ArtikelBerita Utama

Al-Qaeda dan 16 Tahun Perang Afghanistan

NUSANTARANEWS.CO – Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), James Mattis, mengkonfirmasi bahwa lebih dari 3.000 tentara baru akan menuju ke Afghanistan. Pengiriman tentara itu sebagai bagian dari strategi baru Presiden Donald Trump untuk memenangkan perang yang telah berlangsung lebih dari 16 tahun.

Keputusan Presiden Trump ini, tidak terlepas dari kehawatiran Washington yang melihat terjadinya peningkatan serangan dari militan Taliban. AS khawatir bila Taliban dibiarkan memperoleh kemenangan – maka akan memungkinkan terjadinya afiliasi regional Taliban, ISIS dan Jaringan Haqqani di Afghanistan sebagai basis. Bila hal itu terjadi, jelas merupakan ancaman baru bagi keamanan regional, termasuk terhadap AS dan Barat.

Bila ditelisik lebih dalam lagi, keterlibatan AS di Afghanistan sebetulnya sudah dimulai pada akhir 1970-an ketika Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) memimpin sebuah pemerintahan yang berorientasi sosialis yang diselaraskan dengan Uni Soviet dan negara-negara progresif dan non-kapitalis lainnya.

PDPA dibentuk pada tahun 1965 dengan menyatukan beberapa faksi di dalam Partai Sosialis Afghanistan. Kemudian pada tahun 1973, partai tersebut membantu penggulingan monarki dan pembentukan Republik Afghanistan. Perselisihan fiktif di dalam PDPA menyebabkan naiknya Barbrak Kamal sebagai kepala negara di Afghanistan pada bulan Desember 1979. Langkah ini didukung oleh Uni Soviet dengan menempatkan pasukan militer ke Afghanistan untuk menjamin stabilitas pemerintahan baru.

Baca Juga:  Siapkan Comander Call, PKS Jatim Beber Kesiapan Amankan Kemenangan PKS dan AMIN

Mengambil keuntungan dari ketidakpuasan di kalangan elemen feodal, monarkis dan elemen kontra-revolusioner lainnya di negara ini, AS melalui Central Intelligence Agency (CIA) mulai menanam benih al-Qaeda sebagai milisi bersenjata untuk menggagalkan proses revolusioner di Afghanistan. Kekuatan al-Qaeda mulai tumbuh di tahun-tahun ini, ribuan pejuang direkrut di Afghanistan, termasuk dari luar negeri untuk bergabung melawan pemerintah sosialis.

Perang destabilisasi ini dikoordinasikan di tingkat tertinggi pemerintahan AS di bawah pemerintahan Jimmy Carter dan Ronald Reagan. Pemberontak anti-komunis dipromosikan di AS sebagai pejuang kemerdekaan yang berusaha untuk merebut kembali tradisi historis orang-orang Afghanistan.

Perang di Afghanistan berlanjut sampai tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Tak lama setelah Uni Soviet menarik dukungannya terhadap pemerintahan Najibullah, pada tahun 1992, Mujahidin berhasil mengambil alih ibukota. Di tahun-tahun berikutnya, Taliban pun semakin dominan dan kemudian mendirikan rezim baru di Kabul.

Sementara seiring dengan menguatnya Taliban di Afghanistan, Osama bin Laden dengan Al-Qaedanya pun mulai unjuk gigi dengan melakukan pemboman terhadap kedutaan AS di Nairobi, Kenya dan Dar es Salaam, Tanzania pada bulan Agustus 1998. Sejak aksinya itu, Al-Qaeda mulai masuk dalam daftar kelompok teroris. Sehingga Bill Clinton kemudian membom Afghanistan dan Republik Sudan dengan alasan kedua negara tersebut merupakan bagian dari basis Osama bin Laden.

Baca Juga:  PMP DIY Gelar Tasyakuran Atas Kemenangan Prabowo-Gibran Satu Putaran

Setelah peristiwa serangan 11 September 2001, status Al-Qaeda langsung naik berubah menjadi musuh utama AS dan dunia internasional. 10 hari pasca serangan 11/9, Presiden Bush langsung mengeluarkan perintah perang terhadap teroris dan menuding organisasi pimpinan Osama bin Laden, Al Qaeda sebagai dalang di balik serangan mematikan tersebut. Di bawah komando NATO, AS kemudian melancarkan invasi ke Afghanistan dan Pakistan.

Berdasarkan laporan Washington Post pada tahun 2015, selama perang Afghanistan antara tahun 2001 – 2014 telah mengakibatkan kematian 149.000 orang. Sementara laporan resmi militer AS sendiri menyatakan 2.386 tentaranya tewas, dan lebih dari 20.000 terluka. Di laporkan juga bahwa 1.173 kontraktor swasta AS terbunuh.

Dalam artikel Profesor Neta Crawford dari Boston University, meski secara resmi AS telah mengakhiri operasi tempur di Afghanistan pada bulan Desember 2014, namun pasukan berseragam AS masih tetap menjadi penasehat pasukan keamanan Afghanistan dan terlibat dalam pertempuran. Perang bahkan tidak berkurang intensitasnya. Pemboman, serangan pesawat tak berawak dan operasi darat terus berlanjut di bawah pemerintahan George W. Bush, Barack Obama dan sekarang Donald Trump dengan strategi barunya.

Baca Juga:  Ketua PWI Pamekasan Menyebut Wartawan Harus Memiliki 5 Sifat Kenabian

Pada bulan Juni 2017, New York Times melaporkan bahwa belakangan ini, kematian pasukan tempur AS di Afghanistan adalah akibat serangan Taliban yang berafilisasi dengan ISIS. Dengan demikian, musuh utama pasukan AS mulai bergeser dari al-Qaeda ke Taliban, Jaringan Haqqani dan ISIS. Perang Afghanistan dan Pakistan tampaknya akan terus berlanjut sampai AS mengalami kekalahan militer langsung atau dipaksa untuk menarik diri dari rakyatnya. Kita tunggu saja apakah kasus Perang Vietnam akan terulang di Afghanistan.*** (Agus Setiawan)

 

 

 

 

Related Posts

1 of 67