HankamMancanegara

Ambisi China Kuasai Indonesia Melalui Peta Nine Dash Line

NUSANTARANEWS.CO – Pihak Cina, Letkol Inf. Chen Yang (Intel Cina) Pasis Seskoad Sindikat XVIII/53268 asal Militer Cina, pada tanggl 8 April 2015 dan 18 Mei 2015 mengatakan bahwa Peta Nine Dash Line memang buatan Negara Tiongkok. Namun Letkol Inf. Chen mengaku Peta tersebut dibuat bukan untuk mengambil wilayah perairan Pulau Natuna.

“Kalau negara Tiongkok berniat mengambil wilayah laut Natuna, pasti peta garis penuh, bukan peta garis terputus-putus,” ungkap Letkol Inf. Chen Yang. Hal itu dikarenakan garis tersebut, kata dia dilukis sebelum Tiongkok menjadi Negara Republik Tiongkok. “Kenapa dahulu tidak ada orang yang mengatakan sebagai rencana invasi?” imbuhnya.

Nine Dash Line itu, lanjut dia memperlihatkan keinginan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk menyelesaikan dispute (perselisihan) Laut Tiongkok Selatan. “Nine Dash Line pada dasarnya menyatakan perlunya diskusi untuk dijadikan garis tetap.”

Menurut Australian Strategic Policy Institute (ASPI) bahwa peta Cina itu sudah berubah dari “Nine Dash Line” menjadi “Ten Dash line”.

Wakil Duta Besar Cina untuk ASEAN, Xu Bu mengatakan melalui rubrik opini di harian Kompas, tanggal 12 Januari 2016 mengatakan bahwa “dalam waktu dekat Tiongkok akan melaksanakan inisiatif untuk bersama-sama membangun jalur Sutra Abad 21 guna meningkatkan pembangunan dan kemakmuran di Laut Tiongok Selatan. Saya yakin, upaya bersama antara Tiongkok dan Indonesia akan mendorong penyelesaian isu Laut Tiongkok Selatan dengan cara yang tepat”.

Namun pada hari Kamis tanggal 18 Februari 2016, Pemerintah Tiongkok mengkonfirmasi bahwa pemerintahnya telah menempatkan senjata di pulau yang masih disengketakan di Laut Tiongkok Selatan.

Baca Juga:  Termasuk untuk Indonesia, Raja Maroko King Mohammed VI Tunjuk Dubes Baru

Sementara itu dari pihak yang kontra dengtan Cina, Mayor Ben Choel Sindikat XX/299 secara terang-terangan menegaskan bahwa “Pemerintah Tiongkok ingin mengendalikan wilayah perairan Natuna”. Karena mereka sudah mendeklarasikan Nine Dash Line. Tetapi masyarakat negara-negara lain yang dipimpin oleh USA kurang setuju. Bahkan USA dan negera-negara ASEAN mengingatkan bahwa Tiongkok sudah menandatangani United Nations Convention Law of the Sea (UNCLO’s).

Demikian juga dengan Mayor Intel Moon Jin Wonk Sindikat X/53149 mengatakan bahwa “terkait konflik kawasan LCS (Laut Cina Selatan), perlu adanya upaya pembangunan sistem pertahanan sesuai dengan kebutuhan”. Letkol Inf. Randy N. Espino Sindikat III/53045 mengatakan bahwa “rencana invasi Tiongkok dengan indikasi-indikasi Nine Dash Line mengganggu perdamaian antara negara-negara “claimants” dan semua kapal-kapal yang melintasi LCS”.

Mayor Inf. Tanveer Aslam Sindikat IV/53059 mengatakan bahwa “efek dari Nine Dash Line PRC yang merupakan sikap Malaysia “not been able to” dan negara-negara penting di Nine Dash Line adalah Cina, USA, Vietnam, Malaysia, dan Filipina”. Itu semua berakar  dari  “Disputed Claims in the South China Sea” yang juga disebut sengketa klaim LCS oleh Cina. Sebagai dukungan terhadap klaim sepihak Cina itu, Cina membangun pangkalan militer di Spratly Islands. Demikian D. Rosenberg/Middleburry College/Harvard Quarterly/Phil Gov’t/Maret, 01,  2014/AFP diakses di www.google.com pada akhir Mei 2015.

Baca Juga:  Burundi Reiterates Support for Morocco's Territorial Integrity, Sovereignty over Sahara

Panglima-Panglima perang kelompok etnis Dayak di antaranya Panglima Burung, Panglima Langgan, Panglima Nayau, dan Panglima Azis, di Kalimantan Barat (Kalbar) pada khususnya dan Kalimantan pada umumnya, pernah menghancurkan kekuatan komunis gabungan antara sisa-sisa G30 S/PKI 1965 dengan PGRS/PARAKU tahun 1967. Saat itu Pangdam XII/Tpr Brigjen Musanif Ryacudu mengeluarkan instruksi bahwa “semua orang Cina di gunung-gunung/kampung-kampung, segera mengungsi ke kota dalam tempo 4×24 jam. Jika tidak mengungsi maka dianggap PKI dan PGRS/PARAKU”.

Percepatan mengungsian orang Cina dan penumpasan sisa-sisa G30 S/PKI 1965 adalah peran dan dukungan moril dan fisik Panglima-Panglima Perang kelompok etnis Dayak. Demikian hasil wawancara dengan Letkol Romli Intel Kodam XII/Tpr dan Chai Bun Fui pada tahun 1994.

Panglima-Panglima Perang Dayak itu semuanya berdasarkan kekuatan Budaya Dayak yang disebut “Mangkok Merah”. Dengan penggunaan budaya “Mangkok Merah” itu, sisa-sisa G30 S PKI/1965 dan PGRS/PARAKU dapat ditumpas oleh militer dan hingga sekarang sisa-sisa G30 S PKI/1965 dan PGRS/PARAKU tidak pernah beraksi lagi.

Baca Juga:  NATO Terus Meningkatkan Tekanan Pada Serbia

Menurut Ketua Dewan Adat Dayak Kalbar, Yacobus Kumis bahwa dewasa ini, Panglima-Pamglima Perang kelompok etnis Dayak telah dibangun kembali oleh Dewan Adat Dayak (DAD) di Kalbar dan Kalimantan pada umumnya, dengan jumlah sementara adalah 156 orang. Semuanya tersebar di Kabupaten Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Landak, Ketapang, Melawi, Badau, Bengkayang, Mempawah, Kota Singkawang, dan Kota Pontianak. Mereka berada di desa-desa, di kota-kota kecamatan, di kota kabupaten dan kota di Kalbar.  Panglima-Panglima Perang Dayak itu hidup menyatu dengan masyarakat Dayak Kalbar pada khususnya dan Kalimantan pada umumnya.

*M. Dahrin La Ode, Penulis adalah Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) dan penulis buku “Etnis Cina Indonesia dalam Politik”.

Related Posts

1 of 2