Opini

Bayi Sosial Ideologi Pancasila Dalam Asuhan Pendiri NKRI

Bayi Sosial Ideologi Pancasila Dalam Asuhan Pendiri NKRI
Bayi sosial ideologi Pancasila dalam asuhan pendiri NKRI. 

Bayi Sosial Ideologi Pancasila Dalam Asuhan Pendiri NKRI

Salah satu agenda Prolegnas 2020-2024 adalah memproses legislasi tentang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP, di mana RUU ini sudah masuk ke DPR sebagai inisiatif DPR 12 Mei 2020. Sebagai hak, inisiatif DPR memang menjadi salah satu pintu masuk bagi penyusunan rancangan atau drafting suatu undang-undang.
Oleh Hari Zamharir

Pancasila yang dimaksud adalah “Bayi Sosial” yang disepakati dalam konstitusi, UUD RI 1945. “Bayi Sosial” yang dilahirkan dalam Rumah Bersalin lembaga musyawarah BPUPK yang kemudian dimatangkan menjadi “dewasa” melalui prosedur dan kultur musyawarah sopan dan mendalam – yang dalam konsep Demokrasi Deliberatif disebut berdeliberasi, yakni  berembug secara mendalam dengan mengutamakan kepentingan publik melalui proses menegosiasikan ide.

Rasionalitasnya, dengan meminjam Teori Ruang Publik Jurgen Habermas, bukan rasionalitas pribadi atau kelompok. Melainkan rasionalitas yang dikomunikasikan ke hadapan publik oleh anggota-anggota BPUPK, sebagai elite deliberation. Lahirnya Pancasila barulah tahap sumbang-saran (brainstorm) atau rembug – teristimewa pemberian nama sila-sila yang lima itu oleh Bung Karno.

Nama yang indah, substansi isi bukanlah hanya dari Ir. Soekarno. Isi yang agak lebih dekat dengan rumusan akhir Pancasila pada Konstitusi kita justeru rumusan Mr. Moch. Yamin. Pancasila yang diasuh itulah menjadi Pancasila dewasa – antara lain dengan rumusan-rumusan yang mengandung konsep-konsep penting oleh penggunaan content words. Misal konsep-konsep yang dikandung pada terma adil, beradab, hikmat kebijaksanaan, dan lain-lain. Ada contoh tentang menegosiasikan ide. Ini terjadi sebelum ketuk palu disahkannya Preambul atau Pembukaan UUD 1945. Sewaktu ketua melempar ke floor bagaimana, “Apakah segala sesubatu pada Naskah ini sudah dapat diterima?” Ada suara dari floor: “Itu frasa tentang Dengan Rahmat Allah, agar diubah menjadi Dengan Rahmat Tuhan.” Dan usul detik-detik terakhir pun tidak ada suara penolakan. Palu diketok. Itu lah satu contoh menegosiasikan ide secara musyawarah mendalam, berdeliberasi dalam konseptual Demokrasi Deliberatif.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Tulisan ini menyoroti ide dasar atau substansi konten. Kedua, menyoroti proses drafting oleh DPR. Dalam arti penerapan pelibatan publik secara luas dalam membuat langkah-langkah strategis. Untuk yang pertama, tulisan ini akan menyoroti gejala perulangan dari transfer eksektif, dari BK ke pasca G30S/PKI1965 hingga masa kepresidenan Joko Widodo termin kedua kepresidenannya. Gejala perulangan yang secara Grand Norm Pancasila, bahwa rezim lama dipandang menyimpang dan perlu diluruskan. Sorotan kedua menyangkut pertanyaan apakah persiapan opini publik melalui diskursus publik telah cukup dilakukan DPR.

Konten: Selalu Kembali Ke Grand Norm

Bagian pertama konten rancangan undang–undang ini secara esensi (bukan pasal demi pasal) adalah berisi landasan ideal bagi kerja ipoleksosbud baik oleh aktor negara maupun warganegara. Di bidang politik misalnya harus ada jaminan bahwa pandangan-pandangan politik adalah wujud dari worldview Pancasila. Komunisme, misalnya tidak ada tempat dalam kerangka ideologi Pancasila. Demikian pula  Khilafah-isme (antara lain menolak politik demokrasi) yang digaungkan oleh sebagian aktifis muslim.

Ide dasar bidang ideologi politik yang akan diundangkan pada esensinya sama dengan ide sebelum ini. Kepresidenan Suharto juga dengan jargon mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, juga diawal reformasi 1998, ingin kembali ke on the track. Level norma besar atau Grand Norm, Pancasila, yang menjadi landasan. Level ini dari waktu ke waktu tetaplah tidak berubah. Dari satu rezim ke rezim lainnya. Pancasila ditempatkan sebagai pemandu pokok.

Di Era 1950-an dengan hasil-hasil pemilu yang dinobatkan para ahli sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia, tensi ideologi politik berlangsung lagi. Singkat kata, ideologi Pancasila disulkan oleh golongan Islam diganti dengan Islam. golongan Islam meng-klaim bahayanya golongan Komunis masuk ke dalam kabinet dan berlindung di bawah Pancasila atau Pancasila terlalu diiinterpretasi ke ide-ide sekuler. Di akhir-akhir masa kepresidenan Suharto 1998, ketidak-puasan berbagai kelompok masyarakat atas kinerja pemerintahannya ditanggapi antara lain dengan suara lantang partai gurem anak-anak muda, Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sudjatmiko, pimpinannya, menghubungkan berbagai masalah bangsa dengan grand norm, ideologi Pancasila. Ia meneriakkan slogan, “Gantilah ideologi kita dengan Sosialisme”.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Dua ilustrasi di atas memperlihatkan terjadinya ekstrimitas reaksi terhadap masalah ideologi. Level grand norm. Apa koreksi yang dilakukan rejim baru? Dari rejim ke rejim solusi yang ditawarkan secara esensi sama: tegakkan kembali Pancasila. Rejim yang baru tumbang dinilai menyimpang dan oleh karena itu rejim baru bermaksud meluruskan. Begitu berlaku baik pada transfer kekuasan dari Bung Karno ke Suharto 1967, maupun dari Suharto ke rejim-rejim Reformasi, dan kini termin kedua kepresidenan JW hasil pilpres 2019.

Apa artinya ini semua? Pada level grand norm, sesungguhnya hanya solusi normatif saja, semua rejim meminta kita semua kembali ke grand norm konsensus, yakni ideologi Pancasila. Pertanyaannya: di mana sesungguhnya letak persoalannya? Apakah ideologi Pancasila amat berpotensi dibawa ke kanan atau di bawa ke kiri? Ataukah, yang menjadi masalah adalah aktor-aktor negara yang cenderung menyimpang dan tidak segera diberi lampung kuning oleh tata pemerintahan yang baik dari masa ke masa? Sistem lampu kuning selama Era “Orde Lama” lemah sehingga berakibat aliansi di pemerintahan pada akhirnya dikendalikan “politik kiri” dengan mekanisme politik yang makin tidak demokratis. Mirip juga selama kepresidenan Suharto, sistem lampu kuning tidak lagi efektif, antara lain dengan kekeuasaan 32 tahun. Sistem lampu kuning di rejim  awal Era Reformasi 1998 juga ditandai lampu kuning yang secara normatif menguatkan fungsi kontrol pihak legslatif, namun penguatan ini berbarengan dengan pelemahan berlebih pada eksekutif sehingga dengan mudah terjadi impeachment —Presiden Abdurahman Wahid dilengserkan secara konstitusional.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Di era Reformasi (1998 sampai dengan 2019), lembaga kontrol untuk melaksanakan prinsip check & balances dalam sistem politik demokrasi nyaris tidak ada – seharusnya di legislatif dilembagakan dalam MPR. Kewenangan kontrolnya tidak sampai ke isu yang berskala strategis sekitar kewenangan “menjewer” eksekutif. Akibatnya, pemerintah pusat (bersama DPR) berpotensi melenggang dan jika ada indikasi penyimpangan maka akan diluruskan tanpa gigi.

Tampaknya ada masalah sistem lampu kuning dalam setiap periode rejim. Jika kita menuruti penalaran ini maka the core of the problem bukan mencari obat di grand norm. Itu sudah selesai. Obatnya adalah menyusun format check & balance yang lebih menjamin berfungsinya sistem lampu kuning.

Jangan sampai kita mengulang-ulang mencari arena solusi dari waktu ke waktu pada level grand Norm. Kembali lagi, kembali lagi, merumuskan pokok masalah dan obatnya yang salah alamat. Sementara berulang kali dimensi ideologi diluruskan oleh rejim ke rejim sementara itu pula, suatu rejim di belakang hari diidentifikasi sebagai melakukan penyimpangan. Ini berarti obatnya itu itu juga tapi penyakitnya muncul kembali setiap kurun kekuasaan tertentu. Oleh karena itu, amat boleh jadi obat mujarabnya bukan pada level nrand Norm. jika satu rejim ke rejim lain selalu saja bermain di arena ini maka nantinya hasilnya akan sama saja. Bukan obat mujarab. *** (Bersambung)

Penulis: Hari Zamharir, Lektor Kepada Pada FISIP Universitas Nasional

Related Posts

1 of 3,049