Artikel

Belajar Dari Natuna, Gesekan Militer Indonesia dengan Tiongkok

“Lepasnya Sipadan dan Ligitan menjadi bukti sahih. Karenanya pendekatan Jah dan Kam pemerintah harus diikuti dengan upaya yang bersifat sosio-kultural dalam rangka menumbuhkan nasionalisme dan keterikatan yang kuat dengan Indonesia.”

NUSANTARANEWS.COSadumuk bathuk, sanyari bumi, merupakan pepatah dan nasehat Jawa yang menekankan pentingnya menjaga keutuhan negara, harga diri dan martabat bangsa. Di dalamnya terkandung pesan moral yang tinggi bahwa pertahanan dan keamanan negara merupakan pilar utama tegaknya kedaulatan negara.

Geografis Indonesia yang sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas hingga Pulau Rote. Dengan dua pertiga wilayah kedaulatan yang berupa perairan memiliki kerentanan tinggi dari sisi pertahanan dan keamanan. Jangkauan wilayah yang luas menyiratkan dibutuhkannya pengawasan dan sarana pendukung yang tidak sedikit untuk memastikan tidak ada sejengkal wilayah kedaulatanpun yang dilanggar oleh negara lain.

Aspek demografis Indonesia juga menjadi sebuah tantangan. Apakah merupakan sebuah keuntungan atau hambatan? Jika jumlah penduduk yang besar memiliki produktivitas dan daya saing tinggi, kesejahteraan yang cukup, serta kohesivitas sosial yang kuat, maka akan menjadi keuntungan. Namun jika sebaliknya, alamat akan menjadi area kritis dalam ikhtiar menjaga kedaulatan negara.

Menarik untuk mencermati beberapa masalah yang dihadapi Indonesia akhir-akhir ini. Berulang kali militer Indonesia bergesekan dengan militer Tiongkok karena melanggar wilayah kedaulatan Indonesia di Pulau Natuna. Dalih mereka selalu sama, bahwa Pulau Natuna merupakan ‘wilayah tradisional nelayan Tiongkok’. Sikap keras militer Indonesia terhadap nelayan Tiongkok yang melanggar wilayah dibalas dengan tindakan tak kalah keras dari militer Tiongkok yang memaksa agar nelayan mereka dibebaskan.

Persoalan wilayah dan keselamatan warga negara sepatutnya diletakkan sebagai prioritas. Hal ini menyangkut martabat Indonesia sebagai bangsa terhormat. Kesemuanya itu memiliki payung hukum karena dijamin dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Pemerintah RI selaku kepanjangan tangan negara wajib menyikapinya. Baik dalam penanganan masalah, maupun mitigasi dan perencanaan ke depan. Pendekatan komprehensif harus ditempuh agar penanganan tak terkesan gali lubang tutup lubang.

Kebijakan sektor pertahanan mutlak menjadi penekanan mengingat ancaman yang dihadapi tertuju pada wilayah kedaulatan negara. Agar kebijakan yang ditelurkan bersifat holisitik. Hal-hal yang terpaut erat seperti pola relasi antarnegara, rupa-rupa kejahatan, dan multidimensionalitas ancaman wajib diletakkan sebagai input utama kebijakan agar tak menjadi persoalan dikemudian hari. Oleh karena itu, dalam konteks menjaga kedaulatan negara dibutuhkan kerja sama lintas kementerian atau lembaga yang solid, serta pemahaman bahwa pertahanan bukan hanya dari aspek militer, tapi juga nonmiliter.

Solusi Multidimensional

Konsepsi pertahanan yang hanya dimaknai dari sisi militer tak akan mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Terlebih lagi jikalau wilayah yang terancam dicaplok oleh negara lain tersebut adalah pulau-pulau yang berada pada sisi terdepan dan terluar, demikian juga dengan pulau dengan status sosial dan ekonomi yang terbelakang. Dibutuhkan persepsi dan solusi yang bersifat multidimensional. Pendekatan Jah (Kesejahteraan) dan Kam (Keamanan) yang selama ini dibanggakan terbukti tak cukup mampu mengatasi persoalan wilayah kedaulatan.

Lepasnya Sipadan dan Ligitan menjadi bukti sahih. Oleh sebab itu, pendekatan Jah dan Kam pemerintah harus diikuti dengan upaya yang bersifat sosio-kultural dalam rangka menumbuhkan nasionalisme dan keterikatan yang kuat dengan Indonesia. Negara harus hadir secara nyata dan dirasakan oleh masyarakat.

Kebijakan sektor pertahanan juga seyogyanya dirumuskan dengan kerangka berfikir yang holistik. Jangan sampai benar secara akademik tapi keliru secara politis, atau sebaliknya. Wacana bela negara dari Kemhan RI misalnya, menjadi sansak pukul yang empuk dari para pegiat HAM dan demokrasi karena dituding sebagai upaya militerisasi dan sekuritisasi. Rakyat Indonesia masih trauma dengan rezim Orde Baru yang sangat militeristik.

Pengarusutamaan sektor maritim dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi buah pikir yang patut diapresiasi. Selama puluhan tahun, kita mengalami kesalahan cara pandang. Pertahanan yang sangat bertumpu pada ranah kontinental di masa lampau menjadi celah besar. Bangsa ini lupa bahwa kuat lemahnya suatu negara sangat ditentukan oleh penguasaan lautan. Celakanya lagi, lautan adalah bagian terbesar dari wilayah Indonesia.

Upaya menjaga keselamatan warga negara berada pada tataran yang lebih pelik dibandingkan dengan pengamanan wilayah negara. Suka tidak suka, warga negara merupakan aspek dinamis yang selalu bergerak, sedangkan wilayah negara cenderung statis. Yang lebih penting dari itu, keselamatan warga negara adalah soal marwah bangsa. Dalam konteks melindungi segenap WNI, sinergi antarkementerian dan lembaga negara terkait wajib diletakkan pada prioritas.

Indonesia adalah negara besar dan terhormat. Sejengkalpun wilayah negeri ini tidak boleh dicaplok negara lain. Begitu pula kehormatan dan keselamatan WNI. Jangan pernah biarkan bathuk (baca: martabat) kita diinjak-injak oleh negara lain!

*Boy Anugerah, S.I.P., M.Si penulis adalah Pengurus DPP PA GMNI, Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia.

__________________________________

Redaksi menerima kiriman berupa artikel Opini serta catatan lainnya baik ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan agrowisata. Artikel bisa dikirimkan langsung melalui [email protected]

Related Posts

1 of 10