FeaturedOpini

Arief Hidayat tak Layak Jadi Hakim MK

NUSANTARANEWS.CO – Arief Hidayat yang juga ketua Mahkamah Konstitusi (MK) diduga melakukan barter dan lobi-lobi politik setelah ia berhasil dipilih oleh Komisi III DPR untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai hakim konstitusi pada Rabu, (6/12/2017) di Senayan, Jakarta, melalui uji kepatutan dan kelayakan. Arief akan berakhir masa jabatannya pada April 2018 nanti.

Proses seleksi calon hakim MK yang diajukan oleh DPR sangat tertutup dan tidak diketahui publik sehingga dapat dikatakan cacat hukum dan etika penyelenggaraan negara yang menjunjung asas transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel dalam pengisian jabatan hakim MK sebagaimana diatur dalam UU No. 24 tahun 2003 yang telah diubah menajdi UU No. 8 tahun 2011 tentang MK.

Pasal yang dilanggar yaitu Pasal 15, Pasal 19 dan Pasal 20 UU MK serta UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta TAP MPR No. XI/MPR/1998.

Rekrutmen hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK sehingga apa yang dilakukann oleh Komisi III DPR dan Arief Hidayat sendiri telah nyata melanggar ketentuan Perundang-undangan. DPR sebagai lembaga pengusul hakim MK tidak menjalankan ketentuan Pasal 19 ini dan Arief dengan sikap permisifnya mengambil untung untuk melanjutkan jabatannya sebagai hakim MK periode kedua.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Karenanya, Arief secara juridis ikut melanggar ketentuan perundang-undangan dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001 apalagi yang bersangkutan sebagai pejabat negara dan ketua MK.

Sikap tercela dan perilaku tidak etis bukan saja baru kali ini, Arief Hidayat juga pernah diberi sanksi oleh Dewan Etik MK pada April 2016 lalu karena membuat surat atau katabelece kepada pejabat Kejaksaan Agung agar kerabatnya yang juga seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur untuk dititip dan dibina. Katabelece seperti ini tentu saja jauh dari sikap kenegarawanan yang harus dimiliki seorang hakim konsitusi dan merupakan bagian dari praktik korupsi yang kita berantas bersama-sama.

Kasuss Akil Mochtar dan Patrialis Akbar sudah cukup bagi kita yang ditunjuk tanpa mekanisme sesuai UU MK yang pada akhirnya bernasib tragis karena perbuatan culasnya melakukan tindak pidana korupsi yang meruntuhkan marwah Mahkamah Konstitusi yang telah dibangun susah payah oleh para pendahulunya.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Kecurigaan perilaku Arief yang diduga memperdagangkan pengaruh (trading influence) karena kapasitasnya sebagai ketua MK yang sedang mengadili uji materi UU MD3 yang dilakukan oleh karyawan KPK terkait hak angket dan uji materi UU KPK yang dilakukan oleh Setya Novanto yang juga sebagai Ketua DPR yang sedang dijerat kasus korupsi KTP elektronik.

Istilah “perpanjangan” jabatan hakim MK sebenarnya tidak dikenal dalam UU MK. Apabila seorang hakim MK habis masa jabatannya selama 5 tahun (Pasal 22 UU MK) maka lembaga pengusul harus menyeleksi ulang calon hakim MK untuk mengganti atau mengisi jabatan hakim MK melalui seleksi dan pemilihan, bukan diperpanjang atau dilanjutkan.

Sayangnya, revisi UU MK yang telah diundangkan menjadi UU No. 8 tahun 2011 tidak memuat tata cara seleksi dan pemilihan hakim MK sehingga proses rekrutmennya menjadi tidak jelas dan disesuaikan dengan selera dan kepentingan lembaga pengusul masing-masing.

Bagaimana mungkin mewujudkan hakim MK yang berintegritas, adil dan memiliki sikap negarawan kalau si calon melakukan praktik culas, tercela dan mengabaikan ketentuan perundang-undangan dan etika berbangsa.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Arief Hidayat dengan segala perilakunya selama ini sangat tidak layak kembali menjadi hakim MK dan dapat mengembalikan kepercayaan publik kelembagaan MK yang berwibawa dan terpercaya.

Presiden Jokowi sebagai kepala negara berhak menolak dan mengembalikan pencalonan Arief ke DPR agar sesuai dengan ketentuan UU MK. Menyetujui pengusulan Arief sebagai hakim MK sama saja dengan memberi toleransi pelanggaran UU yang menjadi sumpah Presiden untuk menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Penulis: Syamsuddin Radja, Pengamat Hukum Tata Negara dan Direktur Jenggala Center

Related Posts

1 of 68