Benarkah RUU Pesantren Tak Representasikan Kepentingan Semua Umat Beragama di Indonesia?

ruu pesantren, madrasah diniyah, pendidikan keagamaan, agama indonesia, kepentingan agama, prolegnas dpr, tradisi keagamaan, kultur keagamaan, agama mainstream, kelompok minoritas, aspirasi keagamaan, pesantrean, santri, pesan pesantren, perjuangan santri, nusantara, nusantara news, nusantaranews
Pondok Pesantren dan Santri. (Foto: Ilustrasi/dijawabarat.com)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Berkat dorongan dari berbagai pihak, RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan sudah masuk dalam Prolegnas DPR RI. Pemerintah diminta memperhatikan keberadaan Pondok Pesantren dan memberdayakannya karena dinilai efektif untuk meredam kelompok radikal.

Selama ini, pendidikan pesantren dan madrasah dianggap kurang mendapat perhatian pemerintah. Padahal, peran dan fungsinya sangat strategis sekaligus wadah para ulama menyumbangkan ide-idenya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Baca juga: GMNI: RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Berpotensi Melukai Pancasila

Pesantren dan madrasah tentu sumringah mengetahui kabar baik soal RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan. RUU tersebut ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018) lalu.

Lantas bagaimana pendapat kalangan masyarakat lain mengenai RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan ini?

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) punya pandangan kritis terkait RUU tersebut. Clance Teddy, Sekjen DPP GMNI menyebut, RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan belum mampu merepresentasikan semua kepentingan umat beragama di Indonesia. Menurutnya, RUU ini belum memperhatikan kultur dan tradisi peribadatan agama-agama lain yang ada. Sehingga perlu dikaji ulang.

Baca juga: PBNU Dorong RUU LPKP

“RUU ini perlu memperhatikan kultur dan tradisi keagamaan yang hendak diatur, perlu memperhatikan kekhasan agama-agama yang ingin diatur. Karena tidak semua agama itu sama dan tidak boleh kita menyamaratakan begitu saja,” ujar Clance Teddy, Rabu (31/10).

Teddy mengungkapkan, sejumlah pasal dalam RUU tersebut dipandang masih belum mengakomodasi kepentingan semua agama yang ada di tanah air. Terutama, kata dia, terdapat sejumlah pasal yang tidak memperhatikan tradisi dan kekhususan dari agama-agama yang ada di Indonesia.

“Misalnya, adanya pasal soal penerapan sekolah minggu dan katekisasi dalam RUU tersebut yang berpotensi berbenturan dengan realitas di lapangan,” kata Teddy.

Pengurus GMNI lainnya, Arjuna Putra Aldino senada dengan Teddy. Dia berharap, RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan tidak merugikan agama-agama lain di Indonesia. Sebab, semua aspirasi keagamaan harus diserap RUU tersebut.

Baca juga: PBNU Berharap Presiden Jokowi Angkat Menteri Urusan Pesantren

“RUU ini harus menyerap semua aspirasi keagamaan yang ada. Tidak boleh hanya mengacu pada agama mainstream saja. Sehingga tidak merugikan kelompok minoritas dan berpotensi intoleran di masa depan,” kata Arjuna.

Lebih lanjut Arjuna berpendapat, RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan harus berfokus pada perlindungan hak dan tradisi keagamaan di tanah air, bukan hanya lekat dengan simbolisasi agama dan nuansa sektarian semata.

“Jika tidak RUU ini akan membahayakan keberagamaan, yang berarti membahayakan Pancasila itu sendiri,” tegasnya.

Pendapat berbeda datang dari inisiator RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan. Dalam sebuah Focus Discussing Group di Gedung PBNU, Kramat Raya pada Selasa 24 Oktober 2017 lalu dia menuturkan pendidikan adalah hak setiap warga negara dan pemerintah wajib menjalani mandat UU, apalagi pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang sudah banyak memberi kontribusi bagi NKRI.

Baca juga: Peneliti: Pluralisme Wujud Harmonisasi Keberagamaan

Selain itu, historisitas santri dan pesantren dalam perjuangan nasional merebut kemerdekaan dipandang tak dapat dinafikan. Menurut Ketum PBNU, Said Aqil Siroj, santri dan pesantren telah terbukti dan teruji dalam perjuangan nasional dengan mengusung slogan Hubbul Wathan minal Iman (nasionalisme bagian dari iman).

Dia menjelaskan, ebelum menggelorakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, kaum santri telah menetapkan nusantara sebagai Darus Salam pada tahun 1936, yang mendasari legitimasi fikih bagi berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila pada 1945.

Baca juga: Kesejahteraan Guru Madin Swasta di Jatim Memprihatikan

Pada 1953, kaum santri menggelari Presiden Indonesia sebagai Waliyyul Amri ad-Dlaruri bis-Syaukah (pemimpin sah yang harus ditaati). Karena itu, pemberontakan DI/TII berarti bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme.

“Tahun 1983/84, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan NKRI final sebagai konsensus nasional (mu’ahadah wathaniyyah),” terang Kiai Said, Jumat 23 November 2017 silam.

Editor: Tim Redaksi

Baca juga: Kiai Sahal: Pondok Pesantren Sumber Waladun Shaleh, Indonesia adalah Ibunya

Exit mobile version