Artikel

Analis Alutsista : Mengapa Indonesia Membeli Berbagai Merek

Oleh: Jagarin Pane

NUSANTARANEWS.CO – Modernisasi militer Indonesia yang terus berkibar sampai saat ini menunjukkan suasana pasar alutsista yang hiruk pikuk. Berbagai produsen alutsista menawarkan produknya dengan penuh gairah dan sang pembeli pun tergiur dengan berbagai merek yang ditawarkan. Dalam lima tahun ke depan suasana pasar yang begitu gempita akan memberikan gelora yang lebih hangat. Dan sang pembeli akan semakin tergoda dengan bujuk rayu pemilik merek untuk melirik dan memeluk produk mereka.

Marinir kita sudah punya alutsista MLRS (Roket Multi Laras) bermerek RM Grad buatan Ceko, jumlahnya tidak banyak. Lalu datang lagi yang bermerek Vampire juga buatan Ceko. Tidak apa-apa karena Vampire adalah edisi terkini serial MLRS. Tetapi kemudian dalam waktu berdekatan muncul lagi MLRS dari Norinco Cina. Mengapa tidak melanjutkan Vampire saja, termasuk kembali memperbanyak jumlah tank amfibi BMP3F yang jumlahnya baru mencapai 60 unit. Kalau Marinirnya mau dikembangkan sampai tiga divisi tentu perlu ratusan tank amfibi modern.

Demikian juga untuk kapal perang PKR Project 10514 bisa dilanjut untuk kapal perang ketiga sampai keenam. Ini kan proyek transfer teknologi yang sedang berjalan. Kasihan ilmu TOT nya kalau hanya sampai di kelas dua alias hanya dua kapal tok. Ilmu terapan belum bisa dibuktikan. Termasuk proyek kapal selam Changbogo dengan mekanisme serap teknologi dari Korsel. Kapal selam keempat dan seterusnya bisa dibuat para insinyur kita yang sudah bersusah payah menggalinya dalam pembuatan kapal selam pertama sampai ketiga.

Sambil menunggu proyek prestise jet tempur KFX/IFX selesai, selayaknya kita perbanyak Sukhoi SU35. Tidak cukup hanya delapan unit, minimal ada satu skadron alias 16 unit. Tidak usah tergiur merek lain yang banyak ditawarkan. Masih ada lanjutan pengadaan F16 blok 52id yang belum datang. Fokus itu saja, kalau mau ditambah Viper akan lebih baik. Jadi cukup Sukhoi Family dan F16 sebagai jet tempur utama.

Membeli banyak jenis alias merek dengan kuantitas terbatas akan menimbulkan kesan seolah-olah hanya ingin bergaya untuk parade militer. Banyak merek padahal kuantitasnya hitungan jari. Asisten pertahanan dari negara sahabat yang diundang dalam acara parade militer, sedikit banyak kan tahu dengan situasi dan kondisi ini. Jadi untuk apa bergaya kalau jeroannya sudah terang benderang.

oal Helikopter Agusta Westland AW101 yang heboh dua kali, mencerminkan suasana yang hangat “diantara sesama petinggi”. Presiden Jokowi menginstruksikan agar dilakukan investigasi mengapa proyek yang sudah dibatalkan setahun sebelumnya muncul kembali. Ini juga sebuah keanehan logika, sudah dibatalkan lalu kemudian mau datang lagi.  Kita sudah punya Super Puma, kita sudah pesan dan datang EC725 Caracal yang Combat SAR itu. Lalu untuk apa AW101.

Untuk urusan produksi Helikopter, PT DI baru sebatas merakit.  Ini beda dengan produk pesawat angkut CN235 yang terkenal itu. TNI AU memakai produk andalan PT DI ini bersama penerbangan sipil dalam negeri dan beberapa negara sahabat. Sayangnya produk ini tidak dimarketingkan secara terus menerus, dan bahkan TNI AU sudah beralih ke CN 295. Ini yang membuat Chappy Hakim mantan KSAU mengkritisi kinerja PT DI yang tidak optimal mengembangkan dan menghasilkan produk andalan, selain merakit. Jadi mirip peribahasa merakit -rakit selalu, berkembangnya kapan-kapan.

Kita masih membutuhkan kuantitas dan kualitas alutsista berteknologi terkini. Kita masih membutuhkan setidaknya 10 kapal perang jenis PKR 10514, maka tambahlah proyek transfer teknologi itu dengan cap made ini bangsaku. Kapal selam masih kurang banyak, maka buatlah lanjutan serial Changbogo dengan cap made ini negeriku. Ilmu transfernya sudah didapat, lalu buktikan. Kita sudah buktikan bisa buat kapal perang jenis LPD untuk militer Filipina, ilmunya kan dari Korsel.

Yang namanya produsen alutsista tentu giat dan aktif menawarkan produk unggulannya, itu sudah hukum pasar. Marketer mereka bersemangat mencari jalan dan celah untuk bisa menembus desicion maker. Pintunya adalah pendekatan dan kedekatan personal, aromanya parfum komisi alias gizi penunjang aktivitas. gelora rayu dan ramah senyum adalah bagian dari dinamika itu. Sementara bagi pembeli ada koridor rambu yang harus ditaati.

Salah satunya adalah UU No16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.UU itu menyebut terang bahwa pengembangan industri pertahanan merupakan bagian terpadu dari perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Negara. Jadi tugas pemerintah adalah bertanggungjawab membangun dan mengembangkan industri pertahanan agar berdaya saing.

Bisa diproduksi sendiri, pakai buatan sendiri, contohnya Panser Anoa, Badak, Kapal Cepat Rudal, LPD, CN235. Kerjasama produksi yang sedang berjalan contohnya PKR10514 dan Changbogo.  Belum bisa buat, beli bekas seperti MBT Leopard, Tank Marder, F16 dan Hercules. Tapi kemudian tiba-tiba muncul ratusan kendaraan lapis baja M113 dan beberapa unit Bushmaster. Lalu bagaimana kelanjutan Panser Anoa dan Badak kalau dasarnya adalah UU No 16 tahun 2012. Apalagi Pindad sedang mengembangkan Tank medium.

Anggaran besar Kemhan adalah madu dan magnet bagi produsen alutsista. Namun penggunaan dan pengembangan industri pertahanan strategis adalah tugas bersama mengolah dan mengelolanya. Godaan produsen luar negeri yang genit bisa diatasi dengan model pengadaan transfer teknologi dan imbal jasa.  Tetapi penyederhanaan merek perlu diimplementasikan agar tidak timbul kesan terjadi faksi salesman di pintu pengadaan alutsista. Beli sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan, kata Presiden. Jelaskan? (analisalutsista/04 Januari 2017)

Related Posts

1 of 16