NUSANTARANEWS.CO – Kabar duka yang datang begitu mendadak kemarin siang, kamis 10 Mei 2018, membuat kami shock. Gus Amin yang baru beberapa hari menelpon penulis dalam keadaan sehat, tiba-tiba siang itu meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Berita duka itu sontak mengingatkan penulis pada suatu malam beberapa tahun silam. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 lebih. Dianter seorang teman, penulis memuju rumah sederhana di desa Sidowangi, Kajoran, Magelang, di kediaman Gus Amin. Penulis menduga kami hanya akan bicara berdua karena siasana sudah menjelang dini hari. Tapi ternyata dugaan ini salah. Karena ternyata di rumah Gus Amin yang sederhana ini masih banyak berkumpul orang-orang dari berbagai daerah.
Baca Juga:
- Ini Pesan Tanfidziyah NU Jepang Kepada Kader IPNU-IPPNU
- Obituari: Dokumentator Perjalanan NU, KH Abdul Aziz Masyhuri Meninggal Dunia
- Obituari: KH Hasyim Muzadi Wafat, Keluaga Besar PBB Berbelasungkawa
Malam itu penulis hendak diajak diskusi Gus Amin mengenai nasib para petani yang tersingkirkan dan maskin karena terjimpit kenyataan. Malam itu sudah berkumpul petani dari Wonosobo, Boyolali, Temanggung, Kebumen, Purworejo, Kudus, Demak dan sekitarnya. Dari perbincangan malam itu berhasil disepakati pembentukan ASTANU (Asosiasi Tani Nusantara).
Sejak saat itu penulis, bersama Gus Lukman, Kudus (alm.), sering mendampangi Gus Amin keliling ke beberapa daerah untuk mengadakan pertemuan dengan para petani, berdiskusi, menyelenggarakan event pertanian dan berbagai kegiatan lain dalam rangka memperluas dan memperkuat jaringan sebagai upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani.
Gus Amin tak pernah lelah memperjuangkan nasib para patani. Beliau mengetuk hati para akademisi, menarik perhatian para penguasa, menjebol dan mendobrak sekat-sekat birokrasi demi kesejahteraan para petani. Suatu pekerjaan yang sulit, perlu kesabaran ekstra dan daya tahan tinggi. Berkat kesabaran dan usaha keras tanpa kenal lelah beliau berhasil membawa beberapa akademisi dan pejabat turun langsung membina petani di lapangan, seperti Prof. Hermanu (IPB), prof. Maksum (UGM), pak As’ad (Wakabin), Yan Darmadi (Watimpres) dll.
Selain sebagai petani tuleni, gus Amin adalah seorang ulama yang alim. Beliau menguasai ilmu fiqh, qur’an, hadits, sejarah dan tasawwuf secara baik. Namun demikian beliau tetap tawadlu’, penampilannya tetap sederhana, bahkan tidak ada bedanya dengam petani biasa. Beliau tak pernah memakai surban, gamis atau atribut lainnya sebagaimana layaknya ulama.
Pengajian yang diselenggarakan beliau lebih terlihat sebagai bentuk pendampingan dan bimbingan praktis kehidupan bukan semata orasi atau sekedar mauidloh, apalagi agitasi. Pengajian Gus Amin benar-benar berbentuk laku hidup dan keteladanan. Itulah sebabnya tempatnya bisa dimana saja; di ladang, di lereng gunung, di saung sawah dan kadang di majlis.
Sebagai seorang ulama dengan basis pesantren yang kuat, Gus Amin juga memiliki jaringan luas dengan para ulama. Penulis sudah mengenal beliau sejak awal 90an, saat mengantar Gus Dur ziarah ke makam mbah Hamid Kajoran (abah gus Amin). Penulis masih ingat, saat Gus Dur bertemu kyai Hamid, beliau selalu mendampingi bersama Gus Baqo’ (adik). Ketika Gus Dur ziarah ke makam-makam auliya selalu minta didampingi Gus Amin dan Gus Baqa’. Bahkan menjelang reformasi Gus Amin matur ke Gus Dur bahwa akan ada peristiwa besar di negeri. Saat itu Gus Dur langsung perintah Gus Amin agar mewaki Gus Dur melakukan ziarah ke selurih wali di Jawa, tidak hanya ke wali songo tapi juga wali-wali lain yang ada di setiap daerah.
Waktu menerima dhawuh gus Amin bilang: “nyuwun sewu Gus, apakah boleh ziarah diwakili?”. Kemudian Gus Dur menjawab: “nggih angsal mawon, gus. Wong ngawinkan anak aja boleh diwakilkan”. Setelah itu Gus Amin pergi keliling Pulau Jawa unt melaksanakan amanah Gus Dur, berziarah ke makam auliya”, sebagai upaya batin menjaga keutuhan NKRI dan keutuhan bangsa. Penulis melihat ini bukti ketinggian ilmu spiritual yang dimiliki gus Amin.
Gus Amin adalah salah seorang ulama yang sangat menguasai konsep hubungan antara Pancasila dan Islam, antara agama dan nasionalisme. Banyak data-data sejarah yang menarik mengenai Pancasila yang bisa digali dari beliau. Misalnya dialog antata kyai Hamid dengan Bung Karno dan mbah Whab Chasbullah mengenai Pancasila. Juga tafsir Pancasila dari perspektif Islam yang sangat dalam dan valid. Penulis sering ngobrol semalaman mengenai hal ini. Penulis berencana menggalinya secara sistemaris dan mendalam dalam suatu wawancara khusus. Tapi sayang, belum sempat niat tersebut terlaksana beliau sudah meninggalkan kita.
Begitulah Gus Amin, seorang ulama besar yang alim tapi tidak pernah menampakkan diri apalagi menonjolkan diri. Bagi kami gus Amin tidak sekedar ulama, penggerak sosial dan pendamping rakyat kecil tapi juga guru dan pejuang keadilan sosial yang istiqamah. Beliau telah mengabdikan seluruh jiwa raga dan hidupnya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil.
Rumah beliau yang sederhana telah menjadi tempat pengaduan bagi rakyat kecil, tempat diskusi yang hangat bagi para aktivis dan tempat mencari keteduhan bagi siapa saja yang resah. Dan rumah itu terbuka bagi siapa saja dan kapan saja. Beliau adalah sosok yang berani meninggalkan hingar bingat dunia yang menawarkan berbagai kenikmatan hidup dan popularitas. Beliau kembali ke dunia sunyi menemani rakyat yang kesepian
Kini sang ulama besar yang telah mengabdikan diri menjadi gerilayawan yang istqamah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Meninggalkan jejak perjuangan yang nyata. Selamat jalan Gus. Tugas kehidupan telah engkau tunaikan secara istiqamah, beristirahatkah dengan tenang di sisi Allah. Semoga kami bisa mengikuti dan meneruskan jejak perjuangan panjenengan. Lahu al Faatehah.
Penulis: al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009