Cerpen

Bakul Tape Ketela

NUSANTARANEWS.CO – Bakul Tape Ketela. Perempuan beruban penuh itu setiap hari memanggul bakul tape di kepalanya. Seringkali karena langkahnya telah rapuh, beban di atas kepala begitu memberatkan. Bakul di atas kepalanya punya target harus habis hari itu buat modal tape di hari selanjutnya. Kedua kaki lebih dari tiga perempat abad itu masih cukup kuat dipacakkan pada jalanan sedalam-dalamnya. Demi menyambung hidup.

Jalanan itu apabila tepat hari pasaran wage, legi, dan pahing, selalu padat oleh orang-orang yang punya kebutuhan di pasar. Para pemuda, tukang ojek, bahkan juga ada yang sama-sama menyunggi bakul berisi tape ketela rebus seperti dirinya. Dan kebetulan hari ini memiliki jadwal pasaran pahing.

Perempuan beruban penuh itu biasa dipanggil Mbah Badriyah. Hidup menghabiskan sisa waktu di dalam gubuk tabek seorang diri. Kini ia tak memiliki siapa-siapa untuk diajak bicara ketika hari-hari memilih lengang atau tiba malam menjelang tidur.

Satu-satunya orang, yakni suaminya, sudah lebih dulu mengembuskan napas terakhir beberapa tahun lalu. Kadangkala ia begitu sedih mengingat ruang rahim miliknya belum pernah basah oleh liur janin merah sepanjang hidup. Andai dia punya kesempatan menjadi seorang ibu. Namun ia juga tak mau menyalahkan takdir. Tuhan Maha Baik, kok, batinnya menghibur diri.

Hari ini Mbah Badriyah mengenakan kebaya lama, kusut, dipadu dengan sandal jepit Swallow. Selendang yang struktur bahannya merapuh, ia ikatkan pada perut sebagai tempat uang nantinya. Sementara itu, sudah lebih dari separuh jam ia menunggu jalanan agak renggang. Tapi sampai detik ini belum juga benar-benar renggang. Kendaraan dan orang-orang masih berlalu-lalang. Himpit-himpitan karena jalan memang sempit. Berapa lama lagi, sementara matahari mulai tinggi menyembul ke atas puncak bukit?

Ia letih.

Kang Sarpin yang datang dari sebelah kiri tiba-tiba berbelok arah ke sebelah kanan. Motor bututnya memasuki halaman rumah Mbah Badriyah. Tekanan gas ia matikan. Ia melangkah menuju Mbah Badriyah yang masih menunggu jalanan menyepi.

“Lho, Mbah belum berangkat ke pasar?”

“Tape-tape ini sudah dipesan, Pin.”

Kang Sarpin, selama ini merupakan pelanggan setia tape ketela Mbah Badriyah. Nyaris setiap hari ia membeli tape-tape baru untuk santapan ketika tengah kumpul dengan keluarga. Tapi kali ini ia lain. Kepalanya menggeleng.

“Bukan, Mbah. Jangan salah sangka dulu. Di rumah aku masih punya sepiring tape bikinan istriku.”

“Wah, istrimu sudah pulang dari Jakarta?”

“Sudah. Tapi, ya besok berangkat lagi. Eh, Mbah mau bareng ke pasar? Aku antar.”

“Terima kasih, Pin. Mbah takut kamu kebut-kebutan lagi. Dulu pernah selendang Mbah yang agak menggantung kemakan jeruji ban motormu. Untung aku lepas. Kalau tidak?

Bisa mati kalau sampai kejadian itu berulang lagi.”

“Tidak, Mbah. Kali ini aku hanya mau mengantar saja. Sekalian mau beli sayur-mayur.”

“Terima kasih, Pin. Aku mau jalan kaki saja. Lagipula aku mau naik dokar dan kangen bau tahi kuda.”

Kang Sarpin membujuk lagi. Lagi dan lagi. Namun usahanya tetap sia-sia. Tiada cara lain selain ia melajukan motornya dan meninggalkan Mbah Badriyah dalam keadaan menunggu yang tak sudah-sudah.

Menjelang pukul sembilan, jalanan mulai renggang. Mbah Badriyah mulai bergerak meninggalkan pelataran rumah. Ia tengok kanan dan kiri. Barangkali ada motor ngebut.

Tapi syukurlah tidak ada. Dengan mantap, langkah kakinya berayun dan berjalan.

Satu per satu, orang-orang yang sudah kembali dari pasar menyapanya. Tas sompet milik mereka rata-rata sudah penuh dengan barang-barang belanja.

Beberapa kali Mbah Badriyah menerima olok-olok dari anak-anak muda yang jalannya gaya-gayaan. Mereka meledek kalau pasar sudah sepi, tak ada pembeli. Namun perempuan penjual tape itu tahu cara melayani ocehan mereka: dengan diam dan terus berjalan.

Tiba di pinggir jalan raya, tukang ojek yang mangkal di seberang menawarinya tumpangan berbayar. Namun ia lebih memilih menggelengkan kepala. Ojek mahal, dua ribu sekali jalan, katanya dalam dada.

Kedua kaki yang rapuh itu merasakan aspal sudah panas. Menyengat. Dan kalau kulit telapak kaki dipaksakan menapak di sana pasti sudah berair dan terpisah dari daging luar. Maka, ia sedikit jingkat untuk mempercepat laju kaki.

Pasar dengan tempat berdirinya sekarang masih sekitar tiga kilometer lagi. Ia pun mencari-cari di mana gerangan dokar berada. Sudah bolak-balik, belum juga nampak. Oh, itu, dokarnya datang. Rupanya baru dari pasar mengantar pulang beberapa orang.

Ketika berhenti di samping Mbah Badriyah, sang kusir bertanya, “Mau pulang, Mbah?”

Mbah Badriyah menggeleng, “Tidak. Aku mau berangkat ke pasar. Masih ada dokar lagi, kan?”

“Oh, maaf, Mbah. Ini dokar terakhir. Pasar hari ini sepi. Di sana ada orang mati ketabrak mobil truk roda besar. Kalau mau menunggu, sebentar lagi. Aku mau mencari penumpang dulu di selatan sana. Kalau tak sabar, tak apa-apa. Pakai ojek saja.”

Jawaban itu membuat hidung Mbah Badriyah mengendus sesuatu yang menggelikan dan membuatnya ingin bertanya lebih jauh, “Jadi, gara-gara ada orang mati, pasar jadi sepi?”

“Oh, iya. Di sana baru datang para polisi untuk membereskan persoalan. Jadi, orang-orang yang sedang membeli di tengah pasar pun buru-buru keluar dan pulang.”

“Oh….”

Dokar pun melaju meninggalkannya. Kesempatan pergi ke pasar pagi-pagi sekali lewat sudah. Bakul ia letakkan di pinggir jalan. Menunggu dokar barusan nongol kembali.

Hanya saja, ia berharap orang yang memesan tape ketelanya di pasar tidak kabur gara-gara lama menunggu kedatangannya.

Semoga, ia berharap-harap cemas.

Sementara itu, sirene ambulan mencuit-cuit dari arah utara. Oh. Mobil itu diikuti oleh banyak motor di belakangnya. Ketika mobil itu lewat, Mbah Badriyah menduga-duga.

Pasti di dalam mobil itu jenazah yang baru tabrakan tadi. Yang berarti pasar akan kembali ramai. Ia pun bersemangat lagi.

Untuk menghindari terik, Mbah Badriyah mendekati pohon beringin dan berteduh di bawah sana.

Detik demi detik. Menit demi menit. Hingga persendian terasa lelah, dokar belum juga datang. Sampai Kang Sarpin pulang dari pasar belum juga datang kendaraan yang akan ditumpanginya itu.

Motor butut itu pun berhenti di sebelah Mbah Badriyah.

“Mbah, sudah pulang dari pasar?”

“Belum, Pin. Dari tadi dokar belum juga datang-datang.”

“Oh, mungkin sudah pulang ke rumahnya. Ayo kalau mau ke pasar. Aku antar. Tak perlu bayar, kok hehe.”

Akhirnya, mau tak mau Mbah Badriyah pun ikut serta. Bakul-bakul ia angkat.

“Taruh di depan sini saja, Mbah. Biar lebih mudah,” tawar Kang Sarpin menunjuk pada ruang antara stang motor dengan jok tempat duduknya.

Tak seberapa lama pun, motor itu melaju menebas arus jalanan.

***

Kulit aspal di pasar lebih panas lagi. Terlebih ada bercak darah di tengah-tengahnya. Beberapa penghuni pasar menyemprot darah yang menggenang itu hingga perlahan-lahan mengalir dan habis menyatu dengan bahu jalan.

Saat itulah Mbah Badriyah tiba. Ia begitu terkejut melihat bekas insiden tabrakan itu. Pasar sudah sepi. Padahal, itu hanya tabrakan. Sudah beberapa kali di jalan lokasi pasar jadi tempat tabrakan. Tapi tak sesepi ini.

“Mbah, aku pulang dulu, ya.”

“Oh, iya, Pin. Terima kasih, ya, sudah mau antar Mbah ke pasar.”

“Sama-sama. Tapi jangan lupa tape buat besok,” sambung Kang Sarpin diiringi cengengesan.

Motor butut meninggalkan perempuan itu seorang diri.

Bakul yang semula diturunkan di bahu jalan, ia angkat hingga mengungguli kepalanya. Ia berjalan menuju orang yang tengah menyirami darah di jalanan itu.

“Mbak, Mbak. Maaf mau tanya.”

Wanita itu menoleh, “Ah, iya, Mbah. Ada apa?”

“Kok pasar sudah sepi begini, ya? Padahal biasanya masih ramai sampai jam sebelasan. Kok sudah sepi?”

“Oh, anu Mbah, tadi ada tabrakan di sini.”

“Kan sudah biasa.”

“Yang ketabrak itu Pak Gubernur. Tadi dia bilang padaku katanya mau menjemput pesanan tape ketela anaknya. Tapi ketika ia mau beli rokok di seberang jalan, truk besar berkecepatan tinggi menghantamnya. Remuk sudah. Gepeng tubuhnya. Orang-orang tadi sama-sama membantu menyerok tubuh Pak Gubernur yang telah gepeng.”

Dada Mbah Badriyah seperti berhenti tiba-tiba.

Ia jadi merasa bersalah sudah menolak ajakan Kang Sarpin untuk berangkat lebih awal. Jika ia berangkat saat itu, pasti Pak Gubernur tak perlu menunggu lebih lama lagi. Pasti insiden kecelakaan itu tak terjadi.

“Oh, ya sudah. Aku titip tape ketela ini, ya, Mbak.”

“Eh, eh, tapi….”

Tanpa menunggu respons, Mbah Badriyah sudah melambai tangan pada tukang ojek.

“Antar aku ke tempat Pak Gubernur.”

Ia tak tahu bisa membayar ojek atau tidak. Sebab, ia akan melakukan perjalanan jauh sedangkan uang di lipatan jaritnya terbatas. Dalam hati, ia menghibur diri. Tak apa-apa, pokoknya aku harus minta maaf. (SP***)

Purworejo, 2016

***Seto Permada, lahir tanggal 12 Oktober 1994 di Purworejo. Alumnus SMA Negeri 4 Purworejo telah mempublikasikan karya-karyanya di berbagai media lokal dan beberapa antologi bersama seperti Kota Gudik (2016) dan Ritual Lapaong Astral (2016). Kini ia bergiat di Komunitas Bisa Menulis.

Related Posts

1 of 39