EkonomiHukum

Benarkah Yamaha dan Honda Sekongkol Lakukan Kartel?

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing YIMM dan Astra Honda Motor AHM terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 5 Pasal 5‎ Tahun 1999 tentang penetapan harga. Kedua perusahaan itu diputuskan terbukti melakukan praktik kartel sesuai perkara 04-2016 tentang dugaan kartel.

‎Majelis komisi persidangan yang dipimpin oleh Tresna Priyana Soemardi serta anggota, R Kurnia Sya’ranie dan Munrokhim Misanam, menilai YIMM dan AHM terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ‎Undang-Undang No 5 Pasal 5‎ Tahun 1999. Majelis komisi juga menghukum YIMM dengan denda Rp 25 miliar dan AHM Rp 22,5 miliar. Denda yang diterima YIMM lebih berat lantaran majelis komisi menilai YIMM telah memanipulasi data di persidangan.

Kalangan pengusaha menganggap putusan KPPU soal persekongkolan penetapan harga Yamaha dan Honda tidak bulat dan kuat, jika berlandaskan bukti pertemuan dan kenaikan harga beriringan dalam periode tertentu.

Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengungkapkan, Komisi baiknya lebih berhati-hati dan tidak mudah membuat pembuktian dalam suatu perkara, mengingat dampaknya langsung pada ekonomi dan kontraproduktif iklim usaha nasional. Dia menjelaskan, jika memang PT YIMM dan PT AHM melakukan kartel, seharusnya mereka dapat mempertahankan pasar masing-masing, dan tidak saling mengambil pangsa pasar. Menurutnya, dengan adanya promosi yang dilakukan masing-masing produsen, ditambah dengan perang harga, sulit melihat para terlapor melakukan persengkokolan anti persaingan.

Bukti yang ditarik KPPU, seperti pertemuan di lapangan golf dan email internal juga menjadi pertanyaan besar. Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata menganggap pertemuan eksekutif banyak terjadi di lapangan golf, tetapi sangat sumir bahwa aktivitas tersebut dianggap pertemuan kesepakatan. Sebagai pesaing, memang sewajarnya produsen mengamati gerak-gerik pesaingnya, dan bahkan mengikuti cara bermainnya.

Baca Juga:  Tim Gabungan TNI dan KUPP Tahuna Gagalkan Penyelundupan Kosmetik Ilegal dari Filipina

Staff Ahli KPPU, Muhammad Reza menilai dampak yang dimaksud oleh Menteri Perindustrian beberapa saat setelah putusan dibacakan, bisa saja bukan masalah denda,  dan mungkin saja yang dimaksud adalah dampak positif. Lebih jauh Muhammad Reza menjelaskan dampak positif dari hal ini adalah, bila tidak ada lagi kartel maka iklim persaingan akan menjadi lebih baik, demikian dibahas dalam perbincangan bisnis yang diadakan  oleh PASFM Radio Bisnis Jakarta, di Free Function Room Hotel Ibis Harmoni.

Sementara itu menurut Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto sejauh KPPU mampu melaksanakan pengawasan dan sesuai dengan undang-undang maka keputusan tersebut diperbolehkan. Mengenai apakah berdampak positif atau negatif harus juga dikaji terlebih dahulu. Darmadi Durianto menambahkan sesuai dengan undang-undang denda kartel berkisar antara 25 hingga 100 milyar rupiah. Selain itu Darmadi juga mengingatkan perlunya para pengusaha memberi masukkan untuk RUU yang baru, mengingat dalam RUU tersebut denda akan berdasarkan persentase.

Ditempat yang sama Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia, Gunadi Shinduwinata, mengatakan masalah ini sebenarnya bukan masalah dendanya, tetapi apakah memadai menjatukan sanksi bahwa dua perusahaan tersebut masuk didalam suatu persekongkolan jahat untuk menguasai pasar. Mengenai dampak tidak perlu dikaji, mengingat hal tersebut pasti terjadi. Saat ini pemerintah berusaha memasukkan investasi sebesar-besarnya namun disisi lain pengusaha menghadapi situasi seperti sanksi ini. Gunadi Shinduwinata menambahkan pihak asosiasi juga sudah memperingatkan para anggotanya saat undang-undang ini digulirkan. Saat ini keraguan terhadap situasi terhadap iklim berusaha di Indonesia sudah mulai muncul, akibat kasus-kasus seperti ini.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sutrisno Iwantono melihat undang-undang persaingan usaha dan lembaga yang mengawasi persaingan usaha memang diperlukan, mengingat hal tersebut dapat membuat ekonomi indonesia tumbuh dengan baik. Namun persoalannya apakah hal tersebut dapat dijalankan dengan baik. Lebih jauh Sutrisno menjelaskan bagi perusahaan besar reputasi ketika dituduh saja sudah menjadi masalah. Apalagi saat proses masih berjalan sudah digembargemborkan bersalah. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan dipara partner bisnis.

Pakar Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan,  Udin Silalahi  mengingatkan bahwa hukum persaingan usaha adalah untuk melindungi persaingan usaha itu sendiri, bukan untuk melindungi pelaku usaha.  Udin Silalahi menambahkan yang jadi pertanyaan adalah bagaimana menegakkan undang-undang tersebut. Jika sudah mengetahui pasal yang digunakan, maka pasal tersebut haruslah dibuktikan. Dalam kasus ini yang digunakan adalah pasal 5 ayat ini, dimana hal ini membutuhkan bukti langsung, sehingga jika ditemukan bukti langsung maka tidak masalah bila langsung ketuk palu. Menurut Udin Silalahi bila bukti langsung tersebut ada, pelaku usaha akan menerima sanksi yang diberikan, namun bila tidak merasa bersalah maka harus ada prosedur atau tata cara yang harus dilaksanakan sehingga para pelaku usaha dapat menerima pembuktian tersebut.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Tim Kuasa hukum Astra Honda Motor, Ferry menjelaskan saat ini pihaknya belum menerima petikkan keputusan KPPU. Saat ini pihaknya masih membahas persiapan secara internal mengingat belum mengetahui pertimbangan pertimbangan hukum yang diambil oleh KPPU seperti apa. Ferry menjelaskan pihak menilai alat bukti yang digunakan KPPU masih sumir, digunakan untuk menuduh sebuah tuduhan kartel berupa penetapan harga. Ferry menambahkan kemungkinan kartel sulit untuk terjadi mengingat pasar Honda yang terus naik dan cenderung menggerus pasar Yamaha.

Sementara menurut Tim Kuasa Hukum Yamaha, Rikrik Rizkiyana menilai keputusan ini merupakan keputusan terburuk dalam sejarah berdirinya KPPU mengingat dari mulai proses penyelidikkan ada beberapa tindakkan yang diluar batas kewenangan KPPU, seperti mendatangi premis untuk bertemu dengan seseorang tanpa memberikan identitas yang jelas. Selain itu dalam proses pemeriksaan ada bukti yang menjadi dasar kesimpulan dari keputusan namun tidak tervalidasi. Rikrik menilai hal ini sudah layak membuat keputusan ini batal demi hukum di pengadilan nanti. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ferry, Rikrik juga mengaku jika pihaknya belum menerima salinan keputusan.

Reporter: Richard Andika

Related Posts

1 of 419