Cerpen

Benarkah Aku Bodoh? Cerpen Joe Annas Hasan

cerpen, cerpen Joe annas hasan, aku bodoh, benarkah aku bodoh, cerpen bodoh, cerpenis indonesia, cerpen indonesia, cerpen nusantara, cerita pendek, nusantaranews
Benarkah Aku Bodoh? Cerpen Joe Annas Hasan. (Foto: Ilustrasi/Moreno Durti Kapur)

Benarkah Aku Bodoh? Cerpen Joe Annas Hasan

Aku adalah aku. Tak peduli dengan yang lain. Jika orang lain berbondong-bondong memilih untuk sekolah, maka aku tidak. Aku lebih memilih menjadi penjual sate daripada sekolah. Di samping karena biaya pendidikan itu mahal, aku memang tidak punya niat sama sekali untuk sekolah. Menurutku sekolah hanya membuang-buang uang juga membuang waktu. Sementara dengan menjual sate, aku bisa mendapat uang. Sekarang coba kita renungkan. Kita sekolah selama 12 tahun dengan tujuan akhir nanti akan mendapatkan pekerjaan. Dan dengan pekerjaan itu kita akan menghasilkan uang. Lalu mengapa aku harus menunggu selama 12 tahun untuk mendapat pekerjaan dan menghasilkan uang?

Sedangkan aku sudah punya pekerjaan yang aku suka dan penghasilannya pun boleh dikatakan lumayan. Paling tidak cukup untuk kehidupanku sehari-hari. Begitulah dulu aku berpikir.

Sekarang aku dianugerahi tiga orang anak. Anak pertama dan ketiga parasnya mengikuti wajah cantik istriku. Sedangkan yang nomor 2, ketampanannya tak jauh berbeda denganku. Dari pekerjaanku itulah aku menghidupi istri dan anak-anakku.

Aku tidak sekolah, tapi bukan berarti aku tak bisa hitung, baca, dan tulis. Ketiga poin itu tetap dapat aku lakukan, tapi dalam ukuran yang standar. Dalam arti tahu bahwa 1+1=2. Bukan menghitung angka yang memakai rumus seperti yang ada dalam pelajaran matematika. Dari 1+1=2 itu aku juga bisa menghitung uang, sekali lagi kutegaskan, meski tidak sekolah. Jelas saja. Pokoknya yang namanya uang orang bodohpun bisa berubah jadi pintar.

Aku hanyalah manusia biasa yang tak luput dari lalai, marah, juga sesal. Dan rasa sesal sempat merasuki diriku ketika kulihat anak-anak berseragam sekolah. Menyesal kenapa dulu aku tidak sekolah. Karena kutahu pasti masa-masa disekolah adalah masa-masa paling indah. Dan baru kusadari sekarang saat usiaku sudah menginjak 40-an. Tapi tak apalah. Waktu tidak mungkin berjalan mundur. Yang bisa kulakukan sekarang adalah tidak membiarkan hal itu terjadi pada anak-anakku. Anak-anakku tidak boleh merasakan apa yang aku rasakan.cukup diriku seorang. Minimal anak-anakku harus punya ijazah SMA. Jangan sepertiku yang tidak lulus SD.

Kini anak pertamaku telah lulus SMA. Kusuruh untuk melanjutkan keperguruan tinggi. Tapi ia malah menjawab “nanti ajalah pak, biar otak ini diistirahatkan dulu. Aku mau kerja aja. Mau cari pengalaman baru”. Aku sedih mendengar jawaban anakku. Aku tahu itu bukanlah keinginan hatinya. Ia melakukan itu hanya untuk membantuku membiayai dua orang adiknya yang masih sekolah.

Jujur aku bangga pada Dewi, anak pertamaku. Tidak seperti anak-anak yang lain, yang memaksa orang tuanya atas apa yang dimau meski tahu keadaan ekonominya begitu sulit.

Ada yang baik, ada juga yang buruk. Alan, anak keduaku berbeda dengan Dewi. Alan nakalnya bukan main. Tak jarang aku harus ke sekolah karena mendapat surat panggilan dari Guru BK akibat ulah Alan di sekolah. Berkelahi, bolos, dan jenis kenakalan remaja lainnya. Sampai capek aku menasehatinya. Tapi seolah apa yang aku sampaikan padanya tak satupun yang tertempel diotaknya. Masih saja ia melakukan kesalahan itu. Lagi dan lagi.

Seperti yang sudah aku bilang, ada yang baik, tapi ada juga yang buruk. Senakal-nakalnya Alan, masih ada sisi positif dalam dirinya. Ia tidak pernah mengeluh saat kusuruh ini dan itu. Apapun jenis perintahku. Asal apa yang kusuruh itu tidak berhubungan dengan sekolah. Allan juga yang setia menemani dan membantuku menjual sate dipinggir jalan setiap malamnya.

Aku mulai berpikir. Apakah anakku ini akan mengikuti jejakku? Tidak ingin sekolah. Tapi tidak. Aku tidak boleh berpikir yang negatif pada anakku. Sangat mustahil anak zaman sekarang tidak punya keinginan untuk sekkolah. Aku yakin meski nakal, Alan punya rencana hidup sendiri. Hanya saja itu belum terlihat. Dan waktu akan menjawab semua itu.

Bukan hanya aku yang punya masalah pada anak. Pak Haji, yang entah siapa namanya akupun tak tahu. Yang aku tahu Beliau itu seorang haji. Pak haji, begitulah beliau akrab dipanggil orang-orang. Maka aku pun begitu. Buah hasil dari aku menjual sate. Boleh dibilang adalah langganan tetapku. Hampir setiap malam beliau nongkrong di tempat aku berjualan. Tentu tidak sendiri. Ia bersama istri dan anaknya. Dari keseringan itulah akhirnya aku bisa mengenal beliau. Beliau sosok orang yang ramah. Bertemu dimanapun, pasti aku di tegur.

Pernah suatu ketika, pak haji melihat Alan. Memuji akan kerajinan Alan yang begitu amat sangat. Alan hanya memberikan senyum termanisnya sambil membersihkan meja bekas langganan yang baru saja selesai makan. Kebetulan saat itu warungku sedang kosong pembeli. Hanya ada aku, Allan dan pak Haji. Melihat Alan, pak haji jadi teringat akan anaknya yang seumuran pula dengan Alan. Sangat jauh berbeda. Alan begitu rajin membantu ayahnya di warung. Sedangkan anak pak haji, pemalas, suka membantah orang tua. Suka memaksa orang tua juga. Apa yang dia mau atau yang dia inginkan harus ada saat itu juga. Dan kalau keinginannya tidak dikabulkan orang tuanya, dia kabur dari rumah. Tiga atau empat hari kemudian baru kembali ke rumah. Kadang sampai satu minggu. Dengan tingkah laku yang seperti itu, bagus kalau nilai sekolahnya bagus. Tapi ini, nilai rapotnya hampir semua merah.

“Lalu, kemana saja dia selama berhari-hari tidak pulang?” dengan hati penuh penasaran aku bertanya.

“Saya juga tidak tahu pak Andi, namanya juga anak remaja. Paling ikut teman-teman genknya. “ jawab pak haji datar.

“Trus, apa yang pak haji lakukan?” tanyaku lagi.

“Ya… tidak melakukanapa-apa. Aku hanya merasa menyesal. Kenapa tidak memberikan apa yang dia inginkan. Toh, saya bekerja memang untuk anak-anak saya.”

Aku mengkerutkan kening mendengar jawaban pak haji. Entah kenapa, ada yang membuatku merasa ganjil. Menuruatku, pak haji terlalu memanjakan anaknya. Ini salah didikan sejak kecil. Yang akhirnnya terbawa hingga remaja. Dengan kondisi yang serba ada, pak haji mengabulkan pearmintaan anaknya. Apapuan itu. Semakin keadaan ini dibiarkan, maka keadaanya akan semakin parah. Sekarang anaknyabaru kabur dari rumah, besok-besok kalau permintaanya tidak dikabulkan lagi bisa-bisa anak itu bunuh diri.

Dan bisa kutebak. Mengapa anak-anak zaman sekarang bisa melakukan itu. Itu kaena terpengaruh oleh sinetron. Meniru adegan yang ada dilayar kaca. Aku heran, canggihnya teknologa zaman sekarang, harusnya mebuat mereka pintar, tapi kenyataan yang ada dilingkungan masyarakat justru sebaliknya. Teknologi membuat mereka semakin bodoh. Memang tidak semua anak remaja melakukan itu, tapi sebagian besar.

Kembali lagi kepercakapn antara ku dan pak haji. Pak haji malah ingin memiliki anak seperti Alan. Hmmm…. Pak haji tidak tahu saja bagaimana tingkahnya kalau disekolah. Nakalnya luar biasa. Untungnya, Alan tidak pernah berpikir untuk pergi dari rumah alias kabur setiap kali aku menceramahinya karena ulah buruknya di ekolah. Ia hanya diam dan memberikan wajah penyesalan yang amat sangat dalam. Tapi etaptidak berubah. Besoknya ia berbuat hal yang membuatku berceramah lagi.

Kubiarkan saja pak haji memuji Alan. Jarang-jarang dia mendapat pujian. Aku bukan tidak ingin bertukar cerita dengan pak haji. Aku hanya tidak ingin orang lain tahu keburukan ataupun kejelekan yang ada dalam keluargaku. Cukup aku dan keluarga saja yang tahu. Dan itu kuterapkan pada istri dan anak-anakku. Selalu kutegaskan “masalah keluarga jangan dibawa ke luar”.

“Kelas berapa dia?” tanya pak haji.

“Siapa?” aku balik bertanya.

“Anakmu itu”.

“Oh, sekarang kelas 3 SMP. Sebentar lagi masuk SMA. Aku usahakan semua anakku lulus SMA.” Lanjutku mencoba meninggi derajatkan keluargaku.

“Betul….. betul….” Pak haji membenarkan perkataanku.

“Karena akan sangat menyesal sekali kalau tidak sekolah. Menyesalnya itu tidak dirasakan sekarang tapi nanti setelah dewasa. Dan bodoh jika ada orang yang tidak ingin sekolah.” Lanjut pak haji lagi.

Aku tersentak, teringat akan diriku. Menafkahi keluargaku dengan hasil dari keterampilanku membuat sate. Tidak melalui pendidikan formal. Dan tidak sekolah bukanlah karena keadaan, melainkan karena keinginanku sendiri. Kusimpulkan sendiri, inti dari apa yang dikatakan pak haji adalah orang sekolah adalah orang pintar. Sedangkan orang yang tidak sekolah adalah orang bodoh. Lalu…..

Benarkah aku bodoh?

Kalau begitu bagaimana dengan mereka yang hamil diluar nikah.yang mengakibatkan mereka harus putus sekolah karena ulah haram mereka sendiri. Padahal mereka anak sekolah. Orang yang punya pendidikan. Bisakah mereka disebut orang yang pintar…?

Tidak hanya itu, bagaimana juga dengan mereka para pejabat. Petinggi Negara yang sering melakukan korupsi yang mengakibatkan rakyat kecil menderita. Padahal mereka sekolah. Sudah banyak makan garam akan pendidikan. Masih pantaskah mereka disebut orang yang pintar!?

 

 

Joe Annas Hasan, lahir di Ambon pada 22 Februari. Karya-karyanya baru tersebar di penerbit indie dalam antologi bersama (puisi). Diantaranya Monolog Seekor Monyet, Aurora, Danau Yang Terkubur, Turunnya Nawangwulan, Hitam Putih Manusia, Negeri Tak Bersalju, Sekaleng Bir dan Segelas Gas Air mata, dan Meditasi Tulang Rusuk. Aktif di bidang olahraga (Taekwondo).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,079