Peristiwa

Anies Baswedan Keturunan Arab yang Berpidato Soal ‘Pribumi’

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sesaat setelah pidato pertama Anies Baswedan diucapkan Senin malam (16/10), pembicaraan di publik ramai soal polemik penggunaan kata “pribumi”. Padahal, Pilkada DKI Jakarta kemarin sudah sangat panas dengan polemik SARA.

Setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wkil Gubernur Sandiaga Uno dilantik, mereka langsung mendatangi Balai Kota yang kini menjadi kantornya. Anies-Sandi menyampaikan pidato politik perdananya di hadapan warga Jakarta yang hadir.

Anies berbicara soal perjuangan pribumi atau penduduk asli dalam melawan kolonialisme. Menurutnya, warga pribumi sudah sepatutnya menjadi tuan rumah di Indonesia. “Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujarnya, Senin (16/10/2017).

Dia menilai, Jakarta merupakan satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. “Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari.”

Sontak, pernyataan Anies tersebut banyak yang menilai tidak mencerminkan jiwa kepemimpinan dan Bhinneka Tunggal Ika. Padahal, Anies merupakan lulusan PhD (Doctor of Philosophy) atau setingkat S3 di bidang Ilmu Politik dari Amerika, mantan rektor termuda Indonesia yang menjabat di Universitas Paramadina, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar yang pluralistis, dan mantan Menteri Pendidikan di Kabinet Kerja.

Baca Juga:  Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin Kunjungi Keluarga Korban Meninggal Saat Kampanye Akbar di GBK

Baca:
Anies-Sandi Tak Usah Hiraukan Celotehan Ahoker
Belum Move On, Politisi ini Sebut Ahoker Perlu Ditangani Dokter Spesialis
Ichsanussin Noorsy: Geprindo Wajib Bebaskan Pribumi Dari Sistem Perbudakan Modern
29 Agustsus 2017: Selamat Ulang Tahun Hari Kebangkitan Pribumi Indonesia

AR Baswedan (Arabic: عبد الرحمن باسويدان‎‎ ʿAbd ar-Raḥman bā swaydān) yang merupakan kakek Anies Baswedan adalah pejuang kemerdekaan keturunan Arab yang melawan Belanda melalui medium tulisan di koran bernama Tionghoa, Sin Tit Po.

Ia seorang jurnalis yang belajar jurnalistik dari seorang keturunan Tionghoa, Liem Koen Hian, pemimpin dan pendiri Koran Sin Tit Po. Di harian itu pula AR Baswedan merintis karier jurnalistiknya sebagai penulis dan wartawan.

AR Baswedan juga adalah pendiri Partai Arab Indonesia, yang didirikan pada 1934, atau enam tahun sesudah Sumpah Pemuda. Pada masa kolonial Belanda. Kakek Anies yang keturunan Arab juga termasuk di dalam golongan Timur Asing. Bukan golongan pribumi, jika yang dimaksud Anies adalah orang Indonesia asli.

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya berjudul ‘Peranakan Arab dan Totoknya’, dengan lugas AR Baswedan menulis, di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Ia dengan tegas menyebut Indonesia adalah Tanah Airnya. AR Baswedan mengajak semua keturunan Arab di Indonesia satu sikap dengannya.

Baca Juga:  Diduga Pengemudi Mabuk, Mobil Avanza Seruduk Warung Bakso, Satu Orang Meninggal

Apresiasi Bung Karno adalah karena AR Baswedan yang menginspirasi para pemuda keturunan Arab di Indonesia “untuk menentukan identitas dan pandangan hidupnya untuk memilih Indonesia sebagai tanah airnya.” Begini kutipan pidato Bung Karno ketika menyebut AR Baswedan yang dikutip dari Arab Indonesia.

Saja membenarkan apa jang soedah dinjatakan oleh saudara A.R. Baswedan tempo hari, bahwa kamoelah sendiri jang haroes menentoekan pandangan hidoepmoe. Boekan orang dari loear! Salah benar, kalau nasibmoe kamoe pergantoengkan kepada toentoetan orang loear. Karena, kamoe sendirilah jang dapat mengarti perasaanmoe, djiwamoe, keboetoehanmoe, hari kemoedianmoe, dan hari kemoedian anak tjoetjoemoe.

Menurut pengamat masalah keturunan Arab di Indonesia, Hasan Bahanan, apa yang dilakukan AR Baswedan (yang saat itu berusia 27 tahun) dan kawan-kawan itu terinspirasi Sumpah Pemuda 1928. “Sumpah Pemuda 1928 yang melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas Arab Hadrami di Hindia Belanda,” kata Hasan kepada BBC Indonesia.

Baca:
Tak Mungkin Ada Pancasila dan Indonesia Tanpa Gerakan Pribumi
Pemerhati Politik Sebut Keturunan Tionghoa Adalah Pribumi, Djoko Edhi: Salah Berat Itu!
Trilogi Pribumisme, Dasar Kekuatan Politik Negara Merdeka
Mengenal Pribumi Nusantara
Hapus Hak Pribumi, Negara Gagal Terjemahkan Bangsa

Dalam buku AR Baswedan, Membangun Bangsa, merajut Keindonesiaan (2014), “Sumpah Pemuda keturunan Arab” itu memiliki tiga butir pernyataan: Pertama, Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri); Ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Bencana Hidrometeorologi Incar Jawa Timur, Heri Romadhon: Masyarakat Waspadalah

Pilihan AR Baswedan untuk meleburkan diri dalam cita-cita bersama bangsa Indonesia merupakan pilihan revolusioner. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan peranakan Arab, Cina, Jepang sebagai orang asing klas dua, di atas kaum pribumi.

“Dan, peranakan Arab saat itu -melalui isi sumpah pemuda 1934- “menurunkan” dirinya. Ini agak aneh untuk ukuran saat itu. Nah, Baswedan tidak melihat itu (warga klas dua) sebagai keistimewaan. Tapi dia mengatakan dengan menjadikan dia pribumi, maka persoalan keturunan Arab di Indonesia itu selesai,” papar Hasan, yang juga staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Dengan kata lain, lanjutnya, “Baswedan dan gerakannya sekaligus menafikan privilege perlakuan hukum (klas Timur Asing) yang diberikan oleh penguasa penjajah Belanda kepada etnik Arab.” Patut diketahui, status kelas Timur Asing yang dinikmati keturunan Arab itu, mengakibatkan mereka terpisah dari kaum pribumi.

“Mereka juga sebelumnya tidak pernah terlibat dalam gerakan kebangsaan, walaupun mereka terlibat dalam berbagai aktivitas pendidikan dan keagamaan,” kata Hasan Bahanan dalam pengantar buku AR Baswedan, Revolusi batin sang perintis (2015).

Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 7