NUSANTARANEWS.CO – Benarkah Budi Gunawan orang kuat baru Indonesia? Nama Budi Gunawan (BG) kembali mencuat setelah berhasil mempertemukan dua calon presiden (capres) kontestan pemilu 2019 di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta – yang dilanjutkan dengan jamuan makan siang di rumah kediaman Ketua Umum PDIP Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Memang mengejutkan bagi banyak pihak terkait pertemuan kedua capres tersebut mengingat konstelasi politik sepanjang pemilu yang begitu keras dan bersimbah berdarah. Dan lebih mengejutkan lagi ketika tanpa ribut-ribut terkuak bahwa BG lah rupanya “pemain” di balik layar yang mengatur pertemuan politik kelas atas tersebut dengan elegan.
Secara jabatan, memang tidak mengherankan bila BG yang kebetulan menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki kapasitas itu dengan sumber daya dan jaringan yang dimilikinya. Tapi diluar semua itu, orang mungkin lupa dengan sosok BG yang mampu menghentikan sepak terjang KPK terhadap dirinya. KPK gagal menghentikan karier politik calon kapolri ini meski KPK mendapat dukungan kuat dari berbagai pihak.
Bahkan Presiden Jokowi sendiri pun sampai enggan melantik BG menjadi Kapolri meski telah terbukti tidak bersalah. Bukan itu saja, negara tampaknya sampai hari lupa membersihkan nama baik BG setelah menjadi bulan-bulanan KPK.
Tapi peraih Adhi Makayasa ini tampaknya tidak terlalu peduli dengan persoalan etika bernegara tersebut. Bahkan dengan tenang tanpa menimbulkan riak politik melaju menduduki posisi strategis sebagai Kepala BIN.
Bagai tumbuh sayap. BG tanpa banyak diperhitungkan oleh lawan dan kawan menjelma menjadi mesin birokrasi sekaligus mesin “politik” yang memiliki otoritas tak terbendung. Betapa tidak bila kekuatan intelijen negara berada ditangannya.
Selain itu, satu hal yang mungkin lepas dari pengamatan publik adalah hubungan istimewa BG dengan Ketua Umum PDIP Megawati, sebagai kekuatan politik pemenang pemilu 2014 – yang secara otomatis melekat dalam dirinya.
Kini lima tahun telah berlalu. Integritas BG sebagai pemain politik kelas atas menuai hasil. Prabowo pun tampaknya sungkan untuk menolak sosok BG yang dengan santun dulu datang bersilaturahmi ketika hendak maju menjadi calon Kapolri.
Keberhasilan BG memainkan politik elit ini, tampaknya memang tidak terlepas dari gaya politik “Jawa” yang memang masih kental dalam relasi sosial-politik di tanah air. BG tampaknya mulai memainkan takdir politiknya dengan santun sebagai elit politik nasional yang tidak larut dalam hingar-bingar politik pencitraan di era digitalisasi. What next BG? (Agus Setiawan)