OpiniPolitikRubrika

Benarkah Gelombang Pemilu Malaysia Tengah Menuju Indonesia?

Mahathir Mohamad Jadi PM Malaysia Tertua di Dunia. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)
Mahathir Mohamad Jadi PM Malaysia Tertua di Dunia. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Rezim Malaysia tumbang. Kalah telak dengan Mahathir Mohamad. Orang tua yang sudah berusia 92 tahun itu akan memimpin lagi. Setelah rezim Najib Razaq Tumbang, bagaimana dengan nasib Jokowi di 2019? Itulah kira-kira narasi yang terbentuk di otak rakyat Indonesia.

Kekalahan Najib Razaq disinyalir karena dua hal. Pertama, isu korupsi. Rezim Razak dianggap koruptif. Kasus 7 juta USD telah menjeratnya. Rakyat marah. Pemilu jadi ajang pelampiasan. Kedua, isu jual negara ke China. Razaq membuka peluang seluas-luasnya bagi investasi China. Infrastruktur masif dibangun dan TKA China membanjiri Malaysia. Nasionalisme rakyat Malaysia tumbuh. Rezim pro China akhirnya tumbang.

Apa hubungannya dengan Indonesia? Sangat terasa. Saat ini, rakyat Indonesia bicara tentang Malaysia. Medsos dibanjiri berita tumbangnya rezim Najib Razaq. Setelah dilantik, Mahatir akan mengevaluasi kerjasama dengan China yang selama ini dianggap mengancam pribumi dan negara. Viral video pidato Anwar Ibrahim tentang perlunya anak-anak muda menyelamatkan bangsa dengan modal idealisme dan nasionalisme. Para pemuda Indonesia ikut mendidih darahnya. Semangatnya tumbuh dan optimismenya berkobar untuk memperjuangkan perubahan dan membasmi para pengkhianat bangsa.

Baca Juga:  Suasana Lebaran Berkilau di Pantai Lombang: Pertunjukan Seni dan Festival Layangan LED Menyambut Diaspora Sumenep

Apa yang dirasakan rakyat Malaysia nampaknya juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Soal korupsi? Hukum yang terkontrol menjadi faktor tersulit bagi rakyat untuk mengukur keadilan. Sejumlah kasus yang menguap melahirkan banyak kecurigaan. Muncul dugaan-dugaan yang terus tumbuh jadi benih-benih kekecewaan, bahkan kemarahan.

Viral di media sosial, komunikasi via telphon menteri BUMN dengan Dirut PLN soal proyek, tak ada klarifikasi. Secara politik, tragedi ini menyudutkan posisi Jokowi. Opini negatif terbentuk, dan akan sangat berpengaruh terhadap elektabilitas orang nomor satu di negeri ini. Jokowi akan dianggap publik sebagai pihak yang melindungi dan berkolaborasi dengan para penghianat bangsa.

Ada kasus KTP elektronik. Di persidangan, nama Ganjar Pranowo, Yosana Laoly, Puan Maharani dan Pramono Anung disebut. Tapi, nama-nama itu tak kunjung dipanggil, kecuali Ganjar. Seolah kasus menguap. Lagi-lagi, secara politik tak menguntungkan buat Jokowi. Ia akan dianggap sebagai pihak yang menghalangi. Tak mustahil jika suatu saat rakyat bilang: kok mirip sama rezim Malaysia?

Soal TKA China? Hoax. Begitulah kira-kira jawaban selama ini didesain. Belakangan, mulai banyak terbongkar. Sebagian stasiun televisi mainstream mulai meliputnya. Termasuk TVRI, satu-satunya TV milik pemerintah. Rakyat teriak. Tapi, suara mereka seperti tak terdengar. Pelampiasannya, mereka menunggu #2019GantiPresiden.

Seperti Malaysia, Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur. Program ini menjadi branding andalan Jokowi. Itulah yang juga dilakukan Najib Razaq selama berkuasa. Kok sama? Sama-sama hutang dari China. Sama-sama berkomitmen memberi kelonggaran terhadap TKA dari China. Apakah berarti Jokowi akan punya nasib sama dengan Najib Razak?

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Apa yang terjadi di Malaysia punya kemiripan dengan di Indonesia. Tak ayal, pengaruh politiknya terhadap Indonesia diprediksi akan sangat kuat. Negara berdekatan, satu rumpun dan sama-sama berbahasa Melayu. Tak sulit bagi rakyat Indonesia mengikuti peristiwa politik dan tragedi suksesi di Malaysia.

Sebagaimana di Malaysia, oposisi di Indonesia ikut menguat. Meski mendapat tekanan, oposisi Malaysia berhasil tumbangkan rezim di pemilu 9 Mei 2018. Apakah 19 April 2019 akan dialami Indonesia?

Bersamaan dengan suksesi di Malaysia, oposisi di Indonesia sedang dalam proses menguat. Suksesi kepemimpinan di Malaysia seolah menambahkan insulin untuk menumbuhkan optimisme oposisi mengganti presiden di Pilpres 2019.

Istana akan semakin kesulitan untuk membangun narasi perlawanan terhadap oposisi. Kecuali jika istana berani pertama, mengevaluasi, bahkan mengakhiri kerjasamanya dengan China? Kedua, mendorong ketegasan hukum terhadap orang-orang di lingkaran istana yang terindikasi korupsi.

Misal Jokowi bilang: hukum harus ditegakkan secara adil. Ambil tindakan hukum secara tegas terhadap siapapun. Tanpa tebang pilih. Termasuk kepada orang-orang yang dekat dan pendukung istana. Jika Ganjar, Yosana, Puan dan Pramono Anung oleh KPK dianggap terindikasi korupsi, panggil dan proses secara hukum. Termasuk Rini, jika cukup alat bukti, panggil dan adili. Narasi yang keren. Jokowi berani?

Baca Juga:  Wabup Nunukan Buka Workshop Peningkatan Implementasi Reformasi Birokrasi dan Sistem Akuntabilitasi Instansi Pemerintah

Jika dua hal ini dilakukan, Jokowi akan punya narasi yang cukup kuat untuk melawan oposisi. Ini penting untuk mencegah gelombang pengaruh suksesi Malaysia ke Indonesia. Tapi jika tidak, nasib Jokowi akan semakin berat. Tumbangnya Najib Razak akan terus menghantui nasib politiknya di 2019.

Penulis: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Related Posts

1 of 3,163