ArtikelKolom

Natalius Pigai: Revolusi Konstitusional, Bagian IV

Kepentingan Nasional Terancam, Kabinet Jokowi Abaikan Aspek Barier di Free Trade Mechanism di GATS WTO
Natalius Pigai, Staf Khusus Menakertrans 1999-2005, Mantan Peneliti Bidang Migrasi Tenaga Kerja, Kemenakertrans RI. Penulis Buku Migrasi Tenaga Kerja Internaaional, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2005. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Natalius Pigai menjelaskan problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah, NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia Negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat.

Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminus. Sudah saatnya kita harus formulasi Ulang tentang NKRI dengan bentuk negara Federasi atau Serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dan lain-lain.

UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata ‘asli’ dihidupkan kembali juga adanya undang2 yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati, demikian pula UUD juga tidak statis, kita memilik pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini.

Bhineka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yg dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial, pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhineka, ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku yaitu Jawa maka sejatihnya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhineka.

Bhineka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul, pengakuan secara faktual Bahwa kita berbangsa multi etnik dan multi minoritas adalah sesuatu ada (being). Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinekaan bangsa rapuh bahkan nyaris tuntuh, saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Semua riu redah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit, ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhinneka Tinggal Ika menjadi pilar-pilar bangsa yang konstan tanpa membuka ruang menampung nilai-nilai baik yang lahir, timbuh dan berkembang di negeri ini.

Termasuk Hukum Syariah, Khilafah dan Khalifah sebagai komplementer untuk melengkapi cara pandang, pemikiran dan tindakan berbangsa dan bernegara. Sampai kapanpun bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dogmatika agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Kita telah mengalami kemunduran tidak hanya dalam pembangunan fisik tetapi yang terpenting adalah pembangunan manusia. Empat tahun lalu, kata Nawacita begitu magnet dan membahana seantero nusantara. Sejak tahun 2016, Jokowi gugup mengucapkan kata Nawacita dan tenggelam dihamparan lautan nusantara.

Kegagalan terbesar bangsa ini adalah gagal menemukan pemimpin yang Berfikir (ontologis), mampu menerjemahkan (epistemologis) dan juga bisa men-deliver menjadi nyata (aksiologis). Seperti Revolusi Mental yang konon katanya mau merubah 7 sifat buruk manusia Indonesia’ yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis antara lain: munafik (hipokrik), korup, percaya tahayul. Namum Jokowi telah menenggelamkan sendiri karena ada tumpukan nalar orde baru dan mendung besar di atas Istana Negara.

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Akhirnya, hari ini kita menyaksikan rakyat menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan akibat pemimipin tidak mampu mengelola negeri ini. Nilai tikar rupiah makin melemah ke posisi psikologi mencapai 14.900. Kita sudah memasuki babak baru krisis perekonomian.

Apa yang telah saya jelaskan di atas adalah berbagai persoalan fundamental yang harus diselesaikan. Tidak lain dan tidak bukan yaitu melalui Revolusi konstitusional. Revolusi konstitusional memang tidak mudah ditemukan dalam berbagai pustaka. Secara teori hanya kita mengenal revolusi konstitusi. Namum saya tegaskan Revolusi jangan dilihat sebagai sebuah perlawanan fisik, tetapi merujuk kepada ide Bung Karno yaitu Revolusi sebagai pergerakan nasional.

Pergerakan untuk perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial). Pada hakikatnya revolusi sebagai perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan gagalnya pemimpin negara dan melawan tatanan, norma dan keadaan yang buruk untuk melahirkan keadaan yang baru. Hal ini harus dimulai dari Mahasiswa sebagai mesin utama perubahan. (The End)

Editor: Eriec Dieda & Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,058