Cerpen

Aku (Bukan) Anak Haram – Kisah Nasrul M. Rizal

NUSANTARANEWS.CO – Lima belas tahun lalu ada seorang bayi laki-laki yang lahir di salah satu kontrakan sempit, di sudut ibu kota. Bayi mungil itu dibiarkan menangis. Belum sempat bibirnya merasakan asi, ia sudah dibawa oleh sepasang suami istri. Dibawa secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak sembunyi-sembunyi mereka khawatir, orang-orang tahu kalau bayi yang mereka bawa bukan darah dagingnya. Dan menganggap mereka sebagai penculik bayi.

Sepasang suami istri itu meninggalkan perempuan yang melahirkan bayi tersebut. Sang istri mendekap bayi merah yang menangis, membungkusnya dengan selimut. Sedangkan sang suami buru-buru menyalakan mobil. Mereka berdua pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, suami istri itu tersenyum. Sedangkan sang bayi terus saja menangis meski sudah diberi susu dari botol kecil. Mereka bahagia. Mimpi mereka terwujud. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya mereka mempunyai anak.

SimakBuah Jatuh (Tidak) Jauh Dari Pohon

Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka tiba di rumah. Bayi itu langsung dibawa ke kamar khusus. Setelah berhasil mengendalikan napasnya, si suami menyebutkan sebuah nama. Ya, bayi itu diberi nama Alif Pratama, yang kelak menjadi pewaris kekayaan keluarga Pratama.

Alif kecil sering menangis tengah malam. Sehingga mama dan papanya mempunyai pekerjaan baru, bergadang. Seringkali Mama Alif mengeluh. Tak kuasa menahan kantuk dan dingin yang menusuk. Papa Alif menguatkan perempuan yang kelelahan di sampingnya, “Sayang ini keputusan kita yang terbaik. Bersabarlah!” katanya sambil memeluk perempuan tersebut.

Kehidupan Alif kecil sama seperti kehidupan anak-anak, orang kaya, lainnya. Diselimuti perhatian dan hangat oleh kasih sayang. Karena merasa sangat lelah, Mama Alif meminta pembantunya untuk ikut merawat Alif. Pekerjaan Mama Alif pun berkurang. Hanya sesekali menyiapkan susu, mengganti baju, pempers, dan pekerjaan ringan lainnya. Sedangkan pekerjaan yang berat dikerjakan oleh perempuan paruh baya yang kelak dipanggil bibi oleh Alif.

Perlahan tapi pasti, Alif tumbuh. Ia sudah bisa merangkak. Patah-patah berkata “ma-ma” dan “pa-pa”. Tingkahnya sering diabadikan oleh lensa kamera lalu dibagikan ke dunia maya. Hari ini Alif merayakan ulang tahun pertamanya. Ruang tamu, dihias sedemikian rupa. Balon warna-warni bertebaran. Kue ulang tahun motif super hero dihadirkan. Tetangga yang mempunyai anak kecil diundang. Teman-teman arisan Mama Alif juga datang, membawa anaknya. Kebahagiaan menyelimuti rumah megah itu. Tapi dua-tiga orang malah berbisik-bisik. Wajah mereka masam. Apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka tahu siapa Alif sebenarnya?

Waktu berlalu. Sudah lima kali Alif merayakan ulang tahun. Sekarang ia bisa meniup lilin ulang tahunnya sendiri. Ia menatap galak kepada siapa saja yang menyentuh kado kepunyaannya. Mama dan Papa Alif malah usil menyembunyikan sebagian kado milik anaknya. Membuat bibir anaknya maju beberapa senti.

Alif beruntung mempunyai “orang tua” yang sangat menyayanginya. Mereka memberi perhatian penuh pada Alif. Hampir setiap akhir pekan keluarga bahagia itu jalan-jalan. Mengisi waktu dengan kebahagiaan. Tidak sedikit yang iri pada keluarga tersebut, iri pada Alif. Sayangnya Alif tidak tahu ada sesuatu yang disembunyikan mama dan papanya.

Sudah satu bulan Mama Alif berubah sikapnya. Dia sangat sensitif. Tidak boleh ada yang memakai parfum di dalam rumah, termasuk suaminya. Sangat manja. Papa Alif tidak boleh lama-lama bekerja. Bahkan beberapa kali dipaksa untuk tidak berangkat kerja. Bukan itu saja. Mama Alif sering muntah-muntah. Apakah dia masuk Angin?

Merasa keadaannya tidak kunjung membaik, Mama Alif memeriksakan diri pada dokter. Mama Alif mengeluh kalau dia cepat lelah, mual, muntah-muntah, tidak selera makan, dan sangat sensitif. Dokter tersenyum setelah melakukan pemeriksaan. Belum sempat pertanyaan terlontar dari bibir Mama Alif, dokter tersebut berkata, “Selamat. Ibu sedang hamil. Sekarang sudah memasuki bulan ke dua.”

“Apa? Saya ha … mil?” Mama tidak percaya.

“Iya Bu.” Dokter mengangguk, senyuman terpatri di bibirnya.

“Serius saya hamil, Dok?” Mama Alif masih tidak percaya.

Dokter itu tersenyum.

Mama Alif bahagia tidak terkira. Senyum-senyum sendiri sepanjang perjalanan pulang. Di usia ke tiga puluh lima tahun ia hamil. Anugerah terbesar bagi seorang perempuan. Mama Alif tidak sabar ingin memberitahu kabar super penting dan super istimewa ini. Ia tidak mau memberitahunya lewat telepon.

Setibanya di rumah, Mama Alif memberitahu suaminya kalau dia sedang hamil. Tidak jauh berbeda dengan Mama Alif, Papa Alif tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia merasa sedang bermimpi. Setelah belasan tahun menikah, akhirnya istrinya hamil. Mereka bisa mempunyai anak –anak kandung.

Mama Alif menjadi perempuan terbahagia. Walau kepalanya sering pusing, mood-nya tidak karuan, dan cepat lelah. Tapi di lubuk hatinya dia sangat bahagia. Papa Alif pun tidak kalah bahagia, meski ia cukup lelah memenuhi keinginan istrinya, yang terkadang aneh. Seperti ingin mengacak-acak rambut lelaki kribo.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mama Alif melahirkan bayi perempuan. Bayi yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia disambut dengan senyuman kebahagiaan. Setelah kesehatannya membaik, Mama dan Papa Alif membawa anaknya pulang dengan bangga. Tidak perlu takut cemoohan orang-orang. Apalagi anaknya dilabeli haram.

Rumah keluarga Pratama riuh oleh tangisan bayi perempuan, yang diberi nama Alfi Yudisti Pratama. Setiap malam, Mama Alif kembali melakukan pekerjaan yang sudah lama ia tinggalkan. Bergadang. Kabar baiknya sekarang dia tidak perlu susah payah menyiapkan susu. Tidak usah repot memanaskan botol. Jika anaknya menangis, tinggal diberi asi.

Sejak lahirnya Alfi, Alif terusir dari hati mama dan papanya. Mereka lebih memerhatikan Alfi. Apa pun yang diinginkan Alfi pasti dikasih. Sedangkan Alif lebih banyak diperhatikan oleh bibinya –pembantu rumah tangga yang sudah puluhan tahun mengabdi di kelurga Pratama. Seringkali Alif ingin mengadu pada mama dan papanya. Meminta mereka supaya adil. Namun, bibi selalu melarang Alif.

Alif sering usil pada Alfi. Sehingga membuat mamanya naik darah. Setiap kali Alfi menangis gara-gara dijaili kakaknya, mamanya langsung memarahi Alif. Tidak jarang pula ia memukul Alif. Alif merasa aneh. Kenapa mamanya sangat marah ketika ia usil pada Alfi, bukankah Alfi itu adiknya? Bukankah sudah biasa kakak usil pada adiknya?

Mama Alif berteriak, “Dasar anak tidak tahu diri. Kerjaannya ganggu orang saja.”

Alif kecewa pada mamanya. Kenapa sebegitu marahnya dia pada Alif. Padahal Alif hanya mencoba memainkan piano milik adiknya. Hanya sedikit “mengganggu” jadwal latihan adiknya. Kenapa pula mamanya tega menyebut dia tidak tahu diri. Hatinya tersayat-sayat oleh perkataan ini. Perih sekali. Jika bisa memilih, lebih baik disayat belati daripada disayat oleh kata-kata. Supaya tahu bagian mana yang harus diobati. Tidak seperti ini. Entah bagian mana yang terluka. Yang pasti rasanya sakit.

Berbagai pertanyaan menghantam pikiran Alif. Kenapa Mama dan Papa lebih menyayangi Alfi? Kenapa Alfi berkulit putih, sedangkan dia hitam? Jangan-jangan Alif bukan … Alif buru-buru menghapus pikiran negatifnya.

Tahun berganti. Alif sekarang sudah berseragam putih-abu. Tingkahnya mulai berubah. Nampaknya perhatian orang tua berpengaruh terhadap pergaulan anaknya. Alif merasa tidak diperhatikan. Tidak diinginkan. Diacuhkan keluarganya. Alif lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. Seringkali tidak pulang ke rumah.

Alif jarang masuk sekolah padahal berangkat dari rumah memakai seragam. Alif berkumpul dengan teman-temannya di “markas”. Rokok, kacang, hingga botol-botol minuman menghiasi meja. Mereka memulai “pesta”. Seteguk, dua teguk, hingga akhirnya mereka mabuk. Mereka tersenyum, bercanda, tertawa. Bagi mereka inilah kebahagiaan yang sesungguhnya.  Nasib mereka sama, kaya akan harta tapi miskin cinta.

Celaka. Benar-benar celaka. Markas mereka sudah tercium baunya. Hari itu tamatlah kesenangan mereka. Polisi menggerebek markas.

Di tempat lain, tubuh tua renta Papa Alif tidak kuasa menahan, lebih lama, penyakit yang bertahun-tahun mengerogotinya. Penyakit yang diperparah oleh kelakuan Alif. Dan diperparah juga oleh keluhan istrinya. Yang saban hari berkicau mengenai penyesalannya mengadopsi Alif. Beban yang diterima tubuh Papa Alif kalah berat dibandingkan beban yang didera pikirannya.

Beruntung Alif bisa kabur dari sergapan polisi. Dia tahu betul denah markasnya. Hal seperti ini sudah ia antisipasi. Tapi apakah dia bisa kabur dari takdirnya? Lolos dari rasa bersalahnya. Sebentar lagi Alif merasakan hukuman terberat untuknya, lebih berat daripada hukuman mati sekalipun.

“Kak, kakak dimana? Cepat pulang.”

“Kak Papa masuk Rumah Sakit.”

“Kak Papa koma.”

“Alfi takut Kak.”

“Kak Papa meninggal dunia.”

Rentetan pesan nampak di layar HP Alif. Pesan dua hari yang lalu. Alif kaget. Lebih kaget daripada digerebek polisi. Dia buru-buru menelepon adiknya. Berkali-kali mencoba, jawabannya tetap sama.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.” Alif mengutuk adiknya yang mematikan HP. Ia juga menghakimi perbuatan bodohnya yang menghiraukan pesan dari adiknya.

Secepat mungkin Alif pulang ke rumah.

Sesuatu yang mengerikan akhirnya diketahui Alif. Dia tidak bisa menghindar dari beban masa lalunya. Dia tidak mampu menghentikan bom waktu. Meledaklah bom itu.

“Dasar anak haram. Tidak tahu malu. Bajingan. Tidak tahu diuntung. Pergi. Pergiiii.” Seorang perempuan menghujani Alif dengan caci maki. Dia menyambut kedatangan Alif dengan mengusirnya lagi.

“Pergi. Pergi dari sini. ANAK HARAM.” Teriak perempuan yang sering dipanggil mama oleh Alif.

Alif termangu. Air matanya mengalir, lebih deras daripada air mata mamanya. Alif menangis untuk dua hal. Pertama karena papanya meninggal. Kedua karena kata “anak haram” yang keluar dari bibir mamanya.

Sungguh malang nasib Alif. Dia mendapat hukuman yang menyakitkan. Dihukum oleh penyesalan. Alif merasa dia telah membunuh papanya. Dia meratapi kenyataan yang sangat pahit. Setelah kehilangan papanya, dia juga kehilangan keluarganya. Perkataan mamanya bukan sebatas basabasi. Semua orang yang ia tanya menyampaikan hal yang sama, “Alif bukan anak kandung keluarga Pratama.”

Dalam kepahitan, Alif mencari ibunya. Bibinya berbaik hati untuk menceritakan kejadian lima belas tahun lalu. Siapa Alif sebenarnya dan siapa perempuan yang telah melahirakannya. Alif terlahir dari rahim seorang mahasiswi di kampus ternama di Ibu Kota. Katanya dia tinggal di kampung gading di Kota Kembang. Bermodalkan nama dan alamat, Alif mencari ibunya.

Setelah sekian lama mencari, akhirnya Alif menemukan ibunya. Kepada ibunya dia menceritakan kisah hidupnya. Bagaimana dia dibesarkan. Diselimuti kasih sayang. Hingga akhirnya dicampakan dan disebut anak haram. Di akhir cerita, ia berkata:

“Bu, tahukah ibu, bayi yang dibawa sepasang suami istri 15 tahun lalu, yang menyandang nama keluarga Pratama, yang dilabeli anak haram, dia sekarang ada di sebelah Ibu. Menceritakan kisahnya sendiri. Akulah bayi itu. Yang dulu dibiarkan menangis. Yang tidak disusui oleh perempuan yang melahirkannya. Aku Alif, Bu. Alif Pratama, anak lelaki yang seharusnya diberi nama oleh ibu.

“Bu, orang lain memanggilku anak haram. Apakah aku ini memang anak haram? Aku tahu Ibu tidak akan mampu menjawabnya. Bahkan untuk menyingkirkan tanah yang menutupi tubuh Ibu. Membiarkan anakmu menangis di samping pusaramu.

Bandung, Desember 2016

 

Nasrul M. Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Saat ini sedang menikmati masa studinya di Universitas Pendidikan Indonesia pada prodi Pendidikan Ekonomi. Dia merasa gila jika tidak menulis. Kata-kata seakan menari di kepalanya. Karena hal itu dia rajin menulis. Terutama menulis status, caption dan chatting. Komunikasi lebih lanjut bisa melalui email: [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40