Ekonomi

Apakah Garuda Indonesia Perusahaan Indonesia?

Komitmen Kebersamaan untuk Garuda Indonesia yang Lebih Baik. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
Komitmen Kebersamaan untuk Garuda Indonesia yang Lebih Baik. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Apakah Garuda Indonesia adalah perusahaan Indonesia? Prabowo dalam pidato kebangsaan pada Senin (14/1) lalu mengkritik kinerja keuangan BUMN. Salah satunya Garuda Indonesia.

Sejak beberapa tahun belakangan, Garuda Indonesia memang rajin diterjang masalah. Namun, perlahan tapi pasti Garuda Indonesia mulai berbenah dan memperbaiki diri.

Selain itu, maskapai penerbangan di Indonesia tengah mendapat sorotan tajam lantaran memasang harga tiket yang terlampau mahal untuk penerbangan domestik. Kondisi ini memaksa warga Banda Aceh lebih memilih terbang ke Kuala Lumpur dulu (transit) ketika mereka hendak bepergian ke Jakarta karena tarif jauh lebih murah.

“Saya rasa pendapat bahwa maskapai Garuda Indonesia adalah perusahaan nasional milik negara Indonesia, sepertinya perlu dipertimbangkan kebenaran pendapat itu,” kata pengamat politik dari AEPI, Salamuddin Daeng, Jakarta, Kamis (17/1/2019).

Baca juga: Sebut Tugas BUMN Tidak Kejar Laba Dinilai Melanggar UU BUMN dan Aturan Main GCG

Baca juga: Dirut Baru Garuda Indonesia Dinilai Akan Lebih Bisa Maksimal Menyelesaikan Masalah Eksternal

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

“Mengingat, Garuda Indonesia hanyalah operator dari korporasi asing,” tambah dia.

Menurutnya, Garuda adalah alat korporasi internasional untuk menyedot uang bangsa Indonesia semata. “Pantas saja, berapapun penjualan tiket perusahaan ini tidak akan pernah Garuda Indonesia untung, dan tidak ada sepeserpun hasil menjual tiket pesawat perusahaan ini yang tersisa di Indonesia,” ungkapnya.

Mengapa demikian? Garuda Indonesia yang notabene perusahaan milik negara (BUMN) menanggung beban atas pembelian 20 miliar dolar pesawat Boeing dan Airbus.

“Dengan tingkat kurs sekarang maka nilainya Rp 300 triliun yang harus dibayarkan. Sebuah kewajiban kepada Airbus dan Boeing yang tidak akan pernah dapat dibayar sampai akhir hayat,” beber Salamuddin.

Pada bagian lain, kata dia, utang Garuda sudah manggung dan tengah berburu global bond. Sebagaimana diketahui, utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk cukup besar. Level debt to equity sampai akhir Juni 2018 mencapai 2.35.

“Utang yang besar justru makin memicu Garuda untuk terus berhutang. Tahun 2019 Garuda mengincar global bond 500 miliar dolar untuk membayar utang lama. Jadi lobang ditutup dengan menggali jurang,” sebutnya.

Baca Juga:  Kebutuhan Energi di Jawa Timur Meningkat

Sementara, pendapatan Garuda habis untuk bayar kewajiban kepada Boeing dan Airbus dalam skema ECA senilai 20 miliar dolar. “Biaya atas pembelian 60 Boeing dan 30 Airbus dan ini merupakan kewajiban yang besar. Kondisi Garuda yang masih merugi sampai saat ini. Garuda masih menderita kerugian 1,6 triliun rupiah sampai akhir kwartal III 2018,” terangnya.

Selain itu, tambah Salamuddin, Garuda juga masih menanggung utang bahan bakar avtur dalam jumlah dan nilai yang cukup besar kepada pertamina.

“Sebetulnya, Garuda dan Pertamina bisa ‘cincai’ soap avtur ini. Tapi sekarang justru membuka konfrontasi dengan Pertamina. Usut punya usut, sudah ada korporasi asing lain yang sudah siap menggantikan Pertamina sebagai pemasok bahan bakar bagi Garuda. The winner take its all,” pungkasnya.

(eda/gdn)

Editor: Gendon Wibisono

Related Posts

1 of 3,052