ArtikelBerita UtamaFeatured

Arab Saudi Sponsor Terorisme Dunia

NUSANTARANEWS.CO – International Crisis Group (ICG) melaporkan bahwa para penyerang adalah kelompok Harakah al-Yaqin, bahasa Arab untuk “the Faith Movement” yang didukung oleh Arab Saudi. Kelompok tersebut telah bertahun-tahun merekrut dan melatih para gerilyawan di Bangladesh dan Rakhine utara.

Pemimpin Harakah al-Yaqin adalah Attaullah, seorang etnis Rohingya yang lahir di kota Karachi, Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi. Dengan dukungan 20 Muslim Rohingya yang terlatih dalam pengalaman pertempuran internasional, dan di damping seorang mufti terlatih Saudi – Attaullah, setidaknya selama dua tahun terakhir telah merekrut dan melatih ratusan gerilyawan untuk bertempur, termasuk menggunakan bahan peledak.

Padahal, Rohingya bukanlah populasi yang radikal, di mana mayoritas masyarakat, para tetua dan pemimpin agama telah berupaya menghindari kekerasan yang justeru kontraproduktif. Namun, hal itu berubah dengan cepat setelah kemunculan Harakah al-Yaqin yang didirikan pada tahun 2012 – setelah kerusuhan etnis di Rakhine yang membunuh sekitar 200 orang Rohingya. Dan sekarang mereka diperkirakan telah memiliki ratusan pejuang terlatih.

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa mereka memiliki kaitan dengan militan yang dilatih oleh kelompok Taliban Pakistan dan disebut sebagai organisasi teroris pada dua pekan lalu (26/08). Dalam beberapa bulan terakhir, kelompok ini kemudian mengubah namanya menjadi Tentara Pembebasan Arakan (ARSA).

Perjuangan kekerasan bersenjata gerilyawan ARSA telah memicu pasukan keamanan Myanmar untuk melakukan operasi militer besar-besaran terhadap Rohingya. Pada gilirannya, konflik di perbatasan Myanmar telah menjadi sorotan dunia internasional – terutama pada pelanggaran militer di negara bagian Rakhine.

Kehadiran pasukan militan bersenjata asing yang disponsori oleh Arab Saudi di perbatasan Myanmar, menjadi dalih bagi AS untuk kehadiran militernya di Myanmar. Aliran dana dan senjata yang sama mengalir dari teroris yang beroperasi di Filipina selatan ke Riyadh dan mitranya di Washington, yang kemudian menghasilkan kesempatan serupa bagi AS untuk membangun kembali kehadiran militernya secara permanen di sana sebagai reaksi terhadap krisis yang terjadi.

Baca Juga:  Rekomendasi Playsuit Serene Untuk Gaya Santai Trendy

Washington mengusulkan kehadiran militernya di seluruh Asia Tenggara guna melancarkan bantuan “kontra-terorisme” secara luas. AS tampaknya menutup mata terhadap keterlibatan Arab Saudi sebagai sponsor utama terorisme – yang belakangan telah menimbulkan gejolak dan kekerasan bersenjata di Asia Tenggara.

Kehadiran kembali militer AS di Asia Tenggara yang dibingkai sebagai operasi perdamaian dan stabilitas, sebenarnya adalah sebuah kebijakan yang menunjukkan gejala ketidakstabilan dan kekacauan nyata yang ditinggalkan AS dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Ke-2.

Ironisnya, bahwa terorisme yang semakin merajalela di seluruh Asia Tenggara, boleh dikatakan merupakan hasil dari kebijakan Washington yang disengaja, dan ini digunakan sebagai dalih untuk menghadirkan kembali militernya dalam skala yang lebih besar di level regional. Dan kebijakan Washington ini secara langsung telah meningkatkan kewapadaan tingkat tinggi Cina.

Betapa tidak bila dalam “Pentagon Papers” yang dikeluarkan pada tahun 1969, terungkap bahwa kehadiran militer AS secara permanen di Asia Tenggara adalah sebagai upaya untuk membendung pengaruh komunisme, khususnya pengaruh komunisme Cina di Asia Tenggara. Perang Vietnam hanyalah salah satu bagian dari strategi yang lebih besar guna mengendalikan komunisme Cina. (Banyu)

Baca Juga:  Relawan Lintas Profesi Se-Tapal Kuda Deklarasi Dukung Khofifah di Pilgub Jatim

 

Related Posts

1 of 60