Artikel

Benarkah Ada Penampakan BTR-50P di Operasi Indra Tahun 1953?

NUSANTARANEWS.CO – Para pemerhati alutsista nasional tentu mengenal sosok BTR-50P (Browne Transporter 50 Palawa). Ranpur yang masuk golongan tank APC (Armored Personnel Carrier) ini lebih kondang dikenal sebagai panser amfibi (pansam) oleh Korps Marinir TNI AL. Sebagai ranpur legendaris yang masih eksis dengan program retrofit, BTR-50P berdasarkan literature diketahui didatangkan ke Indonesia pada tahun 1962 dalam rangka persiapan Operasi Trikora. Namun dalam sebuah penulurusan, ada kemungkinan BTR-50P sudah hadir melengkapi kekuatan Marinir (d/h KKO AL) sejak era tahun 50-an.

Hal ini diketahui penulis lewat buku “Korps Marinir TNI AL” yang diterbitkan Penerbit Korps Marinir dan LKBN Antara (1996). Di buku setebal 208 halaman tersebut diceritakan sekilas seputar operasi Indra yang berlangsung di Pantai Indramayu, Jawa Barat pada tahun 1953. Nah, secara jelas terdapat foto (hitam putih) yang memperlihatkan manuver pendaratan pasukan KKO AL di pantai berlumpur, dan jika diperhatikan lebih detail pada foto, terekam jelas keberadaan BTR-50P.

Meski terlihat jelas sosok BTR-50P, belum bisa dipastikan akan hal tersebut. Dari sejarahnya operasi Indra adalah operasi pendaratan amfibi pertama kali yang digelar Korps Marinir. Operasi ini berlangsung pada bulan Maret 1953. Mengutip dari Majalah Marinir Edisi 136, disebutkan unsur pasukan yang ikut bagian dalam operasi ini berkekuatan sekitar satu batalyon yang terdiri dari anggota-anggota KKO dari Wonokitri, Gubeng dan Semampir ditambah dari siswa-siswa KUTP dan para pelajar (Kie X dan Kie J) di bawah pimpinan Mayor KKO Huhnhols Nrp. 436/P.

Tugas utama yang diberikan kepada pasukan KKO AL ialah:

1. Mengadakan pendaratan di pantai Indramayu untuk memukul kekuatan gerombolan DI/TII Kartosuwiryo dari arah laut.

2. Disamping itu bahwa operasi ini juga merupakan kesempatan bagi para siswa KUTP dan para pelajar untuk mempraktekkan teori-teori /pelajaran-pelajaran yang telah mereka peroleh di dalam masa pendidikan di dalam operasi pendaratan yang sebenarnya.

Situasi di Jawa Barat pada saat itu banyak sekali terjadi gangguan gangguan keamanan yang menjurus kepada gerakan subversi dan keadaan yang semacam ini menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-waktu dapat merusak dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gerombolan DI/TII Kartosuwiryo serta anasir anasir asing dan golongan reaksioner merupakan kesatuan yang sering sekali mengadakan pengacauan untuk menghilangkan wibawa Pemerintah RI yang sah. Sebelum operasi pendaratan amfibi dilakukan telah berulangkali dilakukan operasi militer terhadap gerombolan DII/TTT, namun belum dapat ditumpas secara menyeluruh, bahkan mereka masih dapat bertahan di daerah-daerah yang sukar didatangi kesatuan TNI (d/h ABRI).

Faktor-faktor yang menyebabkan gerombolan DI/TII dapat bertahan lama di daerah Jawa Barat adalah sebagai berikut:

1. Gerombolan DI/TII Kartosuwiryo telah mengenal medan daerah operasinya dan mereka sangat mahir Di dalam pebggunaan medan, hal ini disebabkan karena mereka telah mengetahui dan menguasai sejak perang kemerdekaan.

2. Daerah kekuasaan dan daerah pengaruh gerombolan DI/TII Jawa Barat baik yang terletak di Selatan dan di Utara bahkan sampai menerobos keperbatasan Jawa Barat- Jawa Tengah dan sekitarnya.

Dibagian utara gerombolan DI/TII dapat merembes ke Ceribon dan daerah Indramayu sekitarnya, mereka turun dari hutan dan gunung dalam usaha mencari perbekalan dengan jalan melancarkan teror. Jalannnya operasi Indra dilakasanakan berdasarkan Surat Perintah Komandan KKO AL No.229/SP/ KKO/53 tertanggal 10 Februari 1953. Pada bulan Maret 1953 bergeraklah pasukan KKO AL dengan kekuatan satu batalyon dari pangkalan Surabaya menuju ke daerah operasi dibawah pimpinan mayor KKO Huhnholz Nrp 436/P.

Kapal-kapal perang yang mengangkut pasukan KKO AL dan alat-alat pendaratan adalah terdiri dari kapal-kapal KRI Namlea, KRI Tenggiri, KRI Alualu, KRI Hang Tua, KRI Rajawali, dan armada LST (Landing Ship Tank). Setelah berlayar selama satu hari satu malam sampailah armada TNI AL dimuka pantai Indramayu dan langsung terus mengadakan gerakan demonstrasi untuk persiapan pendaratan. Persiapan pendaratan dilakukan pada waktu dini hari dimana sekoci-sekoci pendaratan pasukan diturunkan satu persatu dari kapal LST yang kemudian masing-masing menuju ke kapal angkut yang telah ditentukan untuk mendaratkan pasukan ke pantai.

Pada jam 06.00 pagi dimulailah pendaratan pasukan, sekoci-sekoci pendarat disebar keempat sektor dalam satu garis pantai dalam pendaratan ini tidak mendapatkan perlawanan dari pihak lawan, hanya keadaan medan sajalah yang betul-betul merupakan lawan berat yang harus dihadapi oleh seluruh pasukan yang ikut dalam pendaratan itu. Begitu sekoci pendarat mendekati pantai yang kemudian disusul dengan turunya pasukan maka sudah tidak bisa untuk lebih merapat, sebab sekoci-sekoci tersebut sudah kandas duluan.

Dalam gerakan pasukan ke pantai ternyata mengalami kesulitan dimana pasukan harus bergerak didalam lumpur dan mengakibatkan gerakan pasukan sangat lambat sekali dan banyak menghabiskan tenaga. Suatu keuntungan bagi pasukan KKO AL bahwa dalam pendaratan itu tidak mendapatkan perlawanan dari pihak gerombolan sehingga pasukan dapat mencapai pantai dengan selamat.

Gerakan pada hari pertama pasukan harus keluar masuk daerah hutan bakau yang banyak tumbuh di daerah tersebut dengan medannya yang lumpur, dalam gerakan ini tidak menjumpai lawan sama sekali, nampaknya pihak gerombolan telah meninggalkan daerah tersebut, hal ini dapat diketahui dengan bekas-bekas yang ditinggalkan oleh mereka.

Pada sore harinya pasukan kembali lagi ke kapal dengan mengunakan sekoci-sekoci pendarat, dan pada esok paginya dilakukan pendaratan lagi untuk meneruskan gerakanlebih mendalam lagi. Dalam gerakan operasi yang kedua ini betul betul merupakan gerakan yang terberat, bukan dalam artian menjumpai perlawanan gerombolan tetapi berat dalam menghadapi alam; terain atau medan yang merupakan daerah berlumpur dalam.

Lamanya patroli pasukan menyebabkan persediaan air para anggota habis, sedangkan air yang terdapat di sekitaranya air asin. Sehingga dalam kegiatan patroli kekuatan tenaga tiap-tiap anggota rata-rata telah menurun sekitar 50%. Tapi untungnya selama gerakan tidak pernah terjadi pertempuran dan tidak pernah terlihat adanya gerombilan DI/TII. Selesai melakukan gerakan patroli tempur kemudian pasukan bergerak kembali ke kapal yang tetap siaga di pantai. Pada hari ketiga operasi tidak ada kegiatan pendaratan, semua pasukan istirahat diatas kapal.

Baru pada hari yang keempat dilakukan lagi pendaratan pada tempat yang sama dan ini menjadi pendaratan yang terakhir, selama gerakan tidak pernah terjadi kontak senjata dengan gerombolan.

Dari tinjauan operasi, boleh dikata operasi Indra tidak menghasilkan apa-apa sebab selama gerakan dilancarkan tidak pernah terjadi kontak senjata dengan gerombolan. Sebaliknya bila peristiwa ini dipandang dari segi politis, maka sangat besar artinya karena dengan dilancarkannya suatu operasi pendaratan di pantai Indramayu telah memberikan suatu pukulan dan penekanan dari ara laut terhadap kedudukan gerombolan yang berada dibukit-bukit atau gunung-gunung, ataupun yang berada di dalam kehidupan di sekitar rakyat Indramayu. Yang lebih penting lagi bahwa operasi Indra ini telah memberikan pengalaman baru pasukan KKO AL dalam pendaratan di daerah pantai dangkal dan berlumpur.

Setelah berlangsungnya operasi Indra, di era berikutnya Korps Marinir TNI AL menggelar operasi pendaratan amfibi terbesar dalam Operasi Seroja di tahun 1975 untuk merebut kota Dili di Timor Timur. KemudianBatalyon Tim Pendarat (BTP-1) Marinir di tahun 2002 juga melaksanakan pendaratan berskala besar di Pantai Samalanga, Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). 1.300 pasukan Marinir lengkap dengan unsur tank amfibi PT-76 dan BTR-50P didaratkan guna memukul mundur kedudukan pasukan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Haryo Adjie/indomiliter)

Related Posts