ArtikelHankamTerbaru

Awas Bahaya Laten Komunisme

“Mengapa Bukan Bahaya Laten Komunis”? Tanya Baharuddin Lopa dan Prof. AZ. Abidin dalam buku mereka berjudul Bahaya Komunisme, tahun 1968 yang diterbitkan Bulan Bintang di Jakarta.

Keduanya merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW: bahwa “segala anak dilahirkan dengan mempunyai dasar fitrah kesucian (diriwayatkan Buchari-Muslim). Barulah setelah lahirnya paham atau isme Komunis dengan taktik strategi kekerasannya menimpa manusia menjadi ganas, tidak mengenal Tuhan. Jadi, ismenya-lah yang berusaha menjerumuskan peradaban manusia dalam kegelapan. Itulah sebabnya kami memilih istilah Bahaya Komunisme, bukan Bahaya Komunis. Terhadap siapa bahaya itu mengancam? Jawabnya ialah terhadap kehidupan dan keselamatan ummat manusia, termasuk kaum Komunis sendiri. Begitu tulis Baharuddin Lopa dan Prof. AZ. Abidin tentang bahaya laten Komunisme di Dunia dan di Indonesia.

Kasus bahaya Komunisme bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain, dapat dilihat pada akibat perang Korea Utara (Korut) melawan Korea Selatan (Korsel) tanggal 25 Juli 1950—27 Juli 1953. Karena perang Korea bersaudara itu berakhir pada tahap gencatan senjata, maka konflik itu masih ada sampai sekarang. Pada perang saudara itu, Korut bersekutu dengan Komunis Cina dan Uni Soviet. Sedangkan Korsel bersekutu dengan Amerika Serikat (AS) Kanada, Australia, dan Inggris. AS masuk dalam perang Korea tersebut sebagai polisional agar ada keseimbangan kekuatan kedua belah pihak Korut-Korsel. Korban perang Korut-Korsel beradasarkan laporan tentara PBB dan AS, yang diperoleh dari hasil interogasi tahanan perang, dan intelijen militer, bahwa AS: 36.940 terbunuh, Cina:100.000—1.500.000 terbunuh; Korea Utara: 214,000–520,000; Korea Selatan: Rakyat sipil: 245.000—415.000 terbunuh; Total rakyat sipil yang tewas antara 1.500.000—3.000.000 jiwa.

Sedangkan korban G30 S/PKI/1965 juga banyak. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Pandjaitan, Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo, Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono), Letnan Jenderal TNI Anumerta Suprapto, Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (S. Parman), Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Kolonel Infanteri Anumerta R Sugiyono Mangunwiyoto, Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (KS Tubun), Kapten Anumerta Pierre Tendean, dan Ade Irma Suryani Nasution. Di pihak sipil baik yang berhaluan Komunisme maupun yang berhaluan Pancasilaisme juga banyak korban yang tak kurang dari ratusan ribu jiwa dan ada pula yang mengatakan hanya 80.000 jiwa. G.30 S/PKI/1965 kemudian diketahui persis bekerja di bawah Komando pimpinan Komunis Cina tertinggi yaitu Mao Tse Tung kepada DN. Aidit Ketua PKI dan Siauw Giok Thjan Ketua Bapperki, organisasi kemasyarakatan milik Eci yang kuat pada saat itu.

Baca Juga:  Oknum BPN Jakarta Timur Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Pembangunan RSPON

Itu hanya sedikit kasus yang membuktikan kesadisan dan kebiadaban sistem Komunisme yang dimaksud oleh Lopa dan Prof. Abidin. Namun dewasa ini, tampaknya hubungan Indonesia dengan Cina Komunis makin hari makin akrab. Menurut pengalaman sejarah politik, bahwa tiap-tiap negara yang berhubungan baik dengan Cina Komunis, Ministry and State Security (MSS) dan Military Intellijence Departement (MID) atau BIN dan BAIS-nya Cina Komunis, turut beroperasi termasuk di Indonesia dewasa ini. Padahal di Negara Pancasila, Komunisme dan Marxisme-Leninisme telah dilarang sejak diterbitkannya Tap MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966. Nah, hubungan akrab dengan Cina Komunis berkekuatan, lemah, sedang atau kuat tetap bersinggungan dengan Tap MPRS tersebut. Lalu apa implikasi hubungan akrab Indonesia dengan Cina Komunis terhadap stabilitas politik, hukum, dan keamanan nasional (stabpolhukamnas) ke depan?

Pertama, isu 5.000 pucuk senjata ilegal
Isu masuknya 5.000 pucuk senjata ilegal military standard, sukar dipercaya jika tanpa peran serta MID Cina Komunis. Ada beberapa kemungkinan skenario di baliknya. Pertama, polisi akan didukung oleh Cina Komunis. Kedua, militer dilawan untuk dilemahkan. Ketiga, rakyat dipersenjatai untuk melawan militer. Keempat, militer difitnah melalui teknik “penembak gelap” beberapa tokoh atau aktivis nasional oleh individu-individu berhaluan komunisme dengan menggunakan jenis senjata ilegal military standard. Kasus itu tentu akan diproses polisi dan akan menemukan bahwa jenis senjata yang digunakan pelaku, jenis senjata military standard. Karena itu, rakyat akan bereaksi negatif terhadap militer. Secara simultan militer akan dituduh menembaki rakyat. Kelima, militer akan terlibat bentrok bersenjata dengan polisi yang akan didahului konflik individual antara anggota militer dengan polisi.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Kedua, antagonisme negara dengan rakyat
Era demokrasi antagonisme rakyat dengan negara bisa sebagai teknik Cina Komunis untuk mencapai kepentingannya di Indonesia. Secara teoretis disebut “Chineese Tailing” yang bermakna ikutan buruk dari sekali kebaikan Cina Komunis kepada Indonesia. Di dalam upaya itu kelompok etnis Cina Indonesia (ECI) ada di dalamnya menjadi agen-agen Cina Komunis melakukan operasi intelijen MSS dan MID di Indonesia. Berhubung MSS dan MID tidak akan pernah melakukan misinya dengan tangannya langsung kepada objeknya. Contoh kasus Ahok dalam menyelesaikan masalah Pemprov DKI dengan penghuni Komplek Kalijodo menggunakan 5.000-6.000 personel militer dan polisi bersenjata. Meskipun mereka hanya berdiri dan diam di tempat, tetapi masyarakat Kalijodo akan merasa ketakutan. Termasuk kasus reklamasi teluk Jakarta, proyek Kereta Api Cepat (KAC) Jakarta-Bandung. Bayangkan dahsyatnya operasi MSS Cina baru belajar membuat KAC dan banyak terjadi kecelakaan KAC di Cina, namun bisa mengalahkan Jepang yang sudah mahir membuat KAC dan tidak pernah terjadi kecelakaan di Jepang.
Ketiga, masuknya penyamar tentara merah China sebagai pekerja kasar
Sangat diduga keras bahwa pekerja kasar yang masuk ke Indonesia belakangan ini, khususnya di Indonesia bagian Tengah dan Timur terdiri dari tiga kelompok yakni pertama, penyamar Tentara Merah Cina; kedua, kaum tahanan di Cina yang “sehat” yang bila tetap ditahan memerlukan biaya besar. Tentu akan lebih menguntungkan bila ia dipekerjakan di Indonesia di dalam proyek investasi Cina Komunis; ketiga, kemungkinan pekerja kasar Cina Komunis.

Ketiga kemungkinan implikasi hubungan akrab Indonesia dengan Cina Komunis di atas, bisa disebut Gerakan Infiltrasi dan Agitasi Bawah Tanah (GIRAH) Cina Komunis bersama dengan agen-agennya dari ECI, dan oknum-oknum aparatus negara. Tampaknya ada korelasi antara peristiwa politik G30 S/PKI/1965 di bawah Komando Mao Tse Tung yang digagalkan oleh Letnan Janderal TNI Soeharto selaku Pangkostrad saat itu, dengan Komando Presiden Cina Komunis Xi Jinping dewasa ini yang akan digagalkan oleh Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Bukti Pemimpin Pilhan Rakyat

Memang ada perbedaan strategi Mao Tse Tung dengan Xi Jinping. Jika Mao Tse Tung gagal menganeksasi Indonesia ke dalam Sosialisme-Komunisme melalui G30S/PKI/1965, maka Xi Jinping melalui tiga tahapan invasi, infiltrasi, dan aneksasi melalui saluran demokrasi. Strategi yang dipilih tampaknya GIRAH. Saluran demokrasi bisa di-setting Xi Jinping menjadi dua teknik secara simultan. Pertama, proses demokratisasi dengan metode aneksasi memenangkan warga kelompok ECI merebut jabatan Presiden RI. Kedua, melalui konflik horizontal dikombinasikan dengan konflik vertikal. Adapun model resolusi konfliknya, yaitu proses demokratis melalui sidang Istimewa MPR RI. Saat itu mungkin kemenangan sudah di-setting di pihak ECI dan Cina Komunis. Bagi Xi Jinping kedua metode aneksasi Indonesia itu tidak sukar berhubung biaya mereka tidak terbatas asalkan bisa menganeksasi Indonesia. Sementara di lain pihak, oknum-oknum politisi nasional banyak yang perlu uang tanpa memperhatikan etika kepentingan NKRI yang akan dianeksasi oleh Cina Komunis. Contoh sederhana oknum-oknum politisi Nasdem, Hanura, Golkar, dan PDIP mendukung Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI yang nyata-nyata telah menista agama Islam yang dianut sebagian besar politisi itu.

Akhir dari skenario bahaya laten Komunisme ECI dan Cina Komunis yang diemban oleh Xi Jinping, adalah aneksasi kekuasaan politik NKRI dari Pribumi kepada ECI dan Cina Komunis. Namun di balik itu ada implikasi yang terburuk bahwa Amerika akan masuk dalam bagian konflik itu dengan alasan polisional guna melindungi kepentingan investasinya di Indonesia. Dalam keadaan genting seperti itu, karena berlatar belakang konflik Pancasilaisme—Sosialisme-Komunisme Cina—Kapitalisme Amerika Serikat dan sekutunya, kemungkinan Indonesia bisa terbelah menjadi Indonesia Timur dan Indonesia Barat bagai kasus politik Korut-Korsel tahun 1953. Hanya satu metode yang tepat untuk lepas dari semua bentuk implikasi buruk politik itu, “rakyat tetap manunggal dengan militer” dan jangan percaya dengan ECI dan Cina Komunis, serta pertahankan Tap MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966. Awas Bahaya Laten Komunisme itu ibarat buah saat ini telah “mengkal”.

Penulis: M. Dahrin La Ode, Direktur Eksekutif CISS / Editor: Redaktur

Related Posts

1 of 9