Opini

Bencana Kabut Asap Terulang Lagi: Negara Lalai?

NUSANTARANEWS.CO – Bencana kabut asap nampaknya telah menjadi bencana rutin yang harus ditanggung oleh sebagian masyarakat Indonesia. Belum lama teringat dibenak kita bencana kabut asap yang terjadi pada ahir tahun 2015 silam yang membuat gelap beberapa daerah di Indonesia, mengganggu aktivitas masyarakat, dan bahkan menimbulkan berbagai macam dampak penyakit. Tahun ini pada Agustus 2016 bencana kabut asap itu terjadi lagi. Bahkan tak tanggung-tanggug kini daerah areal kebakaran hutan semakin meluas.

Berdasarkan data dari yang dirilis oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional bahwa, pada agustus 2016 titik api di pulau sumatera terus meluas. Hal ini dapat dilihat dari sebarannya yang merata di pulau tersebut. Di Sumatera Selatan terdapat 31 titik api, Sumatera Barat terdapat 7 titik api, Bangka Belitung terdapat 10 titik api, Aceh terdapat 16 titik api, Lampung terdapat 3 titik api, dan Riau terdapat 5 titik api.

Bulan Agustus yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaan, dimana tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia. Namun ternyata kemerdekaan itu belum dirasakan oleh sebagian masyarakat kita yang tinggal di pulau Sumatra. Bencana kabut asap yang bisa dikatakan sebagai bencana rutin yang terjadi di wilayah tersebut, menjadi bukti nyata bahwa cita-cita kemerdekaan sebagai jalan suci menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang luhur belum bisa dicapai. hal ini terbukti dari gagalnya pemerintah dalam melindungi masyarakat Indonesia dari bencana kabut asap yang menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat Indonesia. Bahkan cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umumpun seakan hanya mimpi dan janji politik yang biasa kita dengar menjelang pemilu saja.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Seharusnya pemerintah bisa belajar dari bencana kabut asap yang terjadi ahir tahun 2015 silam. Sebagai refleksi agar bencana tersebut tidak terjadi lagi pada tahun ini. Tapi terjadinya bencana kabut asap pada Agustus 2015 ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah belum sepenuhnya serius dalam menangani kasus-kasus pembakaran lahan yang menyebabkan rusaknya hutan dan menebalnya kabut asap. Padahal peran pemerintah dalam menangani bencana kabut asap ini sangatlah strategis, mulai dari dorongan dalam membuat regulasi, peraturan yang pro terhadap pelestarian hutan, maupun perlindungan terhadap lingkungan sampai pada tataran implementasi kebijakan dan peraturan.

Kalau kita melihat pada tataran regulasi kita yang bermasalah, kita dapat melihatnya pada Pasal 69 ayat 2 di UU Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana dalam ketentuan tersebut mengatur tentang bolehnya membuka lahan dengan cara membakar hutan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) Permen LH Nomor 10 Tahun 2010, yang membolehkan masyarakat hukum adat untuk melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas local.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Selain itu, Pergub Kalteng No 52 Tahun 2008 No 15 Tahun 2010 yang diatur bahwa, bolehnya membuka lahan dengan cara membakar harus namun harus disertai dengan izin dari pejabat yang berwenang. Adanya aturan tersebut sangat disayangkan sekali, bahwa seharusnya regulasi dibentuk untuk melindungi hutan, lingkungan ataupun masyarakat. Namun dalam aturan tersebut telah terbukti secara nyata digunakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk membakar lahan secara sporadis dan merusak hutan dan lingkungan hidup bukan membakar lahan untuk mengembangkan varietas lokal daerah tersebut.

Pada tataran implementasi, pemerintah hendaknya memantau secara rutin terhadap kasus-kasus pembakaran hutan yang terjadi di hutan Indonesia. Dan jika memang terdapat alat bukti yang sah dan meyakinkan, seharusnya pemerintah tegas dan berani membawa kasus tersebut pada ranah peradilan baik kasus yang menyangkut perusahaan besar sekalipun. Sehingga kasus-kasus serupa tidak akan terjadi lagi di tahun tahun mendatang.

Cita-cita mulia kemerdekaan seharusnya dimaknai sebagai peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia, serta distribusi keadilan bagi masyarakatnya. Bukan distribusi kesejahteraan bagi oknum-oknum pemodal untuk menggunakan hutan Indonesia sebagai lahan yang bisa dirusak kapanpun untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Pemerintah harus sadar bahwa saat ini masyarakat telah bosan dengan janji-janji manis politik yang hanya janji bukan realisasi. Bahkan saat ini masyarakat pun bisa menilai keberpihakan pemerintah, entah pada oknum pemodal atau kepada masyarakat.

Pada tulisan ini penulis ingin meyampaikan beberapa saran terkait problematika yang penulis sampaikan diatas.

Pertama, revisi segala peraturan mulai dari UU sampai Perda yang membolehkan membuka lahan dengan cara membakar hutan. Kedua, pemerintah harus belajar dari kasus-kasus pembakaran hutan yang menyebabkan dampak buruk terhadap masyarakat, hutan, maupun lingkungan. Ketika, koordinasi dengan aparatur yang berwenang untuk melakukan monitoring selalu pada daerah daerah yang rawan terhadap pembakaran hutan khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Keempat, Evaluasi terhadap sistem pengawasan hutan yang selama ini dilakukan. Kelima, Tindak tegas oknum pembakar hutan yang menyebabkan bencana kabut asap, baik dari unsur masyarakat, pemerintah, aparat, maupun unsur swasta.

Terakhir penulis berharap kebakaran hutan tidak akan terjadi lagi di hutan-hutan di Indonesia. Sehingga hutan Indonesia semakin lestari dan masyarakat dapat menikmati udara yang bersih dan bisa melanjutkan aktifitas seperti biasa. (Penulis: Arifin Ma’ruf, Pemerhati Hukum di LOGICs, Aktivis di Javlec Indonesia, Mahasiswa Magister Hukum UII Yogyakarta | Editor Red-02)

Opini Arifin Ma’ruf yang lain: Kasus Narkoba Semakin Meningkat, Kenapa?

Related Posts

1 of 9