MancanegaraPolitik

Aksi Protes Terus Berlanjut, Thailand Diambang Revolusi Warna

Aksi protes terus berlanjut, Thailand diambang revolusi warna.
Aksi protes terus berlanjut, Thailand diambang revolusi warna.

NUSANTARANEWS.CO, Bangkok – Aksi protes terus berlanjut, Thailand diambang revolusi warna. Sekitar 10.000 orang kembali melancarkan aksi protes di pusat kota Bangkok, Minggu (16/8) memprotes pengaruh militer dalam politik meski pemerintahan Thailand telah kembali menerapkan pemerintahan sipil.

Pada minggu (9/8) lalu, dengan tuntutan yang sama, ribuan orang melakukan aksi unjuk rasa anti-pemerintah di Chiang Mai, Thailand, mereka menuntut Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha untuk mengundur diri, pembubaran parlemen, kebebasan berpendapat, dan mengamandemen konstitusi militer. Menariknya, sejumlah demonstran terlihat mengenakan topeng dengan gambar wajah Anon Nampa yang merupakan seorang pengacara HAM yang ditangkap oleh pihak berwenang Thailand pada Jumat (7/8). Para demonstran juga menyuarakan protes terhadap penangkapan pengacara HAM tersebut.

Media Barat dengan cepat mengecam penangkapan pengacara berusia 34 tahun Anon Nampa yang telah memimpin protes anti-pemerintah baru-baru ini di Thailand. Media Barat mengutip sumber dari organisasi Thai Lawyers for Human Rights (TLHR) – tanpa menyebut bahwa Anon Nampa sendiri bekerja untuk TLHR.

Baca Juga:  Pemdes Pragaan Daya Membuat Terobosan Baru: Pengurusan KTP dan KK Kini Bisa Dilakukan di Balai Desa

TLHR dibentuk dan disponsori oleh Amerika Serikat (AS) pada 2014. Departemen Luar Negeri AS melalui National Endowment for Democracy (NED) menjadi salah satu sponsor dana bagi TLHR, selain dari donor internasional Hak Azasi Manusia  (HAM) Uni Eropa, Inggris, dan Kanada.

Penciptaan dan dukungan Washington terhadap TLHR dalam protes jalanan saat ini di Thailand tentu dengan motif tersembunyi di balik isu-isu “hak asasi manusia” dan tuntutan “pro-demokrasi” yang begitu populer dalam “revolusi warna” di Eropa Timur maupun “Arab Spring” di Timur Tengah.

Motif  AS tentu dapat ditelusuri dengan melihat meningkatnya hubungan bilateral Cina-Thailand dalam dekade belakangan ini, baik hubungan strategis maupun ekonominya dengan Cina.

Hubungan strategis terlihat dari serangkaian kesepakatan senjata dan latihan militer bersama. Militer Thailand juga mulai mengganti alutsista militer buatan AS yang menua dengan buatan Cina, termasuk tank tempur utama, pengangkut personel lapis baja, dan kendaraan tempur infanteri.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Angkatan laut juga selain memperoleh kapal perang juga mendapat kapal selam modern pertama dan pembuatan proyek pertahanan bersama peluncur peluru kendali DTI-1.

Peningkatan perdagangan dan investasi, serta proyek infrastruktur bersama yang memperluas inisiatif One Belt One Road (OBOR) Beijing jauh ke Asia Tenggara. Thailand bersama-sama membangun jalur kereta api berkecepatan tinggi melalui Laos di utara, ke Malaysia dan Singapura di selatan.

Bila proyek itu selesai, penumpang dan kargo dapat bergerak melalui darat ke dan dari Cina dengan kecepatan dan volume yang belum pernah terjadi sebelumnya – yang semakin memperkokoh posisi Cina sebagai kekuatan ekonomi di kawasan menggantikan posisi Pax Americana.

Thailand tampaknya telah menjadi target “revolusi warna” setelah secara terbuka berulang kali menolak bergabung dengan AS dalam menekan Beijing terkait sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Thailand bahkan tidak mengindahkan tuntutan AS agar mengizinkan tersangka teroris Uighur melakukan perjalanan melalui wilayah Thailand – bahkan sebaliknya malah mengekstradisi mereka kembali ke Cina.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

Apakah operasi senyap AS mulai berjalan di Thailand? Melihat gerakan protes yang sedang berlangsung di Thailand saat ini yang seakan-akan tanpa pemimpin dan hanya terdiri dari mahasiswa yang memperjuangkan “hak asasi manusia” dan “demokrasi” dengan nafas panjang tentu patut diwaspadai. Bahwa gerakan itu merupakan pemanasan agenda Anti-Cina yang lebih luas yang diorganisir Washington di dalam wilayah Cina maupun sekutu-sekutu terdekatnya di Asia. Bagaimana di Indonesia? (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,049