Analisis Berita Politik: Beri Jalan untuk Edy Rahmayadi

Jenderal, putra pejuang, Edy Rahmayadi. Foto: Dok. Antara

Jenderal, putra pejuang, Edy Rahmayadi. Foto: Dok. Antara

NUSANTARANEWS.CO – Serasa menghentakkan ketika Jenderal, putra pejuang, Edy Rahmayadi, meneriakkan Revolusi Martabat (Dignity Revolution) bagi daerah pejuang ini. Mengapa? Karena memang lebih dari dua dekade martabat daerah ini telah tercabik-cabik akibat problema kepemimpinan dan keterjeratan para pejabat dalam berbagai kasus.

Pantas saja bila darah masyarakat Sumut dan tim suksesnya–yang sudah menjalar kemana-mana–menjadi mendidih ketika terdengar kabar bahwa ada ‘skenario’ mengganjal Edy untuk tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Letjen Edy Rahmayadi, terlahir sebagai anak pejuang, terbaca saya dalam salah satu berita bahwa ayahnya ‘diuber-uber’ Kompeni karena sengaja menyenggol anak si penjajah yang menyedot harta dan kekayaan negeri kita. Bahkan sejumlah bangunan di bakar untuk mencari pribumi (ayah Pak Edy) yang berani mengusik hegemoni-kuasa illegal yang tak sepantasnya menari-nari diatas penderitaan rakyat.

Membangun Indonesia dari Sumut

‘Edy Rahmayadi Untuk Sumut’, ‘Sumut Bermartabat’, ‘ Hati Edy Bersama Rakyat Sumut’, demikian istilah-istilah heroik yang memghiasi laman-laman dunia maya Indonesia dan Sumatera Utara beberapa bulan terakhir.

Dari strategi, cara berbicara, dan cara bertindak, memang bukan karena disebut-sebut oleh timnya dan sejumlah masyarakat Sumut yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan daerahnya, nampak bahwa tekad Edy Rahmayadi untuk membangun Sumut memang tidak main-main, tidak setengah hati, tidak ‘ketemu di jlan’, bukan mumpung lagi berkuasa, dan lain-lain, tapi memang mau membangun.

Saya baca di media sosial bahwa dia berkata: “Wewenang mengangkat dan membatalkan seorang prajurit pada satu jabatan di TNI adalah wewenang Panglima, itu betul, tapi itu satu soal. Namun ‘pengunduran diri saya telah diterima’ itu soal lain. Saya tetap istiqamah untuk membangun Indonesia dari Sumatera Utara”.

Hitung-hitung, kalau terus jadi Pangkostrad, jabatan paling seksi dan bergengsi dilingkungan TNI, apalagi dipromosikan jadi KASAD, tentulah cukup menawan dan membuat setiap prajurit terkesima. Tetapi, lagi-lagi saya baca dalam berita justru beliau mengatakan, “Doakan saya jadi Gubsu, bukan Kasad”. Tekad ini mengobati dahaga pengayoman sang pemimpin yang telah lama didambakan anak negeri ini.

Saya jadi teringat heroisme yang sering kita lupakan bahwa dalam misi beliau membangun peradaban dengan ridalah, Junjungan alam bukan tak diganggu dan diacak, ‘tokoh-tokoh dan elit politik ‘nasional’ Arab ketika itu terusik, mengapa anak pemberani bicara tentang martabat umat manusia di lorong kekuasaan kami sejak turun temurun? Mari kita gunakan ‘politik gula-gula’, “berikan hal yang mengksima agar niat diurungkannya”. Alih alih tokoh baru yang tak gila kekuasaan itu mengatakan: “Andaipun kau berikan mata hari di tangan kanan dan bulan di tangan kiri namun misi perbaikan martabat ini tidak akan berhenti”.

Kita jadi berpikir, rupanya darah aktifis yang telah lama tergerus, kini mengalir di tubuh serdadu, “Jika misi hidupmu adalah mencari kesuksesan, kuasa, rumah mewah, makanan cukup, usaha ada, maka bagi sang aktifis yang penting bukan urusan-urusan cetek seperti itu, tapi satu, “Bagaimana agar aku mati dengan tenang karena telah melakukan sesuatu yang berguna”.

Dalam suatu pertemuan beberapa tahun lalu, teman-teman berbincang tentang bagaimana membangkitkan Sumut yang kini tengah terpuruk? Mendengar perbincangan itu, Prof. Hatta, Guru Besar UINSU dan Ketua MUI Medan mengatakan: “Semua yang kalian perbincangkan itu akan terlaksana kalau Edy Rahmayadi pemimpinnya”. Saya menyela: “dalam hal apa Pak? ‘Dalam hal apa saja’, kata beliau.

Tentulah tidak bermaksud menolak perintah atasan kalau sang Jenderal yang mampu menunjukkan sikap paling sempurna dalam praktik langkah tegap bagi seorang tentara ini. Hingga berkali-kali Panglima TNI menyuruhnya menjadi komandan upacara untuk menunjukkan pada dunia bahwa di Indonesialah tugas berat dikombinasikan dengan seni. Itu terjadi pada diri Pak Edy. Tidak berlebihan, “akan menjadi hambar gambar siapa pun bila disanding dengan gambar Edy yang lagi langkah sempurna. Tetapi tekadnya untuk membangun Sumut tetaplah dalam tangka merealisasikan seluruh perintah atasannya.

Membangun Indonesia dapat dilakukan dari Sumut, daerah–yang sejatinya–penting di negeri ini. Tidak akan menurun popularitasnya bila dia membangun Indonesia dari Sumut. Bahkan sebaliknya, tekad ketua PSSI ini menjadi Gubernur sekaligus menjadi arena latihan untuk menjadi pemimpin nasional. Hal ini menjadi menarik karena langkah prajurit pemberani ini secara diam-diam menelusuri jalan Pak Joko Widodo, Presiden RI yang sebelumnya Gubernur DKI. Untuk itu hampir tak diragukan bahwa Bapak Presiden akan senang atau seharusnya suka dengan sepak terjangnya.

Tidak ada layaknya bila anak negeri ini menganggap rendah daerah dan anak-anak Indonesia yang tinggal di daerah, karena mereka adalah tokoh nasional bahkan tokoh internasional yang memilih tinggal di daerah. Superioritas orang pusat yang memandang daerah sebelah mata hanya gambaran dari kepicikan cara berpikir orang yang tak pernah tahu persis apa sebenarnya Indonesia.

Hitung-hitung, sudah terlalu lama yang mendampingi Presiden RI dari Jawa dan daerah Timur Indonesia. Kalau sebelumnya Yusuf Kalla, saudagar Muslim menjadi Wakil Presiden karena dasar-dasar ekonomi perlu dibenahi, maka kedepan yang mendampingi Presiden itu selayaknya dari Sumatera, dari Sumatera Utara, dan mata kita harus menoleh ke Pak Edy Rahmayadi. Selain kapabilitas dan kredibilitasnya, kita membutuhkan jiwa keprajuritan untuk mendampingi Presiden saat para pemimpin dunia lagi banyak yang ‘tenggen’ seperti sekarang ini.

Tidak berlebihan kalau dia adalah salah seorang anak bangsa yang berasal al dari Sumut, yang memiliki kapasitas dan kredibilitas setelah Jenderal Abdul Haris Nasution.

Jika jalan pikiran ini dapat diterimar, maka layak kita berseru kepada Indonesia,”Beri jalan bagi Edy Rahmayadi”. Pada saat yang sama kita berteriak pada anak-anak Indonesia yang berasal dari Sumatera, “Tuah-tuahilah daudaramu ini agar dapat membangun Indonesia dari Sumatera Utara”.

Sudah waktunya bahu membahu dalam membangun negeri, hindarkan mental jongos, saling menyudutkan dan mencekal. Hilangkah narcisme, perasaan akulah yang hebat, harus aku dan antek-antekku, dan lain sebagainya. Ketokohan tidak diukur seberapa lama kita bertengger di atas kekuasaan tetapi seberapa banyak kita berbuat untuk bangsa, untuk daerah dan kemanusiaan. Sekali lagi, memberi, bukan mengambil daerah sebanyak-banyaknya.

Menyapa dengan Lembut

Yang tampak bagi masyarakat umum, seorang Jenderal adalah yang berwibawa dan ketegasannya karena rakyat baru bangkit dari himpitan kolonialisme, dan saat ini kewibawaan itu juga dirindukan karena banyaknya orang yang gamang menghadapi berbagai himpitan, ancaman, dan tantangan yang ‘seabrek-abrek’ menggurita dirinya.

Tapi yang dapat kita baca dari Edy, bukan hanya ketegasan dan kewibawaan melainkan estetika dan kelembutan. Lihatlah langkah kaki sang prajurit ini yang membuatmu merasa lega, ‘rupanya masih ada pengayom yang selalu melindungi.’

Tegas, bahkan terasa strong saat bicara tapi lembut saat menyapa. “Lembut sekali bicara Jenderal Edy” kata Bang Bachtiar Hamzah, mantan Mentrri Sosial RI. Nggak percaya, cobalah telpon, kata beliau kepada sejumlah tokoh di Jakarta, pada suatu kesempatan.

Saat gelagat dunia sedang mengancam, ketika masa depan tidak menentu, nampaknya rakyat amat merindukan sang pengayom, bukan saja memiliki ketegasan tapi juga mampu menyuguhkan keindahan dan kelembutan.

Begitulah, beri jalanlah buat Edy, utamakan kemajuan negeri, dan lipat gandakan persatuan,?agar tidak saja kekuatanmu yang menggapai dunia tetapi telah menjadi kekuatan dahsyat karena terdiri dari ‘lidi-lidi kekuatan’ kita semua. Jika mengandalkan kekuatan sendiri menghadapi dunia global hampir tidak akan berarti, tetapi kebersamaan pastilah akan mengguncangkan dunia.

Penulis: Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA

Exit mobile version