EkonomiTerbaru

Anomali Ekonomi, Tax Ratio Makin Kecil Utang Tambah Besar

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Indonesia kini tengah menghadapi anomali perekonomian yang salah satunya ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat.

Juli lalu, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasti Lukita mengakui sendiri adanya penurunan daya beli masyarakat. Disebutkan Enggar, menurunnya daya beli disebabkan perubahan pola belanja masyarakat. Sebab, saat ini masyarakat sudah lebih cerdas dalam mengalokasikan dana belanjanya.

Namun, satu bulan kemudian Enggar membantah kalau telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kalau pun ada, kata dia, hanya terjadi di beberapa toko saja.

Sebagian pihak menilai, menurutnnya daya beli masyarakat adalah salah satu indikator kuat mengapa Indonesia kini tengah mangalami anomali ekonomi. Pemerintah dinilai tidak cermat dalam memahami kondisi ekonomi riil di tataran masyarakat bawah.

Baca: Daya Beli Menurun, Infrastruktur Picu Hutang Nagara Numpuk

Celakanya, pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara besar-besaran tidak mampu memberikan keuntungan nyata di sektor riil. Dengan kata lain, alih-alih menumbuhkan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot justru menggencet perekonomian dalam negeri.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Akibat pembangunan infrastuktur itu, membuat hutang negara semakin menumpuk. Mei 2017 lalu, China Development Bank (CDB) telah menandatangani pencairan dana pinjaman hutang sebesar Rp 13,3 triliun untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Tak berlebihan jika kini dikatakan hutang pemerintahan Presiden Jokowi hampir menyentuh angka Rp 4.000 triliun rupiah atau tepatnya Rp 3.706,52 triliun. Jika terus berlanjut, situsasi ini bisa menimbulkan gejolak dan krisis.

Sekadar tambahan, pemerhati kebijakan publik Chazali Situmorang menyebutkan bahwa utang merupakan suatu yang berkesinambungan pemerintahan. Kata Chazali, lima kali pergantian presiden tampaknya belum mampu mengantarkan Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya. Indonesia pun semakin terperangkap dalam kebiasaan utang, walapun ada Presiden yang berjanji sewaktu berkampanye mencalonkan diri, “tidak akan berutang”.

Supaya jelas, patut dilihat perjalanan kesinambungan utang setiap periode Presiden. Presiden Soeharto, selama 32 tahun pemerintahannya meninggalkan utang Rp 551,4 triliun (termasuk warisan dari Bung Karno). Presiden Habibie, menambah utang sebesar Rp 387,4 triliun. Jadi total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun.

Baca Juga:  Rusia Menyambut Kesuksesan Luar Angkasa India yang Luar Biasa

Presiden Gus Dur, menambah utang Rp 332.6 triliun, dan total utang pemerintah pusat Indonesia menjadi Rp 1.271,4 triliun. Presiden Megawati, menambah utang sebesar Rp 26.6 triliun sehingga total utang pemerintah pusat Indonesia adalah Rp 1.298 triliun. Presiden SBY, dalam 10 Tahun kepemimpinannya berutang sebesar Rp 1.310 triliun, sehingga total utang pemerintah pada akhir 2014 adalah Rp 2.608,8 triliun.

Dan saat ini periode Presiden Jokowi, sampai dengan Juni 2017 lalu sudah menambah utang sebesar Rp 1.097,72. Dan total utang pemerintah Indonesia saat ini adalah Rp Rp 3.706,52 triliun.

“Yang lebih penting adalah meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketimpangan. Tahun lalu tax ratio (rasio pajak) 10, 3% terendah dalam 9 tahun. Tax ratio kita tahun ini akan di bawah 10,3% atau terendah dalam 10 tahun. Tax ratio makin kecil utang tambah besar. Sebaiknya pemerintah fokus meningkatkan tax ratio, jangan sampai tahun ini terendah dalam 10 tahun. Sebaiknya pemerintah kerja keras meningkat tax ratio,” kata mantan Ketua KAPPI 1966, Yusuf AR dalam keterangannya seperti dikutip redaksi, Jakarta, Selasa (29/8). (ed)

Baca Juga:  Tim PPWI Lakukan Kunjungan Silahturahmi kepada Kepala Balai TNUK

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 6