NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Salah satu butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia adalah divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia.
Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai, divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan ‘kemenenangan’ pemerintah Indonesia, padahal tidak demikian.
Menurutnya, publik harus kritis bahwa divestasi ini adalah membeli saham, artinya Pemerintah Indonesia melalui BUMN mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham PT Freeport. Bisman pun mempertanyakan sumber dana untuk membeli saham tersebut.
“Darimana dana untuk membeli saham yang nilainya lebih dari Rp110 Triliun, apakah Pemerintah punya dana sebesar itu? dipastikan konsorsium seluruh BUMN tambang digabung pun tidak cukup mampu punya dana untuk membeli 51 persen saham PT Freeport,” ujarnya saat dihubungi Nusantaranews di Jakarta, Kamis (31/8/2017).
Bisman khawatir divestasi ini nantinya malah akan diisi oleh investor cukong dari negara tertentu yang saat ini sedang gencar-gencarnya menguasai perekonomian Indonesia. Anehnya, Indonesia akan memiliki 51 persen saham, namun kendali operasi masih sepenuhnya berada di Freeport, ini jelas kerugian bagi Indonesia.
“Setelah masa kontrak Freeport habis, artinya Freeport seutuhnya milik Indonesia. Tapi setelah itu apakah mungkin ada pihak perusahaan swasta maupun investor memanfaatkan saham Freeport? Ya pasti. Ini kan belajar dari kasus ‘Papa Minta Saham’,” ungkapnya.
“Kalau sampai saat ini pemerintah atau BUMN tidak punya duit dipastikan harus menggandeng investor. Investor dalam negeri maupun asing. Siapa investor itu?” imbuhnya. Ia menduga yang bisa membeli saham Freeport itu biasanya pihak yang punya akses dekat dengan Frerport ataupun akses dengan pihak berkuasa.
“Kami mensinyalir investor tersebut bisa jadi pihak-pihak asing yang sedang gencar-gencarnya mengerjakan proyek-proyek di Indonesia,” kata dia.
Mengutip laporan tahun 2016, penerimaan negara dari Freeport yang terdiri dari royalti, pajak dan pungutan lain hanya sekitar Rp4,9 Triliun dan sudah sejak tahun 2012 tidak pernah menerima dividen dari Freeport. Hal ini, tidak sebanding dengan keuntungan dan kekayaan yang didapatkan oleh Freeport, serta kerusakan alam dan ongkos sosial yang harus ditanggung oleh Indonesia.
“Sampai hari ini kan Indonesia punya saham 9,3 persen di Freeport, tapi kita tidak pernah mendapat untung dari saham yang kita tanam di Freeport. Karena apa, selalu dengan alasan untuk modal usaha lagi,” tuturnya.
Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Romandhon