Mancanegara

AS Mulai Memprovokasi Iran

Presiden Trump

NUSANTARANEWS.CO – Amerika Serikat (AS) mulai memprovokasi Iran dengan meningkatkan tekanannya kepada negara-negara importir minyak Iran. Pada hari Senin 22 April lalu, Washington telah mengakhiri “keringanan” kepada Cina, India, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Turki, Italia dan Yunani. Tujuannya adalah untuk melumpuhkan ekspor minyak Iran menjadi nol. Dengan pengetatan sanksi ini, AS berharap dapat melumpuhkan ekonomi Iran.

Dengan pengetatan sanksi ini, AS sebagai produsen minyak terbesar dunia tentu dapat mengisi kekosongan pasokan minyak Iran ini, dengan harga yang lebih tinggi tentunya.

Iran sendiri tidak peduli dengan sanksi AS, bahkan menyatakan bahwa mereka akan terus mengirimkan minyaknya. Di pihak lain, Turki dan Cina menolak tegas sanksi AS dan akan terus membeli minyak Iran. Sementara Italia dan Yunani belum bereaksi.

Bila AS memaksa dengan kekuatan militer, Iran malah mengancam akan menutup Selat Hormuz. Bila hal itu terjadi, dampaknya tentu akan mengganggu pasokan minyak dunia yang berasal dari Semenanjung Arab, termasuk ke Eropa dan Amerika Utara. Boleh jadi AS memang memprovokasi Iran agar terjadi bentrokan senjata sehingga memberikan dalih perang melawan Iran.

Baca Juga:  Raja Maroko King Mohammed VI Sambut Kunjungan Kenegaraan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Dar al-Makhzen

Langkah blokade AS tidak hanya akan menjadi agresi terhadap Iran, tapi juga akan menjadi agresi terhadap Cina dan negara-negara lain yang mengandalkan pasokan minyak Iran. Namun AS tampaknya memang telah siap mengambil risiko berkobarnya perang besar.

Diplomasi Perang AS terhadap Iran sebetulnya sudah terlihat sejak penarikan diri Washington dari perjanjian nuklir Iran, yang kemudian dilanjutkan dengan menerapkan “sanksi” terhadap Iran. Bukan itu saja, AS bahkan mengancam negara-negara Uni Eropa untuk mengubah isi Kesepakatan Nuklir Iran sesuai kehendak Washington.

Belakangan, tindakan aneh AS adalah memasukkan Pasukan Pengawal Revolusi Iran sebagai organisasi “teroris”. Sungguh sebuah tindakan aneh karena mencap angkatan bersenjata sebagai teroris. Iran pun kemudian membalas dengan menyatakan angkatan bersenjata Amerika adalah “teroris.”

Klaim-klaim kriminalisasi AS ini, kemudian disebarkan luaskan oleh media mainstream seperti New York Times, Washington Post, The Guardian, Der Spiegel, Le Monde, dan sebagainya. Sekali lagi ibarat Quick Count, opini publik dunia pun terbentuk sesuai keinginan Pentagon.

Baca Juga:  Mesin Propaganda Arus Utama Barat Marah Karena Mitos 'Isolasi Putin' Runtuh

Opini Pasukan Pengawal Revolusi Iran adalah “teroris” yang bertanggung jawab atas kematian tentara Amerika di Irak pun mulai digembar-gemborkan. Demikian pula kriminalisasi terhadap pemerintah Iran menjadi penting, terutama bagi konsumsi publik Amerika.

Biasanya bila kriminalisasi terhadap musuh sudah terbentuk, maka bisa menjadi pertanda bahwa serangan akan datang. Coba perhatikan, Manuel Noriega di cap sebagai penjahat. Perlakuan yang sama juga kepada Slobodan Milosevic, dengan Saddam Hussein, dengan Muammar Ghaddafi. Kini logika yang sama juga berlaku untuk Iran. Di mana Washington mulai menggambarkan pemerintah Iran sebagai penjahat.

Sekali lagi masalah ini kembali ke kata perang. Jelas bahwa upaya pencekikan ekonomi Iran adalah upaya untuk “menghukum” Iran karena mempertahankan posisi strategis, kemerdekaan, dan kedaulatannya. Iran memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri terhadap perang ekonomi dan ancaman perang yang dilakukan oleh AS. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,079