Cerpen: Ferry Fansuri
NUSANTARANEWS.CO – Sarmin terus berlari didalam gelapnya malam, anak sekecil itu menembus dinginya malam. Malam itu jadi peristiwa yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya, saat itu anak umur 10 tahun ini menghantam kepala Dulmatin preman bromocorah dengan martil. Hantaman itu membuat mata kiri preman itu hampir hancur berceceran darah, Sarmin naik pitam ketika Dulmatin mau menggagahi Kantil bocah perempuan seusianya.
Kantil memang teman sepermainan sejak kecil, keduanya yatim piatu dan menjadi gelandangan jalanan ibukota. Sampai akhirnya mereka ditemukan Dulmatin dan dibawa ke tempat penampungan kaum kumuh di bawah jembatan. Dulmatin mendidik mereka dengan mengemis, ngamen untuk berharap belas kasihan orang.
Sarmin selalu bersama dengan Kantil bagai pengantin kecil menyusuri kerasnya jalannya Jakarta.Terkadang ngamen, mengumpulkan botol bekas atau berjualan koran terbit pagi dijual sore harinya. Mereka tampak menikmati pekerjaannya, hujan tidak membuat mereka mengeluh karena mereka itu anak kecil yang sedang bermain dan jalanan adalah tempat bermain mereka.
Tapi Dulmatin tak begitu suka akan kedekatan Sarmin ke Kantil, preman bertubuh gempal ini mengganggap Kantil adalah aset masa depan. Jika beranjak dewasa dan ranum, Kantil akan diserahkan ke Mami Noya untuk didik jadi pelacuran apalagi harga PSK anak-anak selangit di pasar hidung belang.
Malam itu Kantil saat tertidur diseret Dulmatin ke kamar gubuk reyotnya dibawah jembatan, mulut berbau alkohol dan diambang sadar. Napsu berahi sudah diatas ubun, seperti dendam harus dibayar tuntas, berahi harus dilampiaskan dan Kantil jadi medianya. Anak perempuan sekecil itu akan jadi korban per sekian catatan negara tentang kekerasan seksual pada anak.
Kantil meronta-ronta saat dipegang Dulmatin, membayangkan hal yang mengerikan yang akan menghantuinya seumur hidup
“Diam kau bocah, jangan teriak jika ingin selamat !” tangan kanan menampar keras pipi kiri Kantil.
Seketika itu Kantil tak sadarkan diri, ini memudahkan Dulmatin menggerayangi tubuh bocah ini. Saat Dulmatin berusaha melepas celananya untuk segera melampiaskan hasratnya.
“Plaaakk..!!” Dulmatin mengaduh-aduh dengan memegangi mata kiri yang sobek hancur bercucuran darah.
Pukulan keras itu dari martil yang diayunkan Sarmin ke wajah Dulmatin.
“Aouuuhhh..kurang ajar kau Sarmin !” Dulmatin mengerang-erang tak karuan seperti cacing kepanasan sambil memegang mata kiri yang hancur itu.
Sarmin hanya berdiri diam dengan tangan gemetar memegang martil itu, perlahan melepas benda yang bersimbah darah Dulmatin. Sarmin mematung seperti orang linglung tak sadar jika yang dihajar itu Dulmatin-preman paling ganas area kolong jembatan Ibukota.
Berbareng ini Kantil siuman dan melihat Sarmin “Lari min..lari Sarmin” suaranya lirih itu membangunkan lamunan kesadaran Sarmin. Sedetik itu Sarmin berbalik dan terus berlari dan berlari dengan rasa ketakutan
“Larilah..Min lari yang jauh Sarmin !.Peristiwa ini tidak akan kulupakan dan akan kucarikan kau sampai ke neraka sekalipun. Kau harus membayar semua ini” teriak Dulmatin gema membahana seantero kolong jembatan tempat para kaum duafa tersebut.
Suara itu terus menjauh bersamaan Sarmin menghilang dalam kegelapan malam.
***
Sarmin menumpang kereta api ekonomi di Senen, di sudut gerbong dia meringkuk dan menggigil kedinginan. Ketakutan menjalar di seluruh tubuhnya, ketakutan bahwa Dulmatin akan mengejarnya dan menghajar habis-habisan jika ketangkap. Terbayang wajah Kantil dan nasibnya tapi Sarmin tidak bisa kembali kesana setidaknya bukan di Jakarta. Dia harus pergi sejauh mungkin dan tidak kembali.
Didalam dingin malam dan basah kuyub, Sarmin teringat akan Kantil. Bahwa teman kecil sepermainan yang dia tinggal, pernah suatu ketika Sarmin berjanji membawa Kantil jalan-jalan melihat Indonesia beserta tempat wisatanya.
“Benar Min? kamu nggak bohong khan” soraknya
“Pasti Kan, jika aku punya uang yang banyak kita akan keliling Indonesia. Melihat yang indah-indah seperti buku ensiklopedia itu” bangga Sarmin.
Sarmin dan Kantil sempat membaca buku ensiklopedia yang mereka temukan di tempat sampah saat mengais sampot botol bekas. Dalam buku itu mereka disuguhkan tempat-tempat indah seperti Papua, Jogja, Bali dan semua wisata yang belum pernah mereka lihat. Karena selama ini yang dilihat di Ibukota hanya semerawut lalu lintas, banjir serta manusia-manusia busuk mengais dengan menghalalkan segala cara.
Dan janji itu harus ditepati bisik Sarmin
***
Kereta ekonomi itu tak tahu kemana membawa Sarmin, dia tak peduli terpenting jauh dari Dulmatin dan kebusukan Ibukota. Tapi perih harus meninggalkan Kantil diperas dan peram Dulmatin preman bajingan itu. Setelah ini Sarmin mengikuti takdir untuk kelilingi Indonesia tanpa Kantil, kereta yang membawanya berhenti di Lempuyangan. Disini awal hidup Sarmin untuk melupakan masa lalunya dan mengobati ketakutan.
Malioboro jadi tempat mengais rejeki, mulai mengemis, ngamen dan mengumpulkan koran bekas. Hanya berbekal kaos oblong lusuh, celana pendek dan sandal jepit itu Sarmin berjuang tetap waras. Hasil 5 ribu atau 10 ribu cukup membeli sego kucing di angkringan jaman rezim Soeharto, malamnya tidur di emperan Beringharjo. Sarmin tidak akan mencuri karena teringat pesan emaknya “Nak, saat kau lapar jangan ambil hak orang lain. Carilah rejekimu sendiri” pesan terakhir emaknya saat ditinggal mati dan bapaknya entah kemana
Selama di Jogja, Sarmin menemukan lingkungan mau menerima dirinya. Sesekali membantu mbok-mbok penjual gudeg pada malam hari, paginya ikut membantu mengirim bakpia ke toko oleh-oleh. Bergaul dengan para seniman kota gudeg, rumah singgah jadi rumah keduanya. Sarmin juga blusukan ke Sarkem untuk menjadi guide bule-bule, ketrampilan bahasa Inggris makin cakap setelah Sarmin sering nongkrong di pasar buku Sriwedari membaca buku gratis biarpun sempat mengenyam pendidikan dasar tapi putus tengah jalan. Pastinya pundi-pundi rupiah bertambah di kantung celananya tapi Sarmin tetap terasa kosong.
Merasa kota Jogja sudah cukup memberinya hidup, Sarmin bertualang lagi dengan hasil kerja serabutan. Sambil menyandang tas ala backpacker, Sarmin menumpang kereta di Tugu menuju pulau dewata. Dia ingin mewujudkan mimpi melihat indahnya nusantara ini, mungkin nanti jika ketemu Kantil akan diceritakan.
Melihat kota-kota yang tidak pernah Sarmin ketahui, turun di Surabaya sampai menyeberang di Gilimanuk. Kemampuan cakap Inggris yang diolah waktu di Jogja jadi senjata waktu Sarmin mendarat di Kuta. Mendatangi bule-bule oestrali, menawarkan untuk jadi guide atau sekedar bergaul dengan beach boy lokal. Kemudahan bergaul tak sulit mendapatkan kerja di Bali dengan usia sekecil itu. Menumpang tidur di kenalannya sewaktu di Jogja dapat menghemat pengeluaran. Mengelilingi bumi para dewa dengan eksotis didalamnya.
Pengembaraan Sarmin berlanjut ke puncak cakrawala Tengger, sambil berlari mengejar kuda tuirs di pasir savana Bromo. Langkah-langkah telanjang kecilnya itu demi mendapatkan segenggam rupiah untuk mengisi perutnya. Hampir tiga tahun Sarmin berkelana mencari ketenangan dari kegelisahan selama ini. Suatu malam di tepi kawah kaldera melihat kemeriahan uparacara Kasodo, Sarmin duduk termenung diam memandang kosong. Bukan memandang masyarakat Tengger larung sesajen tapi asap yang keluar dari kaldera yang berubah dengan wajah Kantil.Sarmin merasa rindu akan dirinya, bagaimana keadaaannya dan janjinya pada Kantil. Kegelisahan itu terus tergerus beriringan malam jatuh diufuk pagi.
***
Siang itu Sarmin turun dari peron stasiun Gambir,tujuannya mencari informasi semua hal tentang Kantil. Tapi suasana Jakarta tidak seperti ia lihat, lebih buruk dari terakhir kali Sarmin tinggalkan. Dimana-mana ban dibakar, suara-suara saling beradu, spanduk hujatan rezim terpampang dipojok-pojok kota dan toko-toko luluh lantak.
Bulan Mei itu Sarmin berkeliaran diarea Slipi, Grogol dan Senayan menanyakan sesama gelandangan keberandaaan Kantil. Dari kenalan pengamen jalanan Si Sarmin mendapatkan info bahwa Kantil ada di Kalijodo. Bergegas Sarmin dengan sedikit berlari tapi saat berhenti dekat Harmoni, dari ujung gang muncul gerombolan beringas tak tahu dari mana asalnya. Sekejab showroom mobil dan toko sekitar jadi ladang api, Sarmin ada didalam para penjarah itu, suara-suara teriakan dan asap memenuhi rongga paru-parunya.
Tiba-tiba Sarmin tidak sadarkan diri, sebuah popor senapan menghujan tengkuknya. Gerombolan penjarah itu kalah kabut akan datangnya polisi, Sarmin jadi korban pertama. Tersungkur diatas kerasnya aspal, matanya sayup-sayup melihat serbuan maut polisi menghantam penjarah kocar-kacir ke segala penjuru. Sebelum pingsan, Sarmin sempat meraih sesuatu yang jatuh dari hura-hara itu.
***
Remang-remang lampu kafe dilorong lokalisasi terpadat di Ibukota tak menyurutkan keasyikan syahwat dengan hura-haru diluar sana. Tak peduli akan kondisi kota yang mulai membusuk karena disini asal mula kebusukan bermula. Sarmin terus merangsek dengan kepala masih pening berdarah, dalam tempurung hanya untuk bertemu Kantil.
Bertanya kesana kemari ternyata Kantil primadona di Kalijodo, seorang tukang ojek menunjukkan wisma diujung gang bahwa Kantil bekerja. Sarmin masuki wisma tanpa hiraukan bodyguard seperti mengenalku tidak mencegah hanya memencet tuts hape usangnya menghubungi seseorang diujung sana, Sarmin terus teriak nama Kantil seantero wisma.
“Hei bocah, apa mau kamu. Teriak-teriak ditempatku” seoarang wanita gembrot menghardik Sarmin
“Mana Kantil? Mana Kantil? “ Sarmin bertanya berulang-rulang dengan nada keras
“Mau apa kau dengan Kantil ?. Dia primadona disini, lagi melayani pelanggan”
Sarmin mendorong wanita tambun itu sampai jatuh sambil mengancam akan mencongkel matanya. Wanita itu ketakutan hanya mengarah telunjuk jarinya ke kamar ujung lorong, bergegas menuju kamar yang ditunjuk.
Tapi kunci kamar terkunci, Sarmin hanya bisa melihat dari lubang kunci. Melihat seorang anak perempuan seumurnya sedang dilucuti pria hidung belang. Tak sempat pria itu melepaskan lingga kemaluannya, pintu kamar didobrak Sarmin hingga mengeluarkan suara gaduh.
“Bangsat !! jangan kau sentuh Kantil” Sarmin menghantam botol miras di meja ke kepala pria hidung belang sampai mengaduh-ngaduh berdarah-darah di sudut kamar mengerang kesakitan.
“Sarmin..apakah kau Sarmin? anak perempuan itu memandang si Sarmin
“Kau datang untuk menempati janjimu kepadaku. Kau kembali untukku” lelehan airmata menetes dimatanya
Sarmin hanya mengulurkan tangannya ke anak perempuan yang belepotan dandanan menor tapi diarah pintu terdengar suara serak yang ia kenal.
“Oh Sarmin…Sarmin mau kau bawa kemana gadis kesayanganku itu..sudah kubilang dulu Kantil aset masa dapan dan mesin uangku”
Suara itu dan wajah tak asing bagi Sarmin, hanya terlihat beda ada codet pada mata kiri terlihat sedikit buta.
“Bekas luka itu oleh-oleh dari kamu dulu, tak akan aku lupakan kejadian kemarin” Dulmatin mengelus wajahnya sekejab mata kanan memerah menahan amarah purba yang dibendungnya.
“Lama kau kucari tapi kau datang sendiri demi gadis tengil ini”kekehnya sambil mengeluarkan kelewang parang dibalik bajunya siap menebas Sarmin.
Sarmin bukan anak kecil kemarin sore ketakutan, dia sudah melawan rasa takut dengan kebencian terhadapa Dulmatin. Dia mengeluarkan sesuatu yang diambil waktu kerusuhan tadi, sebuah piston revolver standar polisi
“Hei Sarmin .Jangan main-main kau Sarmin, itu benda berbahaya” Dulmatin bergetar dibawah todongan revolver itu dan tahu akan kenekatan Sarmin jika itu meletus di kepalanya
“Berlutut kau !!” teriak Sarmin sambil mengokang ujung pelatuk pistol revolver itu
“Sarmin..tenang..kita bisa bicarakan masalah ini. Anggap masa lalu kita lupakan, hapus yang lalu memulai yang baru” sodor Dulmatin sambil berlutut meletakkan parangnya perlahan.
“Tak akan lupa ? hah..maaf ,Dulmatin kamu yang harus melupakan semua ini. Bukan aku”
Revolver itu menyalak keras, peluru menghajar kepala Dulmatin hingga tersungkur dilantai bersimbah darah
Sekejap Sarmin menarik tangan Kantil dan keluar dari tempat busuk itu. Berlari sejauh mungkin.
Pekanbaru, Januari 2017
Simak: Bangkai Pesawat yang Menimpa Kami
Ferry Fansuri, kelahiran Surabaya adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Pernah bergabung dalam teater Gapus-Unair dan ikut dalam pendirian majalah kampus Situs dan cerpen pertamanya “Roman Picisan” (2000) termuat. Puisi-puisinya masuk dalam antalogi puisi festival puisi Bangkalan 2 (2017) dan cerpen “pria dengan rasa jeruk” masuk antalogi cerpen senja perahu litera (2017). Mantan redaktur tabloid Ototrend (2001-2013) Jawa Pos Group. Sekarang menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional. Dalam waktu dekat menyiapkan buku antalogi cerpen dan puisi tunggal.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].