Oleh: Hasin Abdullah**
Seusai Pengadilan dan jaksa penuntut (JPU) membacakan dakwaan pada berinisial SN (Setya Novanto) mengenai kasus korupsi pengadaan proyek E-KTP, Setnov akhirnya semakin rasional mengambil sikap mundur dari dua medan jabatan. Pertama, jabatan politik. Kedua, jabatan pemerintahan. Kedua jabatan signifikan ini cukup melarat dirangkap oleh seorang politikus, sehingga membutuhkan sirnegi, dan terobosan baru dalam tubuh partai politik, baik dari aspek social capitalnya maupun finacial capital tersebut.
Tampaknya, setelah tutuntan itu dibacakan oleh Majelis Hakim, partai Golkar akan semakin terang-benderang nasib politiknya. Oleh karenanya, di tengah-tengah rapat pleno yang sedang berjalan telah membuahkan Munaslub sebagai langkah awal partai pohon beringin ini membenahi paradigma politik di internal partai. Di sisi lain, namanya “perang dingin” tentu bermunculan, baik dari calon ketua umum Golkar sendiri maupun anggota fraksi yang akan direkom sebagai ketua umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Senayan. Paling tidak, penulis mencatat bahwa pembacaan dakwaan terhadap Setnov tidak secara langsung memperjelas pelaksanaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di mata Golkar.
Kasus korupsi E-KTP secara elektoral sudah menimpa nama Golkar sebagai ibu semua partai (the mother all of party). Sisi lainnya, setelah laporan kerugian perekonomian negara mampu dideteksi oleh BPK, Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa sejumlah anggota dewan yang terlibat dalam bagi-bagi uang itu. Tentunya hal ini meruntuhkan ketenaran partainya juga, sehingga dari sisi kajian elektoral, elektabilitas, dan popularitas Golkar mengalami antiklimaks. Demikian itu, partai pohon beringin ini memerlukan optimalisasi dari segi kemampuan berpolitik agar mampu memulihkan ketenarannya kembali.
Oleh karena itu lah, meski SN dinanti hingga proses hukum di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) nanti kelar. Golkar memiliki hak politik membenahi elektabilitas-Nya, apakah bagi Golkar sudah layak menetukan pilihan politiknya? Akan kemungkinan besar, secara logika politik. Munaslub menjadi jalan keluar untuk memulihkan popularitasnya, dan kepercayaan politik (political trust) terhadap masyarakat, Dalam hal ini, supaya tidak mengancam rasionalitas suara politik akan menurun menjelang pelaksanaan Pimilu 2018 maupun Pilpres 2019.
Lantas, bagaimana reaksi kader Golkar ketika Munaslub sudah digelar? Ketika membaca peta politik yang kini timbul di internal partai, Munaslub seolah-olah masif menyita sejumlah perhatian masyarakat, dan politisi senior fraksi yang melambangkan pohon beringin ini (the mother of all party). Idealnya, pesan-pesan politik yang ditegaskan untuk mengambil langkah reformasi kepemimpinan politik di tubuh Golkar. Di antaranya, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, Abu Rizal Bakrie, dan Agung Laksono.
Akankah Airlangga Menjadi Jalan Keluar?
Di tengah kontelasi politik reformasi kursi kepimpinan tertinggi di tubuh Golkar, ini diprediksi akan menimbulkan gesekan politik di antara para kandidat. Karena pertarungan tingkat tinggi di Golkar melibatkan beberapa kader potensial dan politisi senior. Yang direkomendasi pun ada Airlangga Hartarto, dan Titiek Soeharto, potensi kedua kandidat itu cukup mumpuni, baik dari segi aspek moral (attitude), wawasan politik (knowledge), integritas (integrity), amanah (acuntability), dan kesemuanya merupakan track record kepemimpinan politik dituntut sebagai negarawan. Yakni, seorang pemimpin politik yang memiliki visi, karisma pribadi, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan umum yang kepemimpinannya itu bermanfaat bagi masyarakat.
Sehingga dalam rangka mendekati jelang pemilu 2018, setidaknya ada inisiatif untuk segera memulihkan popularitas Golkar. Meskipun, timbul kampiun panas alias kompetisi politik. Akan tetapi, terdapat pelbagai tekanan atau pun semacam tarik ulur kekuatan politik untuk bersama-sama mengembalikan marwah, dan martabat politik Golkar, dalam rangka membangun demokrasi yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Seleksi politik untuk dijadikan petinggi Golkar, tentu sangat ketat dalam tahap verifikasi-Nya. Pasalnya, keempat kandidat politik itu sama-sama memiliki karakter politik yang cukup tinggi, baik itu di internal maupun eksternal, sehingga proses penyelenggara Munaslub beberapa hari lalu saling memperkuat kepentingan politiknya. Di sisi lain, ketua umum Golkar.
Masashi Nishihara (1972) dalam buku Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (2008), menyimpulkan bahwa partai Golkar merupakan “a party building from above”, sebuah partai yang dibangun dari atas. Pada kenyataanya memang, Golkar dibentuk oleh kalangan elit yang bermula dari Angkatan Darat kemudian dikembangkan bersama-sama dengan birokrasi dengan menggunakan segala bentuk aktivitas politik yang sedemikian rupa, sehingga menjadi suatu kekuatan politik yang bersifat hegimonik.
Solusi Memilih Munaslub
Untuk menentukan agenda Munaslub, tentu memerlukan sikap profesional, dan selektif. melibatkan jalan terakhir yang harus ditempuh melalui eksisnya Munaslub, sebab realitas politik Golkar sangat beda dengan partai-partai lain. Golkar adalah partai yang menampung pelbagai elemen dan kekuatan politik sehingga kedewasaan dan kematangan politik Golkar tampak terang-benderang. Dengan solusi efektifnya, pucuk pimpinan Golkar harus dipimpin oleh sosok bintang terang untuk menahkodai Golkar ke depan, agar Golkar berhasil memenangkan Pemilu 2018 maupun 2019. Momentum Munaslub adalah pertaruhan besar terkait evaluasi kepercayaan serta elektabilitas politik bagi Golkar, apakah Golkar akan berbenah diri, mengevaluasi kegagalan-demi-kegagalan dalam dua kali pemilu.
Untuk itu, kepemimpinan politik Golkar dalam dua medan pemilu diharuskan dipimpin oleh politisi yang tidak hanya kaya dari segi aspek finansial. Tetapi, kaya moral, knowledge, integritas, akuntabel, komunikatif, dan visioner, sehingga mau tidak mau logika politik perlu diberikan ruang oleh partai pohon beringin. Terutama, dalam pembentukan strategi memenangkan pemilu serta meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Golkar itu sendiri.
Ternyata, memang aspek finansial memahari logistik politik tidaklah cukup. Tetapi, juga memerlukan dimensi-dimensi kepemimpinan politik yang menjadi nilai-nilai dominan di kalangan masyarakat. Karena bagaimana pun dimensi-dimensi itu sangat berkontribusi besar bagi kemenangan Golkar dalam tiap kali suksesi kepemimpinan atau pemilu, tetapi soliditas di bawah calon ketua umum Golkar harus dilihat rekam jejak dan pengalaman politik-Nya, agar Golkar berhasil memilih pucuk pimpinan yang ikhtiar serius untuk memajukan Golkar ke depan, termasuk Airlangga Hartarto sebagai ketua umum yang terpilih secara aklamasi mampukah menjadi sepak terjang Golkar?
Penulis, adalah Peneliti di Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa Akbar Tandjung Institute (SKPB-AT) Jakarta.