusahaan tak kehilangan akal. Ia masukkan anak-anak Hiu dalam tiap-tiap kantong ikan Salmon. Alhasil, angka kematian bisa ditekan dengan signifikan. Hal ini terjadi karena ikan-ikan Salmon harus bergerak setiap detik agar mereka tidak dimangsa oleh anak Hiu. Agar tidak mati, butuh bergerak!

Secara eksplisit penulis hendak menganalogikan ikan Salmon ini sebagai generasi baby boomers atau X yang ada di lembaga negara. Agar mereka tidak koruptif dan selalu memeluk perubahan, mereka butuh eksistensi anak-anak Hiu di “kolam” mereka. Keberadaan anak-anak Hiu tidak saja menstimulasi agar mereka terus bergerak, tapi juga bisa menggigit dan mematikan mereka apabila lancang menyalahi tugas dan tanggung jawabnya. Tentu akan sangat sarkastis apabila generasi baby boomers dan X ini dipotong atau dengan istilah lain mengalami potong generasi. Walau bagaimanapun, ada sisi baik dari mereka, yakni pengalaman. Hal-hal buruknya yang dibuang.

Dalam kehidupan riil, ikan-ikan Hiu ini adalah generasi muda. Mereka yang disebut sebagai generasi milenia. Ada yang terkategori sebagai generasi Y, mereka yang lahir pada periode 1981-2000. Generasi Z dan Alpha yang terlahir dalam rentang waktu 2001 ke atas. Mereka yang terkelompok dalam generasi-generasi ini memiliki karakteristik yang lebih relevan dengan tuntutan zaman. Kelebihan utamanya terletak pada ide-ide kreatif dan inovatif, serta mengutamakan logika dan nalar kritis dalam bertindak. Mereka juga sangat menguasai teknologi komunikasi dan informasi yang menjadi anak kandung globalisasi.

Dalam konteks reformasi birokrasi, mereka yang masuk pada kategori mahasiswa tingkat akhir adalah kelompok yang paling pas untuk menghadirkan perubahan. Tentu saja apabila mereka terpanggil untuk menjadi abdi negara. Namun tentu saja tantangannya tak mudah. Saat ini, anak-anak muda, meskipun penulis singgung memiliki beragam kelebihan yang sangat menunjang, tapi lebih banyak berfikir pragmatis dan kalkulatif. Gaji kecil menjadi faktor keengganan mereka bergabung untuk menjadi abdi negara.

Selain itu, para mahasiswa tingkat akhir yang memiliki kemauan dan keinginan untuk menjadi abdi negara disarankan memiliki karakter dan kualifikasi yang baik. Mereka yang terbiasa berorganisasi selama di kampus, mencerap ilmu dan pengetahuan tanpa henti, akan lebih tahan banting dibandingkan dengan mahasiswa ber-IPK tinggi tapi miskin pengalaman organisasi. Mereka yang mengenyam pengalaman organisasi selama di kampus, terlebih lagi organisasi pergerakan akan lebih mudah menghadapi ragam situasi, ragam kondisi, dan tentu saja ragam persona. Hal ini penting karena ketika terjun berlaga dan mengabdi di birokrasi, mereka akan menghadapi lintas generasi, terutama generasi X dan baby boomers yang konservatif.

Akhir kata dan sebagai penutup, penulis hendak mengetuk hati mahasiswa untuk menjadi abdi negara, entah itu sebagai ASN/TNI/Polri. Kondisi hari ini sungguh mencemaskan. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sungguh akut. Jika dulu penulis memutuskan untuk pensiun dini sebagai ASN, keputusan itu sungguh penulis sesali. Meskipun kini berjuang di jalur, penulis masih komit untuk terus berkontribusi bagi bangsa dan negara. Tidak seharusnya penulis cepat menyerah pada sistem. Untuk itu penulis mengajak mahasiswa untuk menjadi hiu-hiu muda yang mampu mendorong dan mendobrak agar birokrasi kembali kepada khittahnya, sebagai mesin pelayan masyarakat. Tentunya dengan segala konsekuensi dan risikonya. Adakah kalian tergugah?

Oleh: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, Direktur Eksekutif Literasi Unggul Consulting

Related Posts