Budaya / SeniCerpen

BANGKAI

Cerpen: Latif Pungkasniar

Surti memandang nanar anaknya yang tergolek dalam tidur, anak yang kulitnya hitam legam terpanggang matahari. Tubuhnya kurus kering, seperti hanya tinggal kulit yang menempel pada tulang, kulit yang mengelambir karena keriput itu, nampak menua sebelum waktunya.

Sebagai gelandangan, mereka tentu saja makan tergantung dengan apa yang ditemukan hari itu. Jika saja beruntung maka mereka akan mendapatkan sisa-sisa makanan restoran di ujung jalan. Kalau tidak mujur jangan harap dapatkan makan, sisa-sisa makanan di restoran sekecil itu diperebutkan oleh puluhan gelandangan. Tubuh Surti yang ringkih pasti kalah gesit dengan para gelandangan yang lebih muda, lebih bertenaga, lebih lapar, dan beringas.

Sudah seminggu ini Hono anak Surti tergolek lemah. Badannya panas, wabah demam memang sedang menyerang kota ini. Orang yang makan cukup dan tidur hangat saja bisa terrserang demam apalagi mereka yang makan sedikit dan tidur bertemankan angin malam. Seminggu ini pula Surti terus membanting tulang untuk lebih giat mencari sisa-sisa makanan yang tercecer di restoran ujung jalan. Untuk membeli obat surti jelas tidak mampu, apalagi membawa anaknya berobat ke dokter. Surti hanya berpikiran kalau saja Hono makan dengan cukup pasti demamnya akan sedikit membaik.

Surti meninggalkan anaknya di sebuah tempat yang mereka sebut rumah. Rumah yang terletak menyendiri karena terletak di sebuah reruntuhan gedung tua yang konon angker. Tapi mereka berdua tidak takut, jelas mereka berdua lebih takut dengan apa yang disebut angin malam.

Baca Juga:  Tim SAR Temukan Titik Bangkai Pesawat Smart Aviation Yang Hilang Kontak di Nunukan

“Heh pergi menjauh, itu makanan milikku!” teriak Surti mendekati tempat sampah yang juga sudah dikerubungi  para gelandangan yang lain.

“Tidak bisa! Enak saja kamu berkata seperti itu, jelas-jelas kami datang lebih awal.”

“Iya… iya…” suara koor menyetujui perkataan sebelumnya.

Surti tak menyerah, jika biasanya dia lantas menjauh jika sudah kalah cepat dengan gelandangan yang lain, tetapi saat ini jelas dia harus berusaha lebih keras agar Hono bisa makan dan terbebas dari demam. Tubuh Surti yang ringkih itu kini sudah diantara puluhan gelandangan yang lain. Terhimpit. Surti terjatuh, tubuhnya terinjak kaki-kaki yang berebut sisa makan siang. Kaki-kaki itu perlahan beranjak pergi dan surti yang memar tak kebagian sisa makanan. Dengan menahan sakit Surti berdiri memastikan apakah tempat sampah telah benar-benar kosong. Tubuhnya gemetar. Didapati tempat sampah benar telah bersih dari sisa-sisa makanan hanya tersisa beberapa sampah plastik.

Tubuhnya yang memar karena terinjak kini terduduk kembali. Mencoba mengembalikan kekuatan dalam beberapa menit.

“Ini, Mbak,” sebuah tangan terjulur. Memberikan kotak berisi nasi. Surti memandang tangan itu, bercahaya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Terima kasih,” lemas bicara surti sedikit bergetar.

Pemilik tangan itu pergi tepat saat suara sirine datang mengaung. Itu sirine penertipan. Surti berdiri lalu berusaha berlari sekuat tenaga sebelum tubuhnya berada dalam pelukan sebuah tangan yang kokoh mencengkeramnya kuat-kuat. Tubuhnya meronta. Kotak dalam tangannya terlepas, menghempas tanah. Isinya berhamburan terinjak sepatu PDH petugas penertiban. Mata Surti memerah marah. Berteriak. Meronta seperti orang kesurupan. Hanya satu yang berada dalam pikirannya saat ini. Hono.

Hono masih terbaring lemah di dalam rumah yang bahkan sebenarnya tidak layak disebut gubuk. Demamnya semakin meninggi. Dia terbaring lemah menunggu Surti yang pagi hari lalu pamit ingin mencarikan makanan untuknya. Tapi selama larut malam Surti tak kunjung juga kembali. Hono semakin tak kuasa menahan lemas.

***

Seharian ini, bau yang sangat menyengat menggangu indera penciumanku. Bau menyengat yang tidak enak. Seperti bau bangkai, bangkai tikus mungkin. Terus terang bau ini sedikit menggangguku. Aku beranjak ke teras rumah membaca koran yang belum selesai aku baca tadi pagi.

Ditemukan mayat gelandangan anak-anak tak beridentitas, mayatnya sudah membusuk dikarenakan gubuknya jarang didatangi orang. Diperkirakan gelandangan tersebut meninggal karena kekurangan makan… ah miris memang jika harus membaca hal-hal seperti ini. Masih selalu saja ada masalah kelaparan, kalau saja kita menuruti perintah agama untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin tentu hal seperti ini akan terminimalisir.

Baca Juga:  Tim SAR Temukan Titik Bangkai Pesawat Smart Aviation Yang Hilang Kontak di Nunukan

Istriku datang, seperti biasa dia membawakan secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng.

“Mas, mbok dicari bangkai tikusnya ada dimana, baunya sekarang semakin menjadi-jadi,” Ah istriku ini tampaknya tak paham kalau aku sedang berusaha menikmati kopi dan pisang goreng yang baru saja dia sajikan.

“Iya-iya aku cari, Dek.” Aku langsung beranjak dari kursiku menuju sumber bau di dapur.

Aku mencoba mengendus-endus. Sepertinya bau itu berasal dari kolong rak piring yang terletak di dekat kompor. Aku berusaha memindahkan rak tersebut agar lebih mudah mencari bangkai tikus yang mungkin mati terjepit. Rak piring akhirnya bisa kugeser, dan betapa terkejutnya aku ternyata dibawah rak piring itu ada daging di dalam plastik bening yang sudah membusuk dimakan belatung. Daging sapi!

Latif Pungkasniar, bekerja di sebuah penerbitan di Solo. Sedang berusaha menyelesaikan novel terbarunya, Cerebro.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 40