NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Beberapa waktu lalu (11/9) Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro menyarankan agar PT. Telkom seharusnya memang tidak ada ketergantungan atau yang dianggap monopoli dari pada penyelenggaraan sistem billing PT. Telkom. Sebab kata dia, billing system ini mempunyai sekitar 17 juta pelanggan, dan telah dihilangkan/dimigrasikan sebesar 4,2 juta pelanggan oleh PT. Telkom melalui direktorat IT nya dari billing system yang dimiliki Orange & Sofrecom.
“Sebanyak sekitar 17 juta pelanggan menurut BPK inilah yang dikelola melalui billing system sehingga pembayaran dapat diketahui berapa setiap bulan dan setiap tahunnya oleh para pelanggan. Berawal dari hal inilah diduga mencuat keributan,” ungkap Gigih.
Beberapa waktu lalu, lanjutd dia, Netcracker sebuah perusahaan berasal dari Jepang dikabarkan akan masuk menggantikan Orange & Sofrecom. Orange & Sofrecom sendiri merupakan perusahaan Perancis yang memiliki kemampuan membuat software untuk IT. Salah satunya adalah billing system yang saat ini digunakan oleh PT. Telkom.
Baca Juga: Telkom Diduga Enggan Perpanjang Kontrak dengan Orange & Sofrecom
Menurut Gigih Guntoro, keterbukaan dalam pelelangan atau apapun untuk menggantikan Orange pun mustinya dilakukam secara transparan, dan kompetisinya pun sesuai dengan spesifikasi tercanggih yang kompatibel. Karena ini, kata dia berkaitan dengan kecanggihan, kemampuan teknologi, hingga kerahasiaan perusahaan dan pelanggan. Serta wujud pelayanan pelanggan Telkom, baik individu maupun corporate.
“Sedikit gambaran, berdasarkan hasil temuan Indonesian Club mensinyalir bahwa Orange & Sofrecom menggunakan teknologi berbasis fix network yang dipercaya masih menjadi teknologi paling mutahir saat ini, i-SISKA. Sedangkan Netcracker disinyalir akan menggunakan teknologi seluler network yang mereka akan terapkan untuk Telkom.”
“Disini kita melihat, fix netwotk adalah teknologi yang berbasis pada satelit sehingga memudahkan siapapun hingga ke pelosok tanah air. Teknologi ini digunakan untuk menghitung beban biaya tagihan abondemen dan pulsa. Sedangkan teknologi seluler network menggunakan teknologi berbasis kabel,” ujanya.
“Teknologi berbasis kabel ini yang dimungkinkan tidak akan nyambung atau tidak akan dapat beroperasionalnya dengan sistem yang telah ada di Telkom alias tidak kompatibel. Karena Telkom sendiri telah menggunakan teknologi berbasiskan satelit,” tegasnya.
Mengenai isu yang tengah berkembang saat ini, bahwa Telkom masih mempunyai beban tanggung jawab kepada Loockheed Martin dan Orange & Sofrecom. Diduga kedua beban ini tentu tidak kecil. Bahkam hasil penelusuran Indonesian Club menjelaskan setiap perusahaan yang menerbitkan software dan ketika sofware tersebut digunakan oleh kliennya, maka pemilik sofware tersebut mendapatkan royalti yang disebut hak property atau copy right.
Nilai copyright ini, kata Gigih adalah 18-20 USD perpelanggan pertahun. Bila dijumlah nilainya sebesar 4,2 juta pelanggan dikalikan 18 USD, jumlahnya sangat fantastis. Lalu berapa bila 17 juta pelanggan? Dugaan beban kewajiban ini telah berlangsung lebih dari 5 tahun. Sehingga ketika kontrak kerja telah selelsai, dan tanggung jawab kewajiban telah ditunaikan, maka sertifikasi lisensi (sertificate lisence) diberikan kepada klien atau konsumen dari pemilik software tersebut.
“Ini adalah aturan main yang berlaku di internasional sebagai wujud untuk menghindari pembajakan salah satunya. Apabila pihak klien belum menyelesaikan kewajiban namun kontrak sudah selesai maka dapat diduga dikatakan penggunaan software tersebut adalah tindakan ilegal karena belum mengantongi sertificate license dari pemilik software,” terangnya.
Pewarta/Editor: Romandhon