NUSANTARANEWS.CO – Banyak orang-orang Amerika sadar bahwa negara mereka sedang berperang di Irak, Suriah dan Afghanistan, karena perhatian media memang diarahkan ke sana. Tiba-tiba muncul berita mengejutkan tentang tewasnya empat tentara AS di Niger, sehingga timbul pertanyaan, sejak kapan AS berperang di Afrika?
Mantan anggota Kongres Texas Ron Paul menyatakan bahwa ini adalah satu perang lagi yang dilakukan AS tanpa persetujuan dari Kongres. Sekaligus menandai kehadiran militer AS di 53 dari 54 negara Afrika.
Kepala Staf Gabungan Jenderal Joseph Dunford mengklaim bahwa AS telah menempatkan pasukan di Niger lebih dari 20 tahun dengan tujuan untuk melawan ekstremisme dan kekerasan di Afrika Barat.
“Kawasan ini sangat berbahaya,” kata Dunford. “Kami di sana karena ISIS dan Al Qaeda beroperasi di wilayah itu.” Memang benar bahwa AS masih memiliki legitimasi untuk Penggunaan Militer secara sah setelah peristiwa 9/11.
Sejak tahun 2008, melalui program “Unified Quest 2008” United States Army War College di Carlisle, Pennsylvania, Pentagon telah menciptakan sebuah komando militer baru untuk benua Afrika: Komando Afrika atau Africom. Simulasi perang dirancang untuk melihat krisis yang mungkin meletus di berbagai belahan dunia dalam jangka lima sampai 25 tahun ke depan, dan bagaimana AS dapat menanganinya.
Menariknya, selain perwira militer AS dan petugas intelijen, “Unified Quest 2008” juga melibatkan peserta dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, wartawan serta kontraktor militer swasta Rand Corporation – sebagai pendukung simulasi perang di benua Afrika.
Salah satu dari empat skenario perang yang dilancarkan adalah bagaimana Africom mampu merespons krisis di Somalia dengan cepat – yang disimulasikan terjadi pada tahun 2025 – yang disebabkan oleh meningkatnya pemberontakan, pembajakan dan perompakan.
Skenario lebih lanjut yang ditetapkan pada 2013 – adalah bagaimana Africom dapat merespons krisis di Niger di mana pemerintah Niger hampir runtuh, sementara faksi pemberontak saling bersaing berjuang untuk mengendalikan ladang minyak di Delta Niger dan berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan di negara yang merupakan pemasok impor minyak Amerika terbesar keenam.
Opsi skenario Niger bisa berupa tekanan diplomatik hingga tindakan militer, dengan atau tanpa bantuan dari negara-negara Eropa dan Afrika. Bila opsi militer yang dijalankan maka AS dapat mengerahkan 20.000 tentara untuk mengamankan ladang-ladang minyak di sana. Simulasi juga menjajagi kemungkinan bila salah satu faksi melakukan kudeta dan berhasil membentuk pemerintahan baru yang mencari stabilitas.
Proyek Penelitian Keamanan Afrika telah menyiapkan laporan terperinci tentang penciptaan, misi, dan kegiatan Africom. Misinya jelas, mengamankan ladang minyak! Sedangkan sebagai isu utama tentu saja perang melawan terorisme sebagai: Pertunjukan Utama Teater Africom. Dalam laporan itu, tidak disinggung sedikitpun tentang bantuan kemanusiaan, penjagaan perdamaian atau resolusi konflik.
Kebijakan tersebut dipertegas oleh Wakil Laksamana Moeller dalam sebuah konferensi Africom di Fort McNair pada 18 Februari 2008, dilansir dalam laman web Pentagon, bahwa prioritas Africom adalah: melindungi lalu lintas sumber daya alam dari Afrika ke pasar global. Dalam panduan Africom juga disebutkan penanganan “terorisme,” serta membendung perkembangan pengaruh Cina sebagai tantangan utama kepentingan AS di Afrika.
Tidak mengherankan bila belakangan, Jenderal Ward dalam sebuah wawancara dengan AllAfrica, terlihat lebih mahir berdiplomasi di hadapan publik resmi pemerintah AS terkait tujuan Africom, di tengah meningkatnya operasi militer AS di benua Afrika. Antara lain: mengawasi penjualan senjata AS, program pelatihan militer dan latihan militer, mengawasi kehadiran angkatan laut AS di Teluk Guinea yang kaya minyak dan di lepas pantai Somalia, serta menjalankan pangkalan baru di Camp Lemonier di Djibouti.
Berdasarkan kesepakatan, AS memperoleh akses penuh dengan seluruh pemerintah di negara-negara benua Afrika. Negara-negara ini meliputi Aljazair, Botswana, Gabon, Ghana, Kenya, Mali, Maroko, Namibia, Sao Tome, Senegal, Sierra Leone, Tunisia, Uganda, dan Zambia.
Presiden Obama telah memutuskan untuk memperluas operasi Africom di seluruh benua Afrika. Bahkan Obama telah mengusulkan sebuah anggaran guna peningkatan bantuan keamanan kepada pemerintah yang represif dan tidak demokratis di negara-negara kaya sumber daya seperti Nigeria, Niger, Chad, Republik Demokratik Kongo, dan negara-negara yang merupakan sekutu militer utama Amerika Serikat seperti Ethiopia, Kenya, Djibouti, Rwanda dan Uganda.
Obama sebenarnya telah meningkatkan intervensi militer AS di Afrika, dengan memasok senjata dan pelatihan kepada Pemerintah Federal Transisi yang terkepung di Somalia, sebagai bagian dari upayanya untuk menjadikan Afrika sebagai medan perang utama dalam perang global melawan terorisme. (Agus Setiawan)