NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis HAM, Natalius Pigai menegaskan kematian anggota KPPS dan penyelenggara pemilu tahun 2019 adalah bentuk anomali demokrasi. Menurutnya, kematian anggota KPPS di Pemilu 2019 merupakan perstiwa ironis untuk sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.
KPU mencatat anggota KPPS yang meninggal dunia berjumlah 440 orang. Sementara Bawaslu mencatat ada 92 orang panitia pengawas pemilu yang meninggal dan Polri mencatat ada 22 anggotanya yang tewas.
“Kematian angggota KPPS dan penyelenggara pemilu adalah anomali demokrasi. Pemilu 2019 telah menjadi etalase kematian,” kata Natalius Pigai dalam sebuah diskusi bertajuk Tumbal Demokrasi, di Balik Tragedi Kematian 555 Orang di Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2019).
Dia mengatakan, seharusnya dari awal penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus memegang kuat-kuat prinsip HAM yakni hak untuk hidup karena itu telah menjadi ketentuan internaisonal.
“Hak untuk hidup adalah hak tertinggi (supreme of human rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi sedikitpun kendati negara dalam kondisi darurat,” paparnya.
“Negara, dalam hal ini KPU Indonesia memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang,” tambah dia.
Terlebih, tambah Pigai, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 sudah pernah ada kejadian serupa meski tak sebesar tragedi kematian di Pemilu 2019.
“Kesalahan penyelenggara pemilu tidak mengambil pelajaran dan antisipasi karena pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 sudah pernah kejadian. Kemudian, KPU juga tidak menyediakan paramedis di tiap-tiap KPPS,” ujarnya.
“Artinya, kejadian seperti ini sudah berulang karena pernah terjadi pada pemilu sebelum-sebelumnya,” sambung tokoh HAM asal Papua ini.
(eda/adn/ach)
Editor: Eriec Dieda