Artikel

Ambruk Dalam Kemelut Ekonomi Global

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng. (Foto: Ahmad Hatim/ NUSANTARANEWS.CO)
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng. (Foto: Ahmad Hatim/ NUSANTARANEWS.CO)

Oleh : Salamuddin Daeng*

Dunia Dilanda Ketidakpastian

Kondisi ekonomi global dewasa tengah menghadapi resiko yang besar berupa tantangan sistemik, ketidakpastian, ketidakstabilan dan bahkan kerapuhan. Sangat sulit bagi dunia untuk memandang jauh ke depan mengenai arah perubahan yang lebih baik, padahal perubahan sedemikian cepat. Namun sebaliknya yang terjadi adalah semua pihak mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang chaos.

Krisis yang melanda ekonomi dunia dewasa ini, yang terjadi secara beruntun dalam tempo cepat sejak krisis Asia 1998, krisis Amerika dan Eropa 2008, krisis utang China 2014, telah menimbulkan pemikiran untuk meninggalkan kapitalisme, pasar bebas dan memperkuat solidaritas antar Negara dalam menghadapi keadaan yang sulit yang bisa dengan tiba tiba menghantam.

Simak:

Kerjasasama multilateral dalam rangka perdagangan bebas tampaknya akan berakhir. Dengan demikian maka organisasi yang selama ini menjadi motor penggerak perdagangan bebas seperti World Trade Organization (WTO) berada di ambang pembubaran. Bagaimana tidak sebagian besar kesepakatan penting yang telah dihasilkan tidak dapat dan tidak mau dijalankan oleh Negara Negara maju.

Malah yang terjadi sebaliknya yakni menguatnya proteksionisme khususnya di Negara Negara yang menjadi kekuatan utama ekonomi global. Amerika Serikat menyatakan pembubaran Trans Pacifik Partnership (TPP), Inggris menyatakan keluar dari zona perdagangan bebas Uni Eropa (Brexit). Perang mata uang yang dilanjutkan dengan perang dagang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat terhadap negara negara yang mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat khususnya China dan termasuk Indonesia.

Ketidakpastian global semakin meningkat akibat perubahan tatanan politik Negara Negara yang selama ini memasarkan kapitalisme. Negara Negara yang menjadi penentu dalam perekonomian telah kembali kepada kebijakan yang proteksioneisme dan mengunakan segala macam cara untuk menyelamatkan ekonomi masing masing.

Sementara utang Negara Negara meningkat dengan pesat. Negara Negara miskin sudah berada pada posisi yang tidak sanggup membayar bunga dengan pedapatan mereka. Liquiditas global semakin sulit, suku bunga semakin tinggi. Krisis yang melanda Turki, Argentina dan juga diperkirakan akan melanda Indonesia, India dan Malaysia adalah bagian dari masalah yang sama.

Pada bagian lain sebagai hasil dari kebijakan kapitalisme pasar bebas yang menghasilkan ketimpangan ekonomi yang semakin ekstrim. Kekayaan dunia semakin terkonsentrasi si tangan segelitir orang, sementara mayoritas manusia menghadapi masalah kemiskinan, kelaparan. Daya beli yang rendah telah membuat ekonomi semakin kehilangan harapan untuk pulih.

Pelemahan Ekonomi Global Berlanjut

Pelemahan ekonomi global terus berlanjut. Harga minyak sembagai unsure pengerak utama ekonomi belum menunjukkan tanda tanda akan pulih. Persahaan perusahaan yang bergerak dalam menggali bahan mentah tambang dan minyak sekarat oleh utang yang besar dan harga komoditas yang melemah dalam jangka panjang.

Pertumbuhan global yang rendah dan menurun dalam jangka penjang. Ekonomi Emerging market dan Negara berkembang hanya tumbuh 4.7% tahun ini, menurun dari dari 7.4% pada awal tahun 2010. Demikian juga kelompok Negara maju tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini hanya 2.4 % menurun dari menurun dari 3.1% dibandingkan tahun 2010. Secara umum pertumbuhan ekonomi dunia menurun dari 5.4% menjadi 3.7 % pada awal tahun 2018

Negara Negara yang selama satu decade terakhir menjadi penopang pertumbuhan global yakni China telah mengalami kemerosotan yang sangat dalam. Pemerintah China mengumumkan ekonomi tahun ini hanya tumbuh 6.5 percent sampai dengan kwartal ketiga akhir September 2018. Padahal pada Tahun 2010 kwartal pertama ekonomi China masih tumbuh 12.2%, selanjutnya q1 2014 sebesar 7,4%.

Penurunan dalam pertumbuhan ekonomi global merupakan masalah besar yang mencerminan menurunnya kemampuan ekonomi Negara dan perusahaan. Keadaan ini berdampak langsung pada penerimaan Negara dan pendapatan perusahaan. Penurunan dalam pertumbuhan ekonomi berarti menurunya kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja, tekanan terhadap tingkat upah, dan mendorong kemungkinan yang besar peningkatan pajak yang dibebankan kepada masyarakat.

Utang Global Meningkat

Utang global meningkat dengan pesat dalam satu decade terakhir. Ini merupakan peningkatan lebih lanjut setelah krisis keuangan melanda Amerika Serikat dan Eropa 2008 lalu. Utang global meningkat mencapai $247 trillion pada kwartal pertama 2018, dan utang sektor non-financial mencapai $186 trillion.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Jika dibandingkan dengan gross domestic product (GDP) maka rasio utang global mencapai 318 percent. Laporan oleh Institute of International Finance (IIF) mengatakan bahwa utang perusahaan dan rumah tangga di banyak pasar negara maju mencapai rekor tertinggi.

Dua pasar terkemuka yakni AS dan China merupakan pencetak utang terbesar. Utang AS adalah jumlah seluruh utang terutang yang dimiliki oleh pemerintah federal melebihi $ 21 triliun pada 15 Maret 2018. Pinjaman China naik 14 persen pada tahun 2017, membengkak menjadi 266 persen dari produk domestik bruto, dari 162 persen pada tahun 2008.

S & P Global memperkirakan bahwa pemerintah lokal China membawa sebanyak $ 6 triliun dalam utang yang tersembunyi dalam tubuh pemerintah. Pemerintah daerah mungkin telah mengumpulkan tumpukan utang yang tersembunyi dari neraca mereka setinggi Rmb30tn ke Rmb40tn ($ 4,3tn menjadi $ 5,8tn) menyusul pertumbuhan pinjaman yang yang dibut “merajalela”, mencapai 60 persen dari produk domestik bruto China.

Negara Negara Eropa menghadapi masalah utang pemerintah yang mengkhawatirkan. Dimulai dengan Yunani yang paling besar dengan utang mencapai 180 persen GDP, Italy 131 persen GDP, Portugal sebesar 127% GDP, Spanyol, Francis, Inggris diatas 90 persen GDP. tahun tahun mendatang Uni Eropa dibayang bayangi oleh krisis yang mungkin melanda Italy.

Utang yang besar yang dihadapi oleh Negara Negara maju dan Negara yang menjadi penggerak utama ekonomi dunia dewasa ini memicu terjadi perang suku bunga dalam rangka mendapatkan pinjmana baru. Ditengah ekonomi yang melemah utang merupakan satu satunya sandaran utama. Kondisi ini akan menambah para utang di masa depan, dan akan memicu krisis keuangan di Negara Negara berkembang yang juga semakin adiktif dengan utang dalam rangka mengjar ambisi pembangunan.

Indonesia Dalam Krisis Utang

Utang Pemerintah meningkat pesat selama pemerintahan Jokowi. Peningkatan hampir separuh dari utang Pemerintah yang pernah terbentuk sepanjang sejarah Indonesia sampai dengan tahun 2014 ketika Jokowi dilantik. Pemeintah mengatakan utang baru hanya cukup bayar bunga dan cicilan.

Tentu saja! Bayangkan sekarang, Lebih dari Rp 810 triliun akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019 sebagaimana data Kementerian Keuangan. Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Manajemen Risiko Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa Rp 390 triliun akan jatuh tempo pada 2018 dan Rp 420 triliun pada 2019.

Nilai ini tentu dapat berubah tergantung pada perkembangan kurs. Sementara nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terus melemah. Tahun ini, rupiah telah menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di kawasan ini, yang analis telah dikaitkan dengan defisit neraca berjalan saat ini dan kekacauan di pasar negara berkembang yang disebabkan oleh krisis lira Turki.

Ada beberapa penyebab pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sejak tahun 2015 sampai dengam akhir tahun 2018 keadaan neraca eksternal Indonesia (dihitung berdasarkan kurs Rp 14.000 /USD sebagai berikut:

1. Terjadi defisit neraca transkasi berjalan secara akumulatif senilai Rp. 727,9 triliun. Rp. 727,9 triliun. Jika ditambah defisit Q1 2018 maka defisitmya mencapai Rp.805,5 triliun.

2. Terjadi defisit perdagangan migas secara akumulatif mencapai Rp.249,5 triliun. Jika ditambah defisit Q1 2018 maka nilai defisit mencapai Rp.282,6 triliun.

3. Terjadi defisit dalam transkasi jasa jasa secara akumulatif mencapai Rp. 330,5 triliun. Jika ditambah defisit Q1 2018 maka nilai defisit mencapai Rp.350,5 triliun.

4. Terjadi defisit pendapatan primer secara akumulatif mencapai Rp. 1.274,1 triliun. Jika ditambah defisit pada Q1 2018 maka nilai defisit mencapai Rp. 1.384,5 triliun.

Ditambah lagi dengan defisit permamen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang berkisar antara 2 persen sampai dengan 3 persen dari PDB, yang mengakibatkan Indonesia berada dalam kwarto defisit, yakni defisit permanen dalam neraca eksternal dan defisit permanen dalam APBN.

Kondisi defisit dalam APBN yang selalu ditambal dengan utang baru menyebabkan utang pemerintah terus meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data bank Indonesia utang pemerintah sampai dengan tahun 2018 pada tingkat kurs 15.000/USD mencapai Rp. 4,637,200, yang terdiri dari utang luar negeri pemerintah senilai Rp. 2,695,9 triliun dan yang bersumber dari surat utang Negara mencapai Rp. 1,941,27 triliun.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Kepemilikan asing yang tinggi pada obligasi ditambah dengan utang USD perusahaan Indonesia yang meningkat juga membuat (rupiah Indonesia) cenderung lebih lemah,” Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank, mengatakan kepada salah satu media. Negara, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki sekitar 41 persen utang pemerintah dalam mata uang asing, menurut Moody’s. Jika rupiah terdepresiasi lebih lanjut, maka utang itu akan lebih mahal untuk dibayar kembali.

Masalah Yang Dihadapi Pemerintah

Beban bunga internasional meningkatnya suku bunga internasional, indoneisa bisa dapat utang dengan bunga makin mencekik. Untuk bayar bunga sekarang aja sudah setara dengan jumlah uang beredar di dalam negeri.

Beban kurs yang semakin mencekik. Penurunan nilai tukar rupiah terhadap USD akan meningkatkan utang berkali kali lipat. Sementara kurs mengarah ke 20 ribu per USD, dikarenakan defisit neraca eksternal permanen. Oktober 2017 Nilai tukar rupiah terhadap Rp 13.614, skarang niali tukar rupiah terhadap Rp. 15.200 /USD atau telah merosot sekitar 12%.

Beban bunga dalam negeri yang kian menjerat leher. Bank bank sudah memasang bunga 14 persen di 2019. Rakyat sudah menjerit. Perusahaan, rakyat tidak akan bertahan lama dengan bunga mencekik. Karema oada saat yang sama harga harga sudah melilit usus.

Harga minyak mentah (crude oil) menurun padahal merupakan salah satu sumber penerimaan Negara paling penting. Pada saat yang sama produksi minyak mentah nasional rendah dan menurun.

Ancaman Jatuhnya Utang Swasta

Sri Mulyani atas nama pemerintah menyatakan lemahnya rupiah menguntungkan APBN. Namun bagi perusahaan swasta, pelemahan rupiah adalah bencana bagi perusahaan-perusahaannya.

Mengapa demikian? Bagi korporasi pelemahan rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan tiga hal :

Pertama, penguatan nilai mata uang dolar disebabkan oleh peningkatan terlebih dahulu suku bunga global khususnya Bank Centeral Amerika Serikat. Akibatnya, beban bunga utang korporasi meningkat.

Kedua, meningkatnya utang perusahaan dalam dolar AS berkali-kali lipat jauh dibandingkan nilai utang yang telah mereka investasikan sebelumnya dan hasil yang mereka terima dalam mata uang rupiah yang terus merosot.

Ketiga, pemelahan nilai tukar rupiah memicu peningkatan suku bunga di Indonesia, yang mengakibatkan utang perusahaan meningkat kepada bank nasional. Dengan demikian perusahaan telah menerima pukulan bertubi tubi dari pelemahan kurs dan mendapat pukulan kembali dari suku bunga yang meningkat di dalam negeri.

Sebagaimana diketahui bahwa swasta Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak sekali membuat global bond dalam rangka menopang bisnisnya di semua lini. Bagi perusahaan itu hal biasa. Semakin mudah mendapatkan utang, maka itu berarti bisnisnya makin dipercaya. Semakin laris surat utangnya, berarti mencerminkan usahanya sedang jaya.

Lihat Tabe Utang Luar Negeri Indonesia Pemerintah dan Swasta (Sumber : Bank Indonesia)

Namun sehat atau tidaknya posisi keuangan swasta sangat ditentukan oleh kondisi stabilitas moneter yang berada dalam domain pemerintah. Jika kondisi moneter stabil, maka perusahaan bisa terus berjaya. Sementara jika stabilitas moneter terganggu, maka bisa menjadi neraka bagi perusahaan.

Itulah yang terjadi pada berbagai perusahaan di bidang tambang, perkebunan, industry, infrastruktur dan property d Indonesia Pada tahun 2015 perusahaan menderita akibat pelemahan rupiah yang saat itu mencapai kondisi terburuk sepanjang tahun pada posisi Rp 13.800 per dolar AS. Sebagaimana yang terjadi pada Lippo, seluruh keuntungan dari bisnis rumah sakit dan lain-lain disapu oleh utang sektor properti. Peringkat keuangan Lippo jatuh sejak saat itu. Sekarang Lippo menghadapi masalah yang lebih serius dengan keuangan Meikarta, Bayangkan saja kurs sekarang Rp. 15.200 per USD dan mengarak ke 16.000/USD. Akan banyak perusahaan swasta dalam sektor properti, tambang, dan BUMN yang akan berada dalam satu kontingen dengan Lippo dikarenakan oleh pelemahan nilai tukar.

Masalah Yang Dihadapi Oleh Rakyat

Pada awal pemerintahan Jokowi Indonesia menghadapi ekonomi yang anomaly yang ditandai dengan kenaikan harga harga harga atau iflasi yang relative tinggi sementara pada saat yang sama daya beli masyarakat menurun. Ini tentu tidak lazim, karena kenaikan harga harga terjadi karena adanya kenaikan dalam permintaan atas barang dan jasa jasa.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Mengapa bisa terjadi ? kenaikan harga harga barang dan jasa terutama dipicu oleh kenaikan harga harga dan tariff yang ditetapkan pemerintah seperti listrik, bbm, cukai dll. Kebijakan menetapkan kenaikan dalam harga kebutuhan dasar masyarakat tersebut, kurang memperhitungkan aspek kenaikan dalam pendapatan.

Sekarang daya beli masyarakat melemah, dan inflasi rendah. Ini masuk akal, sekaligus menunjukkan bahwa ekonomi benar benar melemah dan daya beli sudah tidak baik. Pelemahan dalam daya beli masyarakat tersebut justru menjadi pukulan balik bagi sektor perusahaan dan pemerintah. Selama ini pertumbuhan ekonomi dikonribusikan lebih dari 50% oleh konsumsi masyarakat. sehingga pelemahan ini menjadi tekanan terhadap penerimaan perusahaan yang pada ujungnya juga menjadi tekanan terhadap penerimaan Negara dari pajak.

Kondisi makro ekonomi yang semakin buruk ditandai dengan semakin langkanya lapangan pekerjaan. Pada sisi laing lain tingkat upah terdorong turun dibandingkan dengan kenaikan harga energy, suku bunga yang tinggi dan meningkatnya beban keuangan perusahaan yang dialihkan kepada pekerja.

Masalah terbesar yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang adalah kemiskinan yang semakin tinggi. Walaupun Badan Pusat Statistik (BPS) negara ini mencoba mensiasati dengan mengubah idikator kemiskinan menggunakan indikator extreme poverty dalam mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, yakni 1,9 dolar purchasing power parity (PPP). Indikator mengukur kemiskinan untuk kelompok negara paling miskin. India dan Brazil menggunakan indikator kemiskinan 3,20 dolar PPP. Bahkan Afrika Selatan menggunakan Indikator 5.50 dolar PPP. Malaysia yang bukan anggota G20 menggunakan indikator 5.50 dolar PPP. Sementara Amerika Serikat menggukan indikator 21.7 dolar PPP.

Anomaly yang lain tentang peningkatan angka kemiskinan ditunjukkan oleh meningkatnya alokasi APBN dalam dana bantuan sosial. Dalam RAPBN 2019 Pemerintah manyatakan ada 40 persen penduduk termiskin di negara ini yang akan menjadi sasaran program perlindungan sosial termasuk di dalamnya program bantuan sosial (bansos) pada tahun anggaran 2019.

Nilai dana bansos ini meningkat fantastis. Sebanyak 40% penduduk termiskin tersebut dihubungkan dengan rancangan dana perlindungan sosial termasuk didalamnya dana Bantuan Sosial yang meningkat dari Rp. 287,0 triliun (Tahun 2018) menjadi Rp. 381,0 triliun (tahun 2019) hampir mencapai Rp. 100 triliun. Ditegaskan lebih lanjut dalam dalam RAPBN 2019 tersebut bahwa Penerima Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah untuk memberikan jaminan perlindungan sosial khususnya bagi 40% penduduk termiskin di negara ini.

Anggaran bantuan sosial apa saja yang mengalami kenaikan fantastis? Program Keluarga Harapan (PKH) meningkat dua kali lipat pada tahun depan menjadi Rp 34,4 triliun. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2018 yang hanya Rp 17 triliun . Selain itu ada pos alokasi belanja lain-lain meningkat dari 38,6 triliun pada 2018 menjadi Rp 106 triliun pada RAPBN 2019 (apa iya pemerintah dan DPR tidak tau mau belanja apa sebesar Rp. 106 triliun? Sehingga harus bernama anggaran lain lain).

Siapa 40% penduduk termiskin? Ini tentu diketahui dari jumlah penerima Bansos yakni; Penerima Bantuan Iuran (PBI) 96.8 juta Jiwa, Program Keluarga Harapan (PKH) 10 juta keluarga atau mecakup 40 juta jiwa (asumsi 4 orang per keluarga), Bantuan Sosial Pangan Non Tunai (BPNT) 15,6 juta jiwa. Berapa jumlah penduduk Indonesia ? 261 juta jiwa. Berapa 40 % dari jumlah penduduk tersebut? 104 juta jiwa. Jika mengacu pada data data tersebut, maka bisa jadi benar menurut versi RAPBN 2019 jumlah penduduk miskin Indonesia paling sedikit 104 juta jiwa atau paling sedikit 40% dari jumlah penduduk. Kemiskinan akhirnya diatasi dengan Bansos bukan dengan industrialisasi, penciptaan lapangan pekerjaan, pendapatan yang layak dan upah yang tinggi. Cara yang kurang lazim. Uangnya pun tidak cukup di APBN. Jadi ini adalah rencana kosong, untuk membalut angka kemiskinan yang tinggi.

*Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Related Posts

1 of 3,161