Artikel

Benarkah Permen LHK No.P.39/2017 Membuat Petani Miskin Tak Jual-Beli Tanah Garapan?

Ada beberapa orang dari Jawa Barat mengajukan permohonan uji materiil di Mahkamah Agung (MA) Permen LHK No.P.39/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perhutani. Mereka menghendaki MA membatalkan kebijakan perhutanan sosial pro rakyat miskin di Jawa ini.

Salah seorang Pemohon tinggal di Kabupaten Karawang, ngakunya pemimpin suatu LSM tertentu. Pemohon ini melanjutkan prediksi dan opini tentang akan terjadi praktek jual beli tanah garapan. Kesempatan terjadinya penyimpangan ini terbuka mengingat hak pemanfaatan hutan oleh pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) seperti disebutkan Permen LHK No.P.39/2017 berlangsung cukup lama, yakni 35 tahun.

Apalagi hak garap atau hak pemanfaatan lahan hutan tersebut dapat pula diwariskan. Sengketa kepemilikan lahan hutan Perum Perhutani oleh Pemegang IPHPS akan semakin pelik, sementara masalah pengelolaan hutan akan terabaikan dengan sendirinya.

Prakiraan dan opini Pemohon uji materiil Permen LHK No. P 39/2017 ini sungguh-sungguh tidak mendasar dan tidak rasional. Baginya, lamanya masa Izin Pemanfaatan berpengaruh terhadap terjadi praktek jual beli tanah garapan. Pengktitik ini tanpa memahami mekanisme dan prosedur berlangsungnya Izin Pemanfaatan hingga bisa 35 tahun. Seakan-akan Izin Pemanfaatan itu berlangsung begitu saja tanpa ada monitoring dan evaluasi dari Pihak Pemerintah.

Adalah tidak mungkin bisa terjadi praktek jual beli tanah garapan oleh petani miskin penerima IPHPS. Di bawah Permen LHK No.P.39/2017, petani miskin Jawa tidak akan lakukan jual beli tanah garapan. Mengapa?

Pertama, tanah garapan itu bukan milik pemegang IPHPS. Sesuai Pasal 14 Permen LHK No. P.39, Pemegang IPHPS sekaligus merupakan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Hak Pemegang IPHPS yakni:

a. Melakukan kegiatan pada areal yang telah diberikan IPHPS.
b. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak oleh pihak lain.
c. Mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.
d. Mendapatkan pendampingan dalam hal permohonan, pemanfaatan, penyuluhan, teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran.
e. Mendapatkan hasil usaha pemanfaatan.
f. Bermitra dengan BUMN atau BUMS.

Berdasarkan ketentuan hak-hak Pemegang IPHPS di atas, maka dapat disimpulkan, tidak ada hak Pemegang IPHPS untuk memiliki (hak kepemilikan) atas areal yang telah diberikan IPHPS. Bahkan, di dalam Pasal 15, secara tegas ditetapkan, anggota kelompok dilarang memindahtangankan lahan garapan.

Kedua, mengenai lamanya (35 tahun) Pemegang IPHPS, bukan berarti langsung dan otomatis Pemegang IPHPS memanfaatkan lahan garapan tersebut selama 35 tahun. Dalam pelaksanannya, terdapat monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah. Jika dalam 5 tahun ternyata hasil evaluasi menunjukkan Pemegang IPHPS tidak melaksanakan kewajiban, Pemerintah memberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dalam waktu 1 (satu) bulan dan dikenakan sangsi pencabutan.

Ketiga, ada kendali strategis lain sehingga sangat tidak mungkin terjadi jual beli tanah garapan sepertimana diperkirakan Pemohon/Pengkritik, yakni Pasal 23 Ayat (4) menetapkan, dalam rangka pembinaan dan pengendalian pehutanan sosial, kepada anggota kelompok Pemegang IPHPS diberikan Kartu Perhutanan Sosial oleh salah satu Direktur Jenderal Kementerian LHK (Pemerintah). Ketentuan ini membatasi pihak lain dapat memanfaatkan areal lahan garapan. Akan diketahui cepat jika pihak tertentu mengakui Pemegang IPHPS padahal sesungguhnya bukan Pemegang IPHPS karena tidak bisa menunjukkan Kartu Perhutanan Sosial.

Keempat, dlm implementasi Permen LHK No.P.39/ 2017 ini, Pemerintah atau Negara hadir sepanjang waktu melalui kegiatan antara lain: bantuan teknis, pemberian kredit, pembinaan, fasilitasi, dan monitoring dan evaluasi. Kehadiran negara ini sangat membantu untuk menghindarkan keberhasilan pihak-pihak bermaksud untuk melakukan jual beli lahan garapan.

Pemohon/Pengkritik sungguh-sungguh salah memprediksi dan mengajukan opini tentang akan terjadi praktek jual beli tanah garapan. Pemohon/Pengkritik tidak berangkat dari asumsi dasar, regulasi tertuang di dalam Permen LHK Nomor P.39 sudah mengantisipasi masalah kemungkinan akan terjadi jual beli tanah garapan.

Kelima, pada 11-12 November 2017 ada pertemuan “Rencana Aksi Implementasi Perhutanan Sosial untuk Pemerataan Ekonomi”, bertempat di sebuah Hotel berlokasi di Jakarta Pusat, diselenggarakan oleh Kementerian LHK. Diundang sekitar 22 Kelompok Tani Penggarap Lahan Hutan Negara di Pulau Jawa sebagai implementasi Kebijakan perhutanan dan Permen LHK No.P.39/2017.

Dalam pertemuan, ada 17 Kelompok Tani Perhutanan Sosial diberikan kesempatan untuk menyampaikan berbagai cerita dari lapangan, mencakup:

1. Luas lahan yang sedang dan akan digarap.
2. Sedang mengerjakan apa.
3. Masalah yang digadapi.
4. Rencana Aksi ke depan.

Tidak ada satupun juru bicara Kelompok Tani menyinggung adanya jual beli lahan garapan. Setelah mereka menerima SK IPHPS, malah mereka menganggap diri mereka telah merdeka. Mereka dari penekanan dan intimidasi pihak2 tertentu tentang pemanfaatan lahan.

Di lain pihak, penulis sempat berdialog dan wawancara dengan beberapa pimpinan Kelompok Tani Perhutanan Sosial dimaksud terkait masalah jual beli tanah garapan di bawah Permen LHK No.39/2017. Semua mereka menjawab, tidak mungkin karena ada pengawasan dari kelompok mereka. Pemanfaatan lahan hutan yang diizinkan Pemerintah tidak terlepas dari kerjasama dan pengawasan kelompok penerima IPHPS.

Uraian di atas menolak perkiraan dan opini Pemohon dari Kabupaten Kerawang tsb bahwa petani miskin di Jawa penerima IPHPS akan lakukan jual beli tanah garapan. Bisa jadi perkiraan dan opini Pemohon atau Pengkritik semacam ini berdasarkan potret diri (pengalaman diri) pada masa lalu, tetapi bukan di bawah Permen LHK No.P.39/2017.

Adalah tidak mengada-ada jika Kita meminta Tim Hakim MA untuk menolak permohonan uji materiil Permen LHK No.P.39/2017. Alasannya, argumentasi penerima IPHPS akan lakukan jual beli tanah garapan tidak akan terjadi dan semata-mata hanya untuk membatalkan kebijakan Pemerintah pro rakyat miskin khususnya di Pulau Jawa.

Penulis: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS

Related Posts

1 of 10