EkonomiPolitik

Analogikan Kondisi Ekonomi Dunia dengan Film Game of Thrones, Pigai Kritisi Pidato Jokowi

game of thrones, perang dagang, winter is coming, pidato jokowi, nusantara, natalius pigai, annual meeting imf-world bank, nusantaranews, perekonomian global, kehormatan bangsa, nusantara news
ILUSTRASI – Pidato Jokowi tentang ‘Winter is Comig’ saduran dari film Game of Thrones. (Foto: Twitter/HBO Asia)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden menganalogikan kondisi ekonomi dunia layaknya cerita fiksi film Game of Thrones. Analogi tersebut diutarakannya dalam acara Annual Meeting IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu. Jokowi menyadur kalimat ‘Winter is Coming‘ yang merupakan sebuah fase dalam film serial itu.

Drama fantasi Game of Thrones sendiri sejauh ini sudah menginjak musim ke-7 dan akan memasuki musim ke-8. HBO telah resmi mengumumkan bahwa Game of Thrones Season 8 hadir tahun 2019 mendatang. Dan pidato Jokowi yang menyadur ‘Winter is Coming‘ secara tidak langsung menjadi iklan (endorsement) gratis bagi film tersebut yang akan memasuki musim seru dari kisahnya.

Baca juga: Dunia Mengalami Pergeseran Paradigma dari Perang ke Kompetitif dan Kini Resiprokal

Terlepas dari itu, pidato Jokowi yang menyadur cerita film Game of Thrones segera menuai kontroversi. Aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai mengatakan pidato yang dibacakan seorang pemimpin negara seharusnya mewakili kehormatan bangsa Indonesia di mata dunia internasional.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Pigai menyayangkan pidato di hadapan publik dunia tersebut dianalogikan ke film fiksi yang sebetulnya berisi adegan amoralitas dan kekerasan, sehingga terkesan menjadi pidato tanpa bermakna.

“Presiden tidak pahami bawah diawal cerita saja sudah dimulai dengan kamatian Jhon Arryn, istri King Robert berzina dengan saudara kandung sendiri, Daenerys (Targaryen) jual diri kepada (Khal) Drogo, King Robert dan Stark bergabung merebut kembali kerajaan di selatan,” kata Pigai melalui pesan singkat, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

“Itulah intisari film di mana isinya hanya mengandung nilai amoralitas seperti perang, kematian, jual diri, adik dan kaka kandung berhubungan badan. Film tidak patut jadi analogi di pidato terhormat seorang kepala negara,” tambah Pigai.

Baca juga: Bintang Porno Akui Game of Thrones Selamatkan Dirinya dari Prostitusi

Bagi Pigai, menganalosikan persaingan perdagangan negara-negara maju dengan drama fantasi Game of Thrones sangat tidak tepat. Seharusnya, kata dia, pidato Jokowi lebih ditekankan bagaimana pentingnya kolaborasi dan memberikan kesadaran Menteri Keuangan dan gubernur bank sentral seluruh dunia untuk bekerja sama dalam menghadapi kondisi perekonomian dunia yang tengah mengalami ekskalasi perang dagang, capital outflow.

“Padahal istilah perang dagang itu paradigma lama, kemudian berubah menjadi kompetitif dan kini resiprokal,” ujar aktivis asal Paniai, Papua ini.

Pigai menduga, pidato Jokowi di Annual Meeting IMF-World Bank 2018 yang menyadur Game of Thrones itu bernuansa politik lantaran dalam waktu dekat akan menghadapi pertarungan Pilpres 2019, terutama demi menggaet kaum milenial.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

“Tetapi secara substansial hanya bisa membuat para pemimpin dunia tertawa berbahak-bahak bahwa pemimpin di negara ini kurang memahami persaingan dan kompetisi melalui sebuah mekanisme sistem perdagangan dunia. Jangan bertanya pada Amerika dan Uni Eropa, justru kita mesti merasa aneh dan banyak orang bertanya bagaimana mungkin negara China Komunis bisa memainkan mekanisme liberalisasi. Inilah rahasia (inner circle) politik dagang China yang tidak banyak diketahui publik juga oleh pemimpin negeri ini,” ungkap Pigai.

Pidato Jokowi di Bali itu menunjukkan seakan-akan kita berada dalam sebuah perang dunia ke empat sebagaimana disampaikan oleh (Emmanuel) Marcon. Menurut saya, Jokowi salah besar, karena pemrintah seharusnya melakukan perdagangan barang dan jasa melalui mekanisme permintaan (request) dan penawaran (offer) dari antar negara sebagai mekanisme baku yang dihormati dalam perjanjian multilateral yaitu dirumuskan dalam penjanjian resiprokal dan saling pengakuan (Mutual Recognition Agreement/MRA),” paparnya.

(gdn/eda/bya)

Editor: Gendon Wibisono

Related Posts

1 of 3,150