Bahasa dan Politik

Bahasa dan politik
Ilustrasi/Dok:shutterstock.com
Bahasa dan politik adalah dua elemen yang saling terkait, membentuk jalinan yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga merupakan cermin budaya, identitas, dan nilai-nilai suatu kelompok. Di sisi lain, politik berfungsi untuk mengatur dan mengelola kehidupan sosial di dalam masyarakat. Ketika kedua elemen ini berinteraksi, mereka dapat menciptakan dinamika yang menarik, sekaligus menantang.
Oleh: Dr. Maulizan

 

Salah satu hal yang menarik tentang bahasa dalam konteks politik adalah bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini publik. Dalam kampanye politik, misalnya, para calon pemimpin sering kali memilih kata-kata dengan hati-hati untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat. Penggunaan istilah-istilah tertentu bisa menimbulkan reaksi emosional yang kuat. Seperti, istilah “perubahan” atau “reborn” sering digunakan untuk menggugah semangat perubahan, sementara istilah “krisis” atau “ancaman” bisa digunakan untuk menegaskan urgensi atau bahaya. Di sinilah keahlian dalam menggunakan bahasa menjadi sangat penting bagi seorang politisi.

Bahasa yang digunakan dalam politik perlu kita perhatikan karena bisa saja menyesatkan. Istilah yang ambigu atau manipulatif sering kali dipakai untuk menyamarkan niat sebenarnya dari kebijakan atau tindakan tertentu. Seperti istilah “penertiban” bisa digunakan untuk menutupi tindakan represif terhadap kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk kritis dan mampu membaca dan memahami bahwa bahasa bisa dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.

Peran media massa dalam penyebaran bahasa politik juga tidak bisa diabaikan. Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk narasi dan opini publik. Berita yang disajikan, istilah yang digunakan, dan sudut pandang yang diangkat sangat memengaruhi pemahaman masyarakat tentang isu-isu politik. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk bertanggung jawab dalam penggunaan bahasa, memastikan bahwa pemberitaan yang mereka sajikan tidak hanya akurat tetapi juga adil dan seimbang. Media seharusnya menjadi jembatan untuk memperkuat pemahaman masyarakat, bukan justru menambah kebingungan.

Dalam era digital saat ini, bahasa juga mengalami evolusi yang sejalan dengan perkembangan teknologi. Media sosial telah mengubah cara orang berinteraksi dan berkomunikasi tentang politik. Bahasa yang digunakan di medsos sering kali lebih santai dan informal, bahkan bisa sangat emosional. Meme, hashtag, dan konten viral memiliki kekuatan luar biasa untuk menarik perhatian dan menyebarkan pesan politik dengan cepat. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga bisa menimbulkan misinformasi dan disinformasi. Ketika informasi dapat menyebar dengan cepat dan luas, penting bagi masyarakat untuk memiliki kemampuan literasi media yang baik, sehingga mereka dapat memilah mana informasi yang kredibel dan mana yang tidak.

Keterkaitan antara bahasa dan politik terlihat jelas dalam konteks identitas. Di banyak negara, bahasa bisa menjadi simbol identitas nasional atau etnis. Dalam situasi tertentu, seperti konflik politik atau sosial, bahasa dapat menjadi alat untuk menyatakan kebanggaan atau penolakan terhadap kelompok lain. Contohnya, penggunaan bahasa daerah dalam konteks politik lokal dapat menjadi sarana untuk memperkuat identitas dan solidaritas di antara anggota komunitas tertentu. Namun, di sisi lain, ini juga bisa memicu ketegangan dengan kelompok lain yang berbahasa berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengelola keragaman bahasa dengan bijak, dengan menghargai semua identitas yang ada.

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa dan politik memiliki hubungan yang sangat kompleks. Bahasa memiliki kekuatan untuk menyatukan, tetapi juga bisa memecah belah. Ini adalah tanggung jawab kita, sebagai anggota masyarakat, untuk menggunakan bahasa dengan santun, inklusif, dan penuh empati. Dalam konteks politik yang sering kali gaduh ini, mari kita jaga agar bahasa tetap menjadi alat untuk dialog yang konstruktif dan bukan alat untuk bertikai. Dengan demikian, kita bisa menciptakan ruang yang lebih baik untuk semua orang dalam masyarakat kita, di mana setiap suara dihargai dan didengar. Salam damai untuk semua. (*)

Penulis: Dr. Maulizan, Dosen FKIP UBBG
Exit mobile version